Kepada
Ytk. Para Sahabat Guru
di Sekolah
Salam damai sejahtera.
Sahabat, suratmu telah kubaca. Aku tahu, ada banyak hal yang terjadi di antara kita. Aku membalas suratmu sesuai keinginanmu dalam ketergesaan waktu yang sempit. Hal penting saja yang kujawab. Berikut jawabanku.
Sahabat Guruku, tahukah, apa TUJUANMU masuk bergabung di Rumah Pendidikan? Mari dan lihatlah. Datang dan raihlah mimpimu itu. Tapi, sering cita-cita dan tujuan untuk menjadi guru hebat-guru inspiratif-guru penggerak tidak tercapai. Padahal, namamu menunjukkan karakter dirimu, sekolahmu, dan jabatanmu. Bahkan status kedudukanmu. Nama menunjukkan ciri khas, dan citra.
Sahabat Guru, katakan SIAPA NAMAMU? Apa kompetensimu? Katakan siapa teman-temanmu? Dan aku akan katakan siapa dirimu dan seperti apa sekolahmu.
Kau sering BANGGA sebagai… Bangga sebagai orang yang tampan pasang gaya, millenial pamer cassing. Sebagai si kaya jual-pamer harta, sebagai si miskin jual deritamu. Sebagai si cerdik pandai pake otak preman, dan sebagai si bodoh yang harga dirinya diobral. Kau bangga berpolitik di rumah pendidikan bukannya memberikan contoh pendidikan politik pendidikan, bangga bila disapa sebagai si ingkar janji, lupa lagu himne profesimu. Yang kuketahui, bahwa sejatinya Guru Hebat, Guru Profesional menepati janjinya.
Aku tahu engkau perajut setia dan sejati dalam sunyi pun keramaian berkarya. Kegilaanmu, pemberontakan ekspresi budimu, adalah tangisan Ibu. Jika ibumu sudah menangis, apa yang akan terjadi? Bukalah topengmu!
Jangan sekaligus katakan “YA” dan “TIDAK” karena pada waktu yang bersamaan engkau tidak bisa melakukan kedua hal itu. Jangan katakan Ya Pak/Ibu Guru, OK teman, Yes sahabat, iya kaka guru, jika nantinya tak mampu mewujudkan jawabanmu. Lebih baik di hadapanku katakan tidak bisa, menolak dan melawan aku dengan kerasnya tetapi pada akhirnya di belakangku kamu sadari hal tersebut, bisa merubah dirimu dan mampu berbuat sesuatu yang kecil daripada tidak berbuat sama sekali. Guru, sahabatku, jadilah besar dan terhormat melalui hal-hal kecil. Kecil itu indah, teman.
Orang tidak akan MENGINGATMU teman, karena engkau takut menghadapi masalah. Mereka tidak akan mengenalmu sebab engkau takut merubah dirimu yang sekarang, yang sementara ditempa, digembleng dan yang sementara mengabdi.
Adik, anakku, guruku, rekan, dan pimpinan sahabatku. Jangan hanya BERSUARA BESAR di ruang kecil apalagi di luar kelas yang dihadiri orang-orang yang otak dan nyalinya kerdil. Masih beranikah aku dan engkau dan kita bersuara nyaring saat hasil test kejujuran kita rendah? Saat tak ada perubahan di sekolah? Saat ada rekan yang mengalami ketidakadilan? Ketika membenarkan kebiasaan dan bukan membiasakan kebenaran?
Wahai kamu sekalian yang masuk golongan guru sahabatku. Berbicaralah bila diminta. Bicaralah seperlunya. BICARALAH MEYAKINKAN, dan berhentilah bicara pada waktunya. Tak usah teriak di kelas bila tak ada guru yang mengajar, meraung-raung saja saat diskusi kelompok, dan berpekiklah saat masalah studimu teratasi. Tak usah teriak bila jasa pelayananmu lamban dan bahkan tak terbayarkan, meraung-raung sajalah saat mengelola kelasmu tanpa RPP walau tak masuk kelas, dan berpekiklah saat kurikulum operasional sekolah berbasis kompetensi ilmu dari sekolah kita matching dengan dunia industri menjawabi animo masyarakat.
Semoga senyum dan tawa dari siswaku, guruku, rekan sahabat dan pemimpinku bukan hanya pemanis dan pelengkap sempurnanya sandiwara dari perbendaharaanmu yang tak tahu bahkan kelupaan arti kata Corps. Wajahmu tak butuh polesan maskara Sari Ayu Mustika Ratu. Juga tidak perlu ponds dan citra hand and bodylotion. Biarkan NODA di WAJAH dan BATINMU tetap ada supaya engkau selalu ingat kata disiplin kerja, kinerja, dan ketulusan pada tatapan wajah dia, mereka, aku, kami, dan DIA dalam pelayananmu.
Guru Sahabatku…, bila suatu saat aku BERTAMU di ruanganmu, di meja kerjamu, di kantormu, di rumahmu dan di relung hatimu, aku berharap bahwa sebelum dan setelah bertemu denganmu keadaanku baik-baik sajalah. Sebab kata orang engkau adalah orang yang menuai di tempat yang tidak kau tuai, memanen apa yang tidak pernah kau tabur, dan menerima balas jasa walau tidak sepadan dengan beban kerja. Katanya engkau tak segan meracuni orang dengan pikiran dan perbuatan konyolmu. Minuman kata-kata yang kau suguhkan rasanya pahit melebihi racun, dan beracun. Coba sajikan juga madunya? Akar pendidikan memang pahit tapi buah pendidikan manis di puncak pohon pengetahuan.
