Flores Siaga Bencana

0
164
Oleh Isidorus Lilijawa, Pegiat Literasi

Selasa, 14 Desember 2021, Pukul 11.20 Wita, kita dikejutkan oleh gempa bumi yang mengguncang Larantuka, Flores Timur dengan kekuatan 7,4 skala richter. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menginformasikan lokasi gempa berada di 7.59 lintang selatan, 122,26 bujur timur. Gempa terjadi pada 112 km barat laut Larantuka, di kedalaman 12 km. BMKG langsung mengeluarkan peringatan dini tsunami untuk wilayah Maluku, NTB, NTT, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.

Gempa bumi yang berpotensi tsunami itu mengagetkan dan membikin panik banyak warga di Flores, khususnya yang berdomisili di dekat pantai. Pasca gempa, aneka berita berseliweran di sosial media. Video-video yang merekam kepanikan warga menghiasi jagad maya. Setelah 29 tahun lalu, Flores dihantam gempa dan tsunami besar yang memakan begitu banyak korban jiwa dan material, munculnya gempa yang berpotensi tsunami kemarin membangunkan trauma masa lalu itu. Maka, ketakutan, kepanikan, kegelisahan adalah reaksi wajar ketika kita berada dalam situasi semacam itu.

Kita bersyukur bahwa beberapa saat setelah itu, BMKG mencabut status peringatan dini tsunami. “Setelah lebih dari dua jam pasca kejadian dan tidak terdeteksi ada kenaikan muka air laut lagi, maka peringatan dini tsunami dinyatakan telah berakhir.” Demikian kata Kepala BMKG Pusat Dwikorita Karnawati. Itu berarti warga sudah boleh kembali ke rumah masing-masing. Dalam pantauan BMKG potensi tsunami tidak terjadi. Tetapi kewaspadaan warga harus terus terpelihara.

Merefleksikan Bencana

Lantas, apa yang bisa kita refleksikan dari peristiwa gempa Larantuka ini?  Pertama, sadar bencana. Kita harus menyadari bahwa kita tidak tinggal di zona yang nyaman dari bencana. Itu berarti kapan saja kita bisa dihantam bencana seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, seroja, tanah longsor, dan sebagainya. Kita tinggal di daerah yang berpotensi bencana. Maka kita harus selalu waspada dan terus mengantisipasi. Indikator-indikator terjadi bencana bisa kita pelajari. Dalam konteks ini kita harus menghargai siklus alam dengan logikanya. Tidak bisa kita paksakan logika kita, common sense kita untuk dipatuhi alam. Mengerutu dan mengutuki alam juga tidak ada gunanya. Kitalah yang harus beradaptasi dengan logika alam, logika semesta. Maka ketika alam butuh keseimbangan melalui yang kita namakan bencana, kita harus mengatur keseimbangan kita agar kita tidak menjadi korban. Itulah hukum semesta. Pada saatnya semua bergerak untuk mengatur keseimbangan. 

Kedua, bencana pasti melahirkan kepanikan. Itu korelasi bencana dan kemanusiaan. Tetapi kepanikan yang tidak terkontrol justru bisa melahirkan bencana. Dari video-video yang beredar kemarin, terlihat ada gelombang kepanikan di mana-mana khususnya di daerah yang dekat pantai. Orang-orang berhamburan keluar dari rumah, dari kantor, dari sekolah dan berlari di jalanan. Itu reaksi wajar. Tetapi dengan pemahaman yang cukup tentang bencana, kita bisa mengambil keputusan yang tepat. Mengevakuasi diri pada jalur yang tepat dengan tidak menimbulkan korban pada diri sendiri maupun orang lain. Kepanikan bisa dipicu juga oleh traumatisme. Maka, di dearah bencana penting untuk mengedukasi anak-anak sejak dini tentang bencana. Penting juga untuk melakukan sosialisasi terkait potensi-potensi bencana yang bisa datang mengancam. Yah, sosialisasi memang harus dilakukan karena memang kita tinggal di daerah berpotensi bencana.

