Pengantar
Pada abad ke-21 ini, Xúnzǐ hadir dengan mengetengahkan pemikirannya untuk kehidupan dan sebagai sebuah etika yang berpengaruh pada pemahaman tentang siapa dan bagaimana manusia itu dalam usaha memahami dirinya. Pemikirannya pun sering bertentangan dengan pemikiran orang lain. Secara khusus dalam pemikirannya tentang kodrat manusia.
Xúnzǐ atau yang sering juga disebut Xun Kuang, lahir di negeri Zhao. Tidak ada catatan yang jelas tentang latar belakang kehidupannya. Pada masa muda ia belajar di negara Qi. Ia berkelana dari satu negara ke negara lain dan kemudian pensiun pada tahun 238 SM. Ia masih sempat melihat seluruh Cina disatukan oleh negara Qin 221 SM. Murid Xúnzǐ yakni Li dan Han Fei berperan besar membantu negara Qin dalam peperangan hingga pada akhirnya mencapai kemenangan, tetapi anehnya pemerintahan Qin sangat menentang ide-ide Xúnzǐ tentang pemerintahan berdasarkan moral.
Menyangkut karyanya menurut versi yang ditemukan sekarang dibagi dalam 32 buku/bab. Kebanyakan karya Xúnzǐ merupakan esai tentang satu topik. Karyanya lebih dikenal sebagai karya filsafat bila dibandingkan dengan para pemikir awal Cina lainnya.
Xúnzǐ adalah seorang filsuf hebat yang mampu menelaah apa yang menjadi kodrat manusia ketika dilahirkan dan apa yang hendak dicapai manusia melalui disiplin pendidikan. Dia tentunya tidak sekedar membuat suatu gebrekan baru, tanpa pendasaran yang kuat. Ia justru mendasarkan pemikirannya pada eksistensi manusia yang sesungguhnya.
Xúnzǐ bukanlah filsuf satu-satunya yang berbicara mengenai kodrat manusia. Pemikiran Xúnzǐ tentang kodrat manusia sangat bertentangan dengan pemikiran Mencius. Dalam pemikiran Mencius, kodrat manusia itu dari lahir sudah menjadi baik, sedangkan dalam pemikiran Xúnzǐ manusia terlahir dalam kodratnya yang jahat (Fung Yu-Lan, 1990: 190).
Dari kedua pandangan yang bertentangan satu sama lain ini, tentu bukan tanpa pendasaran yang kuat. Xúnzǐ mendasarkan pemikirannya pada prinsip kejahatan inderawi manusia. Mencius mendasarkan pemikirannya pada kemampuan akal budi manusia yang menjadikan manusia itu memiliki rasa kemanusiaannya, misalnya rasa simpati, saling menghormati, rasa malu dan rasa senang (R. Bambang Rudianto, 1993: 101).
Rasionalitas dan Naturalitas Manusia
Xúnzǐ mengembangkan teorinya mengenai rasionalitas dan naturalitas manusia yang secara menyeluruh mau melepaskan idealisme Mencius (The Encyclopedia Americana, 1973: 517). Ia mengkritisi pemikiran Mencius tentang kebaikan dari kodrat manusia, karena menurutnya pada dasarnya manusia itu memang telah menunjukkan kejahatan-kejahatannya.
Xúnzǐ menjelaskan kejahatan-kejahatan itu. Pertama, manusia dilahirkan dengan keinginan untuk mendapatkan keuntungan, kalau dipenuhi muncul pertengkaran dan keserakahan. Sedangkan rasa sopan santun dan rasa mengalah menjadi sirna. Kedua, manusia dilahirkan dengan rasa iri dan benci. Kalau kecenderungan ini diikuti kekejaman dan kekerasan akan merajalela, sedangkan kesetiaan dan kehendak baik akan menjadi sirna. Ketiga, manusia dilahirkan dengan nafsu telinga dan mata, sehingga manusia bernafsu mencari yang merdu dan cantik. Kalau kecenderungan ini diikuti berbiaklah kemesuman dan ketidakteraturan, sedangkan Li dan Yi sirna bersama tingkah laku sopan santun (Reksosusilo, 2008: 56).
