Pendahuluan
Bahasa Indonesia khususnya penerapannya dalam komunikasi lisan maupun tulisan masih sering ditemukan banyak benturan. Benturan tersebut merupakan gejala dari tidak sinkronnya pengguna bahasa sehari-sehari dengan pengguna bahasa yang sesuai kaidah berbahasa. Hal tersebut kemudian menghadirkan berbagai bentuk penyimpangan bahasa yang disebut sebagai problematik berbahasa. Tulisan ini berutujuan menjelaskan penggunaan istilah, problematik penggunaan kata, pembentukan kalimat, dan contoh serta pembahasan secara singkat dengan data yang diambil dari komunikasi sehari-hari dan bentuk bahasa yang terdapat pada karya tulis ilmiah, dan modul ajar.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata problematik bisa berkategori adjektiva dan bisa berkategori nomina. Sebagai adjektiva, problematik mengandung arti ‘masih menimbulkan masalah, masih berupa masalah’. Sebagai nomina, problematik mengandung arti ‘hal yang masih merupakan masalah, permasalahan’ (Mulyono, 2013:149).
Dalam tulisan ini, problematik dimaknai sebagai kategori nomina, seperti halnya kata dialektik, etik, metodik, praktik, dan taktik. Dengan demikian, problematik penggunaan bahasa Indonesia terkandung maksud penggunaan bahasa Indonesia yang masih merupakan permasalahan atau bentukan-bentukan bahasa Indonesia yang dalam konteks pengguanaan oleh masyarakat bersifat problematis.
Ada bentukan kata lain yang cenderung disinonimkan dengan kata problematik, yaitu kata problematika. Sepintas, kita akan mengatakan bahwa kedua kata tersebut memiliki makna yang sama, tetapi coba ditelaah lebih cermat. Pertama, bentuk kata problematika tidak merujuk pada sumber yang relevan. Kedua, bentuk –ika berasal dari bentukan –ics dalam bahasa asal, yaitu bahasa Inggris. Misalnya, ethics ‘etika’, mathematics ‘matematika’, statistics ‘statistika’. apakah problematikaberasal dari kata problematics? Tidak. Dalam bahasa Inggris tidak ada kata problematics, yang ada adalah problematic ‘problematik’.
Belakangan ini, kekeliruan penggunaan kata-kata serapan, kata-kata turunan, dan formulasi kalimat dalam bahasa Indonesia dianggap sebagai kesalahan teknis. Lebih parahnya lagi, kekeliruan-kekeliruan tersebut dilakukan oleh mahasiswa dan juga guru Bahasa dan Sastra Indonesia. Hal tersebut tidak boleh dianggap sebagai kekeliruan tetapi keterlaluan. Misalnya, kata ‘merubah’. Banyak mahasiswa dan juga guru Bahasa dan Sastra Indonesia masih sering menggunakan kata tersebut. Padahal, kata ‘merubah’ (salah) memiliki kata dasar ‘ubah’ bukan ‘rubah’ semestinya ‘mengubah’.
Berdasarkan uraian di atas, ditemukan probelamtik pengguanaan bahasa Indonesia yang terbagi dalam dua kelompok, yaitu: pertama, problematik dalam tataran penggunaan kata-kata, dan kedua, problematik dalam tataran penggunaan formulasi kalimat yang tepat berdasarkan sturktur kalimat yang benar.
Pembahasan
Pada bagian ini, dibahas berbagai macam problematik penggunaan bahasa Indonesia oleh mahasiswa dan guru Bahasa dan Sastra Indonesia berdasarkan pengamatan penulis melalui percakapan sehari-hari dan tulisan-tulisan ilmiah ditemukan pada tugas dan modul ajar. Problemtik dan pembahasan tersebut adalah sebagai berikut.