Ketiga, setelah bencana yang sebenarnya, akan ada bencana-bencana susulan berupa berita-berita hoax. Informasi hoax adalah bencana karena informasi itu membuat orang semakin panik, takut, cemas dan bisa mengambil keputusan yang salah.  Kemarin misalnya beredar informasi hoax bahwa telah terjadi tsunami, permukaan air laut naik. Informasi yang tersebar melalui sosial media ini bisa menambah kepanikan warga. Padahal itu bukan pengumuman dari institusi resmi seperti BMKG. Sumber berita itu pun tidak jelas. Lalu beredar juga potongan-potongan video tentang tsunami yang terjadi di daerah lain pada waktu tertentu. Nah, informasi-informasi semacam ini sungguh mengaduk-aduk perasaan warga. Tanpa upaya dari institusi resmi dan instansi pemerintah terkait kebencanaan melawan informasi hoax, warga semakin tersandera dalam ketidakpastian informasi. Ini kontraproduktif di masa hadirnya bencana.

Keempat, mitigasi bencana itu penting. Mitigasi bencana adalah segala upaya yang dilakukan untuk mengurangi risiko bencana. Program mitigasi bencana dapat melalui pembangunan secara fisik, maupun peningkatan kemampuan menghadapi bencana. Untuk wilayah Flores mitigasi bencana adalah kebutuhan vital. Di daerah berpotensi bencana sudah harus ada jalur evakuasi. Ketika terjadi gempa dan tsunami warga harus bergerak ke mana. Ketika terjadi longsoran dan gunung Meletus warga harus buat apa. Mitigasi itu harus dipersiapkan dan dipelajari. Setelah gempa Flores 29 tahun silam, konstruksi bangunan langsung menyesuaikan dengan konstruksi tahan gempa. Hasilnya bisa kita lihat kemarin. Terjadi gempa tetapi bangunan tidak banyak yang roboh karena konstruksinya sudah repons gempa. Di daerah rawan bencana, mitigasi bencana adalah keharusan. Bukan urusan sepele atau malah disepelekan.

Kelima, menata ulang manajemen bencana kita. Ketika terjadi bencana, maka system sudah harus bergerak dan merespons. Itu yang namanya manajemen bencana berfungsi baik. Jika ada korban, maka sudah harus diantisipasi, korban itu segera dibawa ke mana. Respons tanggap darurat langsung bergerak. Rumah sakit stand by. Petugas Kesehatan siap. Tenda pengungsian terpasang. Dapur umum berdiri. Pendataan korban terdampak terlaksana. Ini respon normal terhadap bencana. Sangat mungkin berjalan jika manajemen bencananya jelas. Jika manajemen bancana tidak jelas, maka akan kelihatan kacau balau di lapangan. Data di-update berbeda-beda. Respon tanggap darurat malah lelet. Kadang para korban ditelantarkan. Ujung-ujungnya bantuan yang seharusnya segera didistribusikan kepada para korban malah menggunung di gudang atau menumpuk di posko.

Keenam, bencana-bencana yang terjadi adalah ruang untuk melahirkan solidaritas. Banyak orang berkehendak baik hadir di saat bencana. Kebaikan datang dari mana-mana. Bencana menyatukan kemanusiaan kita yang rapuh dalam satu spirit saling menguatkan dan berbagi. Perbedaan dan keragaman kita menjadi satu ketika terjadi bencana. Di saat itu, orang tidak mengibarkan panji suku, agama ataupun golongan. Di kala bencana kita mengibarkan panji kemanusiaan. Dengan panji itu solidaritas bertumbuh dengan bebas. Maka terkutuklah orang-orang yang memanfaatkan bencana untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri dan kelompok. Lebih cocok jika batu kilangan diikat di kepala mereka dan ditenggelamkan di lautan Flores.

Ketujuh, pada akhirnya, bencana bukan saja soal kehendak alam, tetapi tentang kedaulatan Tuhan. Dalam penyelenggaraan Tuhan (providentia Dei), semua itu bisa terjadi. Maka yang bisa kita lakukan adalah berpeluh dan berdoa kepada Sang Pencipta agar kita terhindarkan dