Romo Amanche membuat kami tertawa hampir sepanjang pertemuan “Penyusunan Perkembangan Komunitas Sastra Indonesia di Bali dan NTT”, Selasa (02/11/2021), di salah satu ruang pertemuan Kantor Bahasa Provinsi NTT, Jalan Jenderal Soeharto, Nomor 57A, Naikoten 1, Kupang.
Sebagian besar pecinta sastra di Bumi Flobamora, pasti tahu siapa itu Romo Amanche. Saya mengenalnya pertama kali lewat salah satu lagu yang cukup tenar saat itu; Adik Menangis Satu Malam.
Kemudian saya sempat membaca beberapa tulisannya yang jenaka, namun tetap meninggalkan rasa dan makna. Lalu pada satu kesempatan diskusi yang diselenggarakan Komunitas Sastra Dusun Flobamora, saya akhirnya bisa melihatnya secara langsung dari dekat.
Seperti karya-karyanya, karakter Romo Amanche memang menyenangkan. Beliau ramah menyapa siapa saja yang datang mendekatinya. Satu hal yang paling berkesan, Romo Amanche selalu berusaha tahu dan menyebut nama lawan bicaranya berulang-ulang sepanjang obrolan. Pendek kata, saya kira semua hal baik ada padanya.
***
Beberapa hari sebelumnya, saya menerima undangan dari Kantor Bahasa Provinsi NTT. Selain tujuannya penting, salah satunya bisa berkenalan dengan komunitas lain, pertimbangan lain yang membuat saya hadir itu karena ada nama Romo Amanche sebagai narasumbernya.
Itulah yang membuat saya bersemangat #JalanPagi ke sana hari itu. Saya tiba di Kantor Bahasa Provinsi NTT pukul 08.08 WITA. Suasananya masih lengang, baru ada Kak Roby Fahik dan Nong, dua rekan saya yang sama-sama bergiat di Komunitas Secangkir Kopi (KSK), Kupang.
Kantor Bahasa Provinsi NTT berada satu kintal dengan kantor LPMP NTT, juga dengan lembaga lain yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kantor bahasa berada di sisi kiri dari Aula LPMP NTT. Saya perhatikan, di depan ruang kepala kantor, ada dua gedung panjang yang saling berhadapan.
Di lorong gedung itu tersedia beberapa kursi, ditambah tempat pajangan koran. Saya bergabung dengan Kak Roby dan Nong, duduk di lorong kantor itu sambil menunggu peserta lain.
Menjelang Pukul 09.00 Wita, sudah banyak peserta lain yang bergabung di situ. Ketika Romo Amanche tiba, ia seperti magnet, hampir semua orang mendekatinya untuk menyapa atau sekadar berbasa-basi sejenak.
Bapak Erwin Kembaren, selaku tuan rumah di Kantor Bahasa Provinsi NTT, menyilakan kami masuk ke salah satu ruang pertemuan. Ada satu meja panjang di tengah ruangan itu, lalu kami duduk berhadap-hadapan di sekelilingnya.
Romo Amanche duduk di sudut paling depan, dekat tempat LCD dan layar proyektor. Pak Erwin menyapa kami sebentar, lalu menjelaskan lebih detail kenapa hari itu semua komunitas sastra yang ada di Kota Kupang dan sekitarnya berkumpul di sana. Ternyata itu merupakan program Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek, khususnya Balai Bahasa Provinsi Bali.
Saya pernah mendengar penjelasan perbedaan antara Balai Bahasa dan Kantor Bahasa, entah dari siapa saat itu. Kalau tidak salah, kantor bahasa itu posisinya masih di bawah balai bahasa. Berangkali karena alasan struktural itu, makanya kegiatan itu digabung, diperuntukkan bagi komunitas sastra di Provinsi Bali dan NTT.
Kami terhubung dengan Balai Bahasa Provinsi Bali lewat Zoom. Beberapa komunitas lain yang tidak bisa hadir langsung, seperti Komunitas Leko Kupang dan Komunitas Sastra Uniflor Ende, juga bergabung secara virtual.
Romo Amanche diberi kesempatan pertama untuk berbagi pengalamannya bersama komunitas sastra Dusun Flobamora. Kalimat pertama dan kedua yang diucapkannya langsung membuat suasana ‘geerrr’ dalam ruangan kecil itu.
Di dunia stand up comedy, ada istilah set up dan punchline. Set up itu premis awal yang membentuk asumsi, kemudian punchline merupakan ‘patahan’ yang menimbulkan efek lucu bagi pendengar. Komika pada umumnya, membutuhkan setidaknya dua atau kalimat bagian set up, lalu ditambah kalimat yang diselipi punchline.
Romo Amanche, saya kira dalam satu kalimat sudah komplet untuk keduanya. Itulah yang membuat kami tertawa hampir sepanjang beliau bicara. Meski kelihatannya banyak bercanda, kami sebenarnya banyak menyerap informasi dan inspirasi dari perjalanan dan perkembangan ekosistem sastra di Dusun Flobamora.
Romo yang bernama lengkap Fransiskus A. Ninu, Pr., S.Fil., itu juga menyiapkan materi presentasi yang diberi judul “Berbagi cerita, inspirasi, dan refleksi tentang komunitas sastra di NTT”. Romo Amanche bercerita kalau Dusun Flobamora dibentuk sejak 19 Februari 2011. Saat itu niatan awalnya untuk menyatukan komunitas sastra yang ada di Kota Kupang.
Sebagai gambaran, Romo Amanche sebelumnya juga menjadi pionir pembentuk komunitas sastra di Seminari St. Mikael (Filokalia), Seminari Oepoi, dan SMAK Giovanni. Kala itu Romo Amanche, dkk., ingin komunitas sastra juga tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat umum, bukan hanya di lembaga pendidikan.
Karena itu, Romo Amanche berkoordinasi dengan komunitas sastra yang eksis saat itu, Laskar Sastra. Ada Pion Ratulloly yang menjadi penggerak di sana. Romo Amanche, Pion Ratulloly bersama beberapa nama lain menjadi pembentuk awal Dusun Flobamora. Saat itu, Pion Ratulloly dipercayakan sebagai ketua pertama.
Kenapa namanya Dusun Flobamora? Romo Amanche menjelaskan dengan membaca Pantun Pesona Flobamora. Pantun itu menggambarkan kekhasan setiap daerah yang ada di NTT. Semua keunikan itu, khususnya yang berkaitan dengan sastra, disatukan dalam wadah Dusun Flobamora.
Bagi Romo Amanche dan kawan-kawan di Dusun Flobamora, pembentukkan komunitas itu didasari hasrat saling mengenal dan mencintai. “Semua saudara dalam komunitas,” tegasnya. Rasa persaudaraan itu, bagi Romo Amanche, merupakan modal awal untuk maju ke tahap berikutnya; saling mengembangkan.
Ada beragam kegiatan yang sudah dibuat Dusun Flobamora. Mulai dari diskusi, bedah buku, seminar, kelas menulis, membuat majalah bulanan (Jurnal Santarang), lalu saat ini berkembang ke penerbitan buku.
Berdasarkan pengalaman panjang itu, Romo Amanche menyarankan, setiap komunitas sebaiknya didirikan dan dikembangkan atas dasar persaudaraan dan cinta. Semua saudara dalam komunitas; saling mengenal dan mencintai.
Setelah Romo Amanche berbagi cerita, kami langsung berkomunikasi dengan pihak Balai Bahasa Provinsi Bali. Narasumber dari Balai Bahasa Bali memberikan penjelasan tambahan mengenai tujuan acara itu dilaksanakan.
Mereka memiliki niat untuk mengetahui perkembangan sastra dari masing-masing daerah lewat geliat komunitas yang ada. Karena itu, mereka meminta kesediaan masing-masing komunitas untuk menuliskan profil komunitas dalam bentuk esai. Isinya melingkupi sejarah pendirian, tujuan, apa saja kegiatan yang dilakukan, dan informasi penting lainnya.
Panjang tulisan bebas, tetapi ada yang menyarankan 5 halaman. Sekali lagi, penjelasan tentang komunitas itu disampaikan dalam bentuk narasi; seperti menulis esai atau feature. Setiap komunitas diberi waktu sampai minggu ke-3 bulan November 2021. Jika sudah rampung, perwakilan komunitas bisa mengirimkan tulisannya ke Kantor Bahasa Provinsi NTT (Sila kontak Pak Erwin: 081213341177).
Informasi itu perlu saya sampaikan, sebab kesempatan ini terbuka bagi setiap komunitas sastra yang ada di NTT, meskipun kemarin tidak sempat hadir oleh berbagai sebab. Luaran kegiatan ini akan menghasilkan buku yang berisi cerita komunitas-komunitas sastra di Bali dan NTT. Lewat buku itu, orang bisa tahu seperti apa geliat ekosistem sastra di Bumi Flobamora. Informasi lengkap mengenai komunitas sastra di NTT akan kita dapatkan nanti, tentu saja jika program ini berhasil terlaksana.
Sebagai gambaran, berikut ini beberapa komunitas sastra yang ada di Kota Kupang, yang kebetulan hadir di Kantor Bahasa Provinsi NTT kemarin. UKIM (Uma Kreatif Inspiratif Mesra), dibentuk sekitar tahun 2006 oleh Ibu Mezra E. Pellondou atau akrab disapa Bunda Mezra.
UKIM fokus pada pengembangan sastra anak. Bunda Mezra memulainya di SMA 1 Kupang, tempat beliau mengabdi sebagai guru, kemudian berkembang luas. Anak-anak di UKIM dikembangkan berdasarkan minat masing-masing, meliputi puisi dan musikalisasi, menulis, teater, monolog, puisi, sastar digital, film, dan sebagainya. “Kita fokus pada pembentukan karakter anak,” terang Bunda Mezra.
Selanjutnya ada Komunitas Filokalia, berpusat di Seminari St. Mikael, Penfui. Ada dua frater muda yang datang, salah satunya Fr. Edi Narang. Mereka bercerita kalau pembentuk awalnya dulu memang oleh Romo Amanche, sejak 2011 dan terus eksis hingga saat ini.
Komunitas Lowewini, diwakili oleh Linda Tagie bersama beberapa anggotanya yang semuanya perempuan. Mereka memang fokus pada isu perempuan, khususnya masalah kekerasan dan kesetaraan gender. Mereka menggunakan berbagai media dalam mengampanyekan hal tersebut, salah satunya lewat karya sastra.
Di Universitas Muhammadiyah Kupang ada komunitas Aspirasi. Ada Siti Hajar sebagai penggerak utamanya selama ini. Ia bergerak bersama dengan teman-teman dosen di sana, termasuk dengan mahasiswa. Komunitas Aspira melakukan banyak hal, belajar menulis, ikut atau menyelenggarakan lomba, main teater, baca puisi, dll.
Selanjutnya, ada Komunitas Secangkir Kopi. Rian Seong sebagai salah satu Presidennya, bercerita kalau awal mula komunitas ini terbentuk di Media Pendidikan Cakrawala NTT. Kegiatannya sangat beragam, terdiri tiga bidang utama: diskusi, aksi dan donasi.
KSK mendiskusikan banyak tema, salah satunya berkaitan dengan sastra. Rian Seong menambahkan, KSK saat ini sudah berada di bawah naungan Yayasan Pustaka Pensi Indonesia (Yaspensi).
Komunitas Perempuan Biasa yang diprakarsai Ibu Lanny Koroh juga hadir. Komunitas ini memang didominasi perempuan, sesuai namanya. Perempuan Biasa begerak pada bidang seni, salah satunya lewat teater. Tapi tidak terbatas pada hal itu saja, mereka juga aktif melakukan kegiatan sosial, khususnya membantu para korban bencana di berbagai tempat di NTT.
Terakhir, perwakilan komunitas yang sempat hadir ada Mando Soriano, dari Komunitas Leko Kupang. Pembentuk awal komunitas ini adalah Felix K. Nessi bersama kawan-kawan lain. Komunitas Leko ini awalnya bergerak lewat pustaka jalanan. Kemudian berkembang pada kegiatan lain seperti pelatihan menulis, diskusi buku, menyelenggarakan festival, pembuatan situs berita, dan masih banyak lagi.
Itu beberapa komunitas sastra yang sempat hadir kemarin. Saya percaya, masih ada begitu banyak komunitas lain di luar sana. Romo Amanche sempat berusaha mendata semua yang ada di seluruh NTT, jumlahnya ada 39. Itu pun kemungkinan masih banyak yang tidak terdata. Karena itu, buat semua rekan-rekan komunitas sastra yang lainnya, silakan tulis profil komunitas Anda seperti yang saya jelaskan di atas.
Menjelang akhir acara, Bapak Syaiful Bahri Lubis selaku Kepala Kantor Bahasa Provinsi NTT, baru tiba di kantor. Tentu saja bukan karena sengaja terlambat atau mengabaikan kegiatan yang kami ikuti itu. Bukan.
Pak Syaiful bercerita, beberapa hari sebelumnya beliau bertugas di Sumba Timur. Jadwal pulang seharusnya satu harapan sebelumnya (1/11/2021), tetapi maskapai penerbangan membatalkan jadwalnya. Hal itu membuat dirinya baru tiba pada hari kegiatan kami dilaksanakan. Setiba di Kupang, beliau ke rumah sebentar, lalu masuk kantor untuk menemui kami. Ada banyak hal yang kami bicarakan, tetapi salah satu yang penting menurut saya, ada rencana kegiatan pertemuan pegiat sastra NTT. Semua yang hadir sepakat, tinggal tunggu apakah impian itu bisa terwujud atau tidak? Mari kita doakan dan dukung bersama. (Saverinus Suhardin/rf-red)