Problematik Penggunaan Kata
mengkomunikasi atau mengomunikasi
Kedua kata tersebut di atas, yang lebih sering digunakan adalah kata mengkomunikasi baik dalam berinteraksi sehari-hari bahkan dalam tulisan. Jika ditelaah berdasarkan proses afiksasi pada kedua kata tersebut, maka kata yang seharusnya digunakan adalah mengomunikasi meskipun kedengarannya kurang bagus tetapi kata tersebut merupakan bentuk dari proses afikasi yang benar. Mengkomunikasi dan mengomunikasi merupakan bentukan dari kata dasar komunikasi yang dibubuhi dengan afiks me-. Dalam proses afiksasi jika sebuah kata diawali dengan huruf K, T, S, P akan luluh karena proses afiksasi. Misalnya, komentar – mengomentar, tinju – meninju, dan sia-sia – menyia-nyiakan, pantau – memantau, dst.
Muncul pertanyaan, jika demikian bagimana dengan kata ‘kaji’ yang setelah mengamalami proses afikasi tetap menjadi ‘mengkaji’. Penggunaan kata ‘mengkaji’ didasarkan pada dua hal, yaitu: pertama, pertimbangan rasa, karena dalam bahasa Indonesia terdapat kosa-kata mengaji yang memiliki arti ‘mendaras (membaca) Alquran’ atau ‘belajar membaca tulisan Arab’ (umat Islam). Kedua, konsekuensi dari salah satu ciri dari tiga ciri kaidah bahasa Indonesia yang barlaku, yaitu: ciri pertama, memiliki kemantapan yang dinamis atau dengan kata lain, sudah mantap tetapi dinamis (dapat berubah-ubah) karena adanya pertimbangan tertentu seperti kata kaji ynag tetap menjadi mengkaji.
merubah atau mengubah
Kedua kata tersebut di atas, yang lebih sering dipakai adalah kata merubah. Padahal bentuk kata tersebut berasal dari kata dasar ‘ubah’ bukan ‘rubah’. Ini adalah kesalahan-kesahan penggunaan kata yang sering kali tidak diperhitungkan. Namun, kesalahan-kesalahan tersebut berdampak pada eksistensi kaidah pengunaan kata yang jika tidak perbaiki akan merusak kaidah-kaidah kebahasaan.
Problematik Penulisan Kalimat
Salah satu ciri masyarakat modern adalah lahirnya sikap saling ketergantungan antara profesi yang satu dengan yang lain. (sebuah opini tentang Masyarakat Modern di mading PBS)
Kekacaun makna kalimat di atas terletak pada kata saling ketergantungan. Kata saling berfungsi menerangkan kata kerja aktif yang mengikutinya, misalnya saling memahami dan saling menghargai. Sedangkan kata ketergantungan terbntuk dari ‘ke-an’ dan ‘tergantung’. Fungsi imbuhan ‘ke-an’ menyatakan bentuk saling mempengaruhi antara dua objek yang sedang dibicarakan dan saling bergantung antara satu dengan yang lain. Dengan demikian, saling ketergantungan merupakan bentuk yang salah, sebab maknanya akan berubah menjadi saling-saling tergantung antara satu dengan yang lain. Sehingga, kalimat a) tersebut harus diubah menjadi ‘Salah satu ciri masyarakat modern adalah lahirnya sikap ketergantungan antara profesi yang satu dengan yang lain.
Untuk acara selanjutnya adalah sambutan-sambutan (disampaikan oleh pewara dalam acara mengenang Chairil Anwar 28 April 2019)
Kesalahan kalimat di atas terletak pada penggunaan kata untuk dan adalah. Sesuai dengan norma kebahasaan, di depan kata adalah harus diawali dengan kata yang berkategori nomina karena bagian tersebut akan berfungsi sebagai subjek. Dengan demikian kata depan untuk tidak perlu digunakan lagi, sebab untuk merupakan bentuk kata keterangan yang bermakna menyatakan maksud dan tujuan. Jika ingin menggunakan kata depan untuk maka bagian kalimat yang didahului kata depan tersebut akan berfungsi sebagai keterangan. Dengan demikian, fokus perhatiannya ada pada kata adalah. Kata ataupun bagian yang terletak setelah adalah akan berfungsi sebagai pelengkap. Sehingga kalimat b) diubah menjadi ‘Acara selanjutnya adalah sambutan-sambutan.