Kejahatan-kejahatan tersebut hanya akan terjadi jika manusia tidak mengindahkan latihan atau pengolahan diri. Ia meyakini bahwa kebaikan juga dapat diperoleh, dengan menjalani sistem pendidikan.
Jika manusia selalu dihadapkan pada sistem pendidikan, maka manusia tentu akan berkembang dalam jalur positif. Pendidikan akan menjadikan seseorang sungguh memahami apa yang baik bagi dirinya dan bagi semua orang.
Pendidikan juga menentukan pola kehidupan manusia. Hal ini dapat mengarahkan manusia pada suatu budaya hidup yang cocok bagi sistem untuk menerapkan suatu kebaikan dan kebenaran. Karena itu, sangat tepat bila dikatakan bahwa filsafat Xúnzǐ adalah suatu filsafat budaya (Fung Yu-Lan, 2007: 187).
Filsafat budaya ini, ditentukan tingkatan status antarmanusia dalam masyarakat yang memiliki perbedaan mendasar antara satu dengan yang lain, sehingga diperlukan adanya pembagian tugas supaya tidak saling tumpang tindih dalam bekerja (Reksosusilo, 2008: 61).
Kodrat Manusia
Sekalipun Xúnzǐ termasuk dalam tokoh arsitek filsafat Konfusianisme, tetapi pandangannya tentang kodrat manusia justru hampir sama dengan pandangan kaum Legalis yang sangat bertentangan dengan pandangan Konfusianisme.
Kaum Legalis berpendapat bahwa pada dasarnya orang itu jahat. Namun yang menjadi perbedaan ialah solusi untuk membebaskan manusia dari kejahatan itu. Menurut kaum Legalis, untuk mencapai atau menciptakan kesejahteraan manusiawi dibutuhkan adanya otoritas (kekuasaan) hukum dan negara (Mudji Sutrisno, 2004: 35).
Sementara itu Xúnzǐ sebagai sayap realistik konfusianime berpendapat bahwa kodrat jahat dapat disingkirkan dan manusia dapat mencapai kebajikan yakni melalui latihan (wei-latihan yang dilatihkan). Pernyataan ini memperlihatkan persamaan pandangannya dengan Mencius yang juga termasuk salah satu tokoh pengembang ajaran Konfusianisme.
Xúnzǐ memposisikan manusia dalam hubungannya dengan “Surga/Langit” (T’ien) dan “Bumi.” Menurut Xúnzǐ, “Langit” bukanlah sesuatu yang mempengaruhi hidup manusia, melainkan hanya sekedar tata aturan yang membuat musim berjalan teratur atau tata aturan hukum dalam alam dan “Bumi” adalah tempat bahan hidup untuk manusia yang harus diolah sehingga memberikan hasilnya.
Dari relasi manusia dengan “Langit” dan “Bumi” dapat ditentukan beberapa karakter dari kodrat manusia, yaitu:
Menghadirkan Sesuatu dari Hidupnya
Manusia mempunyai kemampuan untuk menilai sesuatu hal sebagai bagian dari kodratnya sendiri. Dalam kedudukannya di antara dunia perkembangan alam semesta, manusia memiliki dua aspek perkembangan/pertumbuhan. Manusia tidak hanya bertumbuh secara fisik, tetapi juga bertumbuh secara mental; artinya kedua pertumbuhan ini memegang peranan penting dalam menentukan hakekat manusia yang sesungguhnya.
Pada model pertumbuhan ini, manusia tidak hanya mengalami di dalam dirinya sendiri, tetapi juga memiliki kemampuan menumbuhkan sesuatu di luar dirinya. Manusia mampu menghadirkan nilai kehidupan bagi orang lain. Nilai kehidupan ini berasal dari budaya yang diciptakan manusia (Fung Yu-Lan, 1990:187). Dalam hal ini, kodrat manusia memiliki karakter menciptakan atau menjadikan sesuatu.