Sahabatku, mengapa engkau suguhkan MINUMAN BERACUN ini? Sebagai tamu yang baik, aku akan meminum pemberian yang keluar dari ketulusanmu. Aku tahu minuman ini beracun. Jika aku tidak meminumnya, maka aku selamat tapi kamu semua ‘mati’. Jika aku meminumnya, aku ‘mati’, tapi kamu semua selamat. Jadi, bagaimana? Biarkan aku meminum ‘racun’ literasimu itu, asalkan kau, teman terbaikku, dan semua kalian selamat. Setelah aku meminumnya, berjanjilah bahwa engkau tidak ikut minum. Biarkan kuakhiri hidupku ini dengan mencicipi ‘racunmu’. Sebab, aku mau membuktikan murninya persahabatan kita ini. Persahabatan antara aku dan engkau, antara aku dan engkau rekan guru, antara aku gurumu dan kamu siswaku terkasih. Antara aku rekanmu dan kamu pimpinanku. Antara aku dan kalian semua yang di Sekolah. Aku siap mati demi kebenaran di jalan literasi. Kalau kalian? Bersediakah kalian tidak menambah dosa literasi di jalan suci ini?
Jika hari ini engkau tidak ‘membunuhku’ dengan racun ‘literasimu’ itu, maka esok aku tidak memberimu kesempatan untuk ‘membunuhku’, dan engkau tidak akan pernah mendapatkan kesempatan itu lagi. Apa bedanya ‘mati’ diracun malam ini olehmu dengan ‘mati’ dieksekusi di fajar beramai-ramai oleh kronimu?
Teman guru, sebelum aku pergi jauh, tataplah wajahku baik-baik supaya besok engkau tidak akan melupakan wajahku saat literasi numerasi, literasi digital pendidikan abad 21. Dan jikalau esok engkau ada pulsa, ketiklah namaku ‘Pilatus’ di WhatsApp handphone-mu. Buatlah sejarah hari ini, dan ubahlah sejarahmu. Aku takut esok tidak dapat melihatmu berliterasi lagi, entah di kelas dan sekolah kita ini secara online pun offline, di daratan maupun di lautan, bahkan di surga raya tempat semua pahlawan tanpa jasa, pahlawan iman, dan para beriman menerima kemuliaannya setelah berpastoral literasi di mayapada. Sekarang tibalah saatnya, ijinkanlah aku temanmu ini pergi dalam damai. Aku berdoa, “Ya Tuhan terimalah rohku, Amin”. Inilah ketakutan aku terhadap ‘racunmu’ teman.
Dalam ketakutanku itu, aku teringat: SEGALA SESUATU PERLU DIUJI, termasuk engkau teman dan guru terbaikku perlu diuji. Ujian perlu untuk mencapai cita-cita. Jika ingin miliki cita-cita luhur, engkau harus berani “kehilangan” hal-hal penghambat cita-citamu. Termasuk harus berani kehilangan dirimu teman, jika engkau menghalangiku dalam menggapai cita-citaku temui sang Guru Kehidupan, Kebaikan Tertinggi, Tuhanku dan Allahku.
Sahabat, bila Profesi Guru adalah cita-citamu dan menjadi guru hebat adalah panggilan esensialmu, baiklah BUKA MATAMU DI LAUT DAN HATIMU DI DARAT. Jangan hanya ahli melihat yang terlihat di depan mata atau yang terlihat di kapal dan tampak pada permukaan laut. Mampulah juga memandangi yang tak tampak di depan mata dan tak tampak di kapal dan di lautan. Alangkah lebih berguna lagi bila sanggup melihat yang di dasar samudera, melihat yang di dalam hati. Tidak pernah sesuatu yang besar dicapai tanpa semangat besar.
Sahabatku, kata orang SIAPAKAH AKU GURUMU YANG SATU INI? Kata orang siapakah engkau? Ada yang mengatakan bahwa engkau adalah… ada yang mengatakan … dan ada pula yang mengatakan … atau salah seorang … dia adalah….
Tetapi APA KATAMU, siapakah engkau? Siapakah aku ini? Wahai kalian guru dan sahabat guruku, apakah kalian mengasihi aku? Mengasihi bapak dan ibu guru? Mencintai anak-anak didik? Kasihi ayah-ibu? Apakah engkau mengasihi aku, dia, mereka, dan kami semua yang mencintai dirimu? Mari, ikutlah aku, dan kamu akan kujadikan anak-anak Guru yang pancasilais. Kami rela tenggelam, asalkan kamu dan mereka semua terapung. Beranikah engkau siap dalam posisi tenggelam demi keselamatan hidup mereka?
Semoga perkataan-perkataan yang hari ini kutuliskan kepadamu menetap dalam hatimu dan kau teruskan kepada adik-adikmu dan kepada sahabat kenalan dan saudara-saudara guru dan pimpinanmu yang sekarang dan para penerus kamu semua. Renungkanlah pesan SOS (Save Our Souls) ini pada waktu duduk di rumah, atau bergegas di jalan, waktu mau tidur atau hendak bangun, waktu pelayaran intelektual di kelas maupun pelayaran niaga di lautan kehidupan, bahwa: Tuhan Allah kita hanya satu. Dialah sahabat dan Guru Kebijaksanaan yang paling tahu keadaan kita. TUHAN MENGASIHI aku, engkau, kita dan mereka, serta semua yang menamakan diri pengajar, saudara dan sahabat para pendidik. Sahabat sejati adalah pemberian dan anugerah dari Tuhan.
Para Guru dan Sahabat Guru, di akhir suratku ini, aku mau berdoa untukmu semua kepada Sang Guru Ilahi:
Ya Tuhan, terimalah sembah baktiku di awal hari ini, sambutlah aku, saudara para guru dan sahabat guru pilihan-Mu, di akhir pelayanan hidup kami. Amin.
Kupang, 24 November 2021
Sahabatmu,
TTD
Abba Tresno