Kalau misalnya kita pool A, kita pasti juara. (Percakapan menjelang Imalva Cup I 2021)
Penggunaan kata ‘kalau dan misalnya’ secara berurut memang sudah menjadi kebiasan penguna bahasa. Pertanyaannya adalah apa fungsinya dengan kalimat di atas? Justru kata misalnya mengakibatkan kalimat tersebut menjadi tidak efektif dan kabur dari segi makna. Dalam KBBI, kata misal memiliki arti ‘contoh, pengumpamaan, atau sesuatu yang menggambarkan sebagian dari keseluruhan’. Dengan demikian, tidak ada kaitan antara kata kalau dan misalnya pada kalimat di atas. Kalimat c) akan benar strukturnya dan tepat maksudnya jika salah satunya dari kata ‘kalau’ atau ‘misalnya’ ditiadakan.
Kalau menurut pendapat saya, kita harus memilih untuk melesatarikan sastra lisan sebagai tanggung jawab mempertahankan eksistensi kebudayaan (jawaban seorang mahasiswa pada diskusi mata kuliah Bahasa Indonesia)
Kesalahan yang terdapat pada kalimat di atas terbagi menjadi dua bagian, yaitu: pertama penggunaan kata kalau dan kedua, pendobelan kata dengan makna yang sama ‘menurut dan pendapat’. Dalam KBBI, kata kalau adalah ‘kata penghubung untuk menyatakan ketidakpastian atau pengandaian. Dengan demikian kehadirannya pada kalimat di atas tidak benar. ‘menurut dan pendapat’ memiliki makna yang sama sehingga cukup menggunakan kata menurut atau pendapat pada kalimat tersebut. sehingga kalimat tersebut menjadi ‘Menurut saya, kita harus………”.
Faktor Berkembangnya Problematik Bahasa Indonesia
Secara hipotetis dapat dikatakan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan berkembangnya problematik bahasa Indonesia. Pertama, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang terus berkembang sesuai dengan perkembangan IPTEKS. Kedua, sikap pengguna bahasa Indonesia belum ideal. Hal ini disebabkan karena kurangnya minat penutur bahasa Indonesia untuk mengecek pada kamus apabila ada kata-kata yang diragukan penggunaanya. Ketiga, kata atau konstruksi bahasa yang menyimpang cenderung lebih populer daripada kata atau konstruksi bahasa yang benar. Keempat, pengaruh bahasa media. Baik media elektronik maupun media cetak, memberikan konstribusi yang sangat signifikat terhadap berkembangnya problematik bahasa Indonesia. Munculah istilah-istilah baru, seperti tampil prima (Bhs Jerman ‘baik’), senggol, anjai dan juga bentuk-bentuk turuan yang salah menjadi input baru penonton atau pembaca yang secara alami akan diungkapkan kembali oleh penonton atau pembaca tersebut.
Penutup
Berdasarkan pembahasan dan hasil analisis data yang sudah ditampilkan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. 1) Pengaruh terbesar berkembangnya problematik dalam berbahasa Indonesia adalah melalui media masa (baik media eletronik maupun media cetak), 2) Sikap pengguna bahasa Indonesia belum ideal. Hal ini disebabkan karena kurangnya minat penutur bahasa Indonesia untuk mengecek pada kamus apabila ada kata-kata yang diragukan penggunaanya, dan 3) Kata atau konstruksi bahasa yang menyimpang cenderung lebih populer daripada kata atau kontruksi bahasa yang benar. (*)
Pustaka Rujukan
Alwi, Hasan, Soenjono Dardjowidjojo, Hans Lapoliwa, Anton M. Mulyono. 2003. Tata Bahasa Baku Indonesia: Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Mulyono, Iyo. 2013. Ilmu Bahasa Indonesia Morfologi: Teori dan Sejumput Problematik Terapannya. Bandung: CV. Yrama Widya.
Ridwan, Khairah. 2014. Sintaksis: Memahami Satuan Kalimat Perspektif Fungsi. Jakarta: Sinar Grafika Offset. Suparlan. 2014. Panduan Lengkap EYD. Yogyakarta: PUSTAKABARUPRESS.