Membentuk Pengenalan melalui Pendidikan
Karakter manusia juga ditentukan oleh kemampuannya membentuk suatu pengenalan. Kemampuan ini lahir dari akal budi manusia. Akal budi menjadikan manusia itu bisa mengenal kebaikan. Dalam proses pengenalan ini diperlukan sosok guru (pendidikan), supaya memberikan petunjuk atau arahan bagi akal budi manusia dan menjadikannya sebagai orang bijaksana (Reksosusilo, 2008:62-53). Dengan membina aspek kecerdasan manusia ini, maka pengenalannya akan kebaikan (rasa kemanusiaan, rasa keadilan, ketaatan terhadap hukum dan kejujuran) sungguh mendorongnya menjadi baik.
Mencapai Kebaikan dan Kebijaksanaan
Konsep Xúnzǐ tentang kodrat manusia benar-benar bertentangan dengan pandangan Mencius, akan tetapi ada satu hal yang menyatukan pendapat mereka, bahwa setiap manusia entah bagaimana pun keadaannya dapat menjadi manusia yang bijaksana (Fung Yu-Lan, 1990: 191). Kebijaksanaan merupakan idealitas yang hendak dicapai oleh kodrat manusia yang pada dasarnya jahat. Xúnzǐ melihat sosok manusia bijaksana sebagai yang harus menjadi panutan. Hanya orang yang memiliki kebijaksanaan yang mampu menguasai dirinya secara penuh.
Menurut Xúnzǐ, untuk mencapai tingkatan kebijaksanaan ini bukanlah suatu perkara yang mudah, karena pertama-tama harus ada dalam diri manusia suatu tekad untuk berusaha mengolah diri dan belajar mendalami prinsip-prinsip kehidupan itu sendiri. Yű (seorang bijaksana), yang dianggap oleh Xúnzǐ sebagai jalan mutlak bagi siapa pun yang ingin menjadikan dirinya bijaksana terhadap dirinya sendiri dan terhadap orang lain.
Perlu Ketekunan dalam Mengolah Diri (Latihan)
Ketika manusia menyadari bahwa ia adalah makhluk yang tidak bisa tidak beraktivitas, maka latihan pengolahan diri ini tidak sulit untuk dipraktikkan. Manusia memiliki kelebihan ini jika dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya. Ketekunan dalam mengolah diri ini merupakan jalan menuju kebijaksanaan.
Menurut Xúnzǐ, manusia dilahirkan sebagai yang memiliki dua dimensi sekaligus yakni benih kebaikan dan benih kejahatan (Fung Yu-Lan, 1990: 192). Kedua dimensi dalam diri manusia ini saling bertentangan atau berlawanan. Keduannya merupakan potensi yang sama-sama memiliki peluang untuk berkembang menjadi matang dalam kedua dimensi kodrat masing-masing.
Dalam diri manusia yang tidak mampu mengolah dirinya untuk mengembangkan benih kebaikan, maka benih kejahatanlah yang berkembang. Demikian juga sebaliknya, jika manusia itu mampu bertekun mengolah diri melalui latihan dan pembelajaran hidup, maka kodrat kejahatan akan terhapus dan kodrat kebaikan menjadi bertumbuh.
Perhatian Xúnzǐ terhadap proses perjalanan menuju kodrat kebaikan manusia ini menunjukkan bahwa selalu ada kemungkinan bagi manusia untuk menjadi seorang bijaksana, asalkan menuruti tahap pertama ini. Hal ini tampak jelas dari pernyataannya berikut:
“Human nature is bad. Good is a human product. Human nature is such that people are born with a love of profit if they follow these inclinations, they will struggle and snatch from each other and inclinations to defer or yield will die. They are born with fears and hatreds. If they follow them, they will become violent and tendencies toward good faith will die.” (Patricia Ebrey, 1993: 25-26).
Dengan memberikan pernyataan demikian Xúnzǐ sama sekali tidak bermaksud mendiskreditkan hakekat manusia. Manusia sebenarnya dilahirkan dalam keadaan yang memprihatinkan, sebab jika ia baik dan sempurna adanya, maka tak diperlukan lagi suatu latihan. Manusia hanya dapat berkembang jika ia mau berusaha mengembangkan dirinya melalui latihan-latihan. Latihan ini dimaksudkan untuk mencapai kebaikan, karena kebaikan tidak datang dengan sendirinya (Fung Yu-Lan, 1990: 188).
Dalam banyak hal manusia selalu dihadapkan pada berbagai kecenderungan (inclinations) yang bersifat menyenangkan, tetapi jika terus diikuti, maka benih kebaikan manusia menjadi sirna. Di sinilah dituntut suatu komitmen yang kuat dari dalam diri manusia untuk senantiasa berusaha menguasai segala bentuk kejahatan.
Perlu Hidup Bersama
Xúnzǐ secara jelas sangat menekankan perlunya bentuk kehidupan bersama; ia mengatakan: “Manusia tidak dapat hidup tanpa organisasi sosial” dengan alasan bahwa manusia perlu saling bekerjasama dan saling membantu (Fung Yu-Lan, 1990: 189). Dengan membentuk suatu struktur organisasi dalam kehidupan manusia, Xúnzǐ melihat kemungkinan-kemungkinan yang bisa mengarahkan manusia pada suatu kekuatan.
Manusia yang hidup seorang diri saja tidak akan kuat dalam bertahan hidup, karena banyak kemungkinan yang menjadi ancaman. Manusia seorang diri tidak akan mampu menghadapi serangan dari banyak musuh atau dari binatang-binatang buas. Karena itu, jalan atau cara yang tepat mengantisipasi ancaman maut tersebut adalah dengan menjadikan diri sebagai bagian dari masyarakat (organisasi).
Dalam kehidupan bersama ini, Xúnzǐ sebenarnya sudah menanamkan banyak nilai (unsur) penting bagi kebaikan hidup manusia, di antaranya unsur sosial (kebutuhan bekerjasama, saling menolong), unsur politik (kekuatan, keamanan hidup dan mampu menguasai makhluk yang lain), unsur ekonomi (menciptakan sesuatu yang berguna bagi kebutuhan hidup dalam jumlah banyak bagi semua orang; misalnya, untuk menciptakan sistem pertanian yang kokoh), unsur religius (menyatukan keyakinan dan dapat mengadakan bentuk syukuran atas kebaikan hidup yang diperoleh secara bersama) dan unsur hukum (menetapkan aturan hidup bersama, demi kebaikan umum).
Syarat untuk mau menghayati kehidupan bersama ini jelas menjadikan manusia hidup lebih baik. Kebijaksanaan hanya dapat diperoleh jika orang mau belajar dari banyak orang. Ini tentu mengandaikan bahwa orang siap hidup bersama sebagai satu organisasi (masyarakat), karena kebijaksanaan diperoleh juga bukan hanya untuk diri sendiri (menjadi tidak berguna), melainkan juga untuk banyak orang.
Melalui Upacara atau Ritual
Upacara atau ritual dalam pandangan Xúnzǐ memiliki daya untuk membawa orang menjadi bijaksana. Praktik-praktik ritual dalam arti tertentu memang memiliki daya magis atau kekuatan sehingga mampu meyakinkan dan mengubah kepribadian orang. Menyangkut hal ini dikatakan bahwa manusia pada dasarnya jahat, maka ia merindukan hidup yang baik dan teratur dan karena itu orang bijak menciptakan ritus/upacara, aturan.
Pandangan Xúnzǐ tentang ritus sangat dipengaruhi oleh pandangan Konfusianisme. Dalam bukunya tentang ritus, Xúnzǐ berkata: Ritus meperhatikan benar perlakuan atas kehidupan dan kematian manusia. Hidup adalah permulaan manusia dan kematian adalah akhirnya. Jika permulaan dan akhir manusia ini diperlakukan dengan baik, maka jalan kemanusiaannya menjadi sempurna (Fung Yu-Lan, 1990: 196).
Penutup: Sebuah Catatan Kritis
Pandangan Xúnzǐ tentang kodrat manusia tampak terlalu pesimitis dan ia kurang konsisten untuk mempertahankan konsepnya tentang kodrat manusia. Pada bagian awal pemikirannya dikatakan bahwa pada dasarnya kodrat manusia adalah jahat. Dalam arti ini berarti manusia yang dari kodratnya jahat tentu dengan sendirinya tidak memiliki peluang lagi untuk menjadi bijak, karena kodratnya ialah jahat. Namun dalam pembahasan selanjutnya ia mengatakan bahwa manusia memiliki peluang untuk menjadi bijak dengan cara mengikuti Li dan yi.
Alasan kedua yang kiranya dapat dipertanyakan lebih lanjut ialah: bila pada dasarnya kodrat manusia adalah jahat, dari mana unsur kejahatan itu? Di dalam diri setiap orang memang terkandung unsur baik dan unsur jahat di mana keduanya sangat berperan aktif mempengaruhi pribadi orang tersebut, namun bukan berarti bahwa keburukan mendominasi kodrat dari setiap pribadi itu. Mungkin di sinilah salah satu letak kekurangan dari pandangan ini.
Hal lain yang sulit untuk diterima ialah gagasannya yang secara langsung bertentangan dengan pandangan agama-agama. Baginya manusia tidak perlu mencari pertolongan kepada kuasa Dao Langit atau Dao bumi atau kekuatan apa pun, karena prinsipnya segala sesuatu bergantung pada usaha manusia sendiri. Alam pikirannya lebih condong kepada materialisme dan naturalisme. Namun terlepas dari sikap skeptisnya tentang kodrat manusia, solusinya agar manusia dapat melepaskan diri dari kejahatan patut diberi apresiasi.
Pemikiran Xúnzǐ tentang kodrat manusia sungguh memberikan banyak kontribusi bagi sistem pemikiran filosofis Cina pada masa itu. Hal yang sama bahwa ini cocok bagi bagunan pemikiran yang hendak memperjuangkan keterpurukan nilai kodrat manusia dewasa ini. Awal dari kodrat manusia memang jahat, tetapi akan mencapai kebaikan jika tetap berusaha mengolah diri dan mengembangkan benih kebaikan yang belum tampak dalam diri manusia. Kebaikan manusia juga bersifat universal, yakni mencakup semua orang dan berbagai lapisan hidup manusia, bukan hanya untuk diri sendiri. Pencapaian kebaikan menjadi akhir dari usaha dan perjuangan hidup manusia di tengah masyarakat.
Baik kehidupan organisasi, pendidikan maupun ritus memiliki makna penting dalam kehidupan pada abad ke-21 ini. Tujuan utama pendidikan ialah untuk mencapai kebenaran yang sejati. Artinya bahwa pendidikan itu harus mampu membawa kita kepada Allah. Selain pendidikan, Kehidupan bersama (organisasi) dan ritual juga merupakan hal yang sangat berguna untuk lebih mendekatkan diri dengan Tuhan dan sesama.
Pendidikan tidak terlepas dari praktik hidup bersama dalam komunitas, maupun dalam masyarakat. Namun pengetahuan yang benar ialah pengetahuan yang mengarahkan kita kepada kebijaksanaan untuk menemukan Allah. Baik pendidikan, kehidupan bersama, maupun ritus/ upacara yang saat ini kita alami merupakan satu kesatuan yang harus diusahakan terus-menerus demi menemukan jati diri manusia yang bijaksana sebagai sebuah etika kehidupan pada abad ke-21 ini. (*)
Daftar Rujukan
The Encyclopedia Americana – International Edition. New York: Americana Corporation. 1973.
Ebrey, Patricia. Chinese Civilization – Vol. 2. New York: Free Press, inc. 1993.
Reksosusilo. Sejarah Awal Filsafat Timur. Malang: Pusat Publikasi Filsafat Teologi Widya Sasana. 2008.
Rudianto, R. Bambang, dkk. (red.). Jelajah Hakikat Pemikiran Timur. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1993.
Yu-Lan, Fung. Sejarah Filsafat Cina. Terj. John Rinaldi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.
Yu-Lan, Fung. Sejarah Ringkas Filsafat Cina. Terj. Soejono Soemargono. Yogyakarta: Liberty. 1990.
Sutrisno, Mudji. Zen Buddhis: Ketimuran dan Paradoks Spiritualitas. Jakarta: Obor, th.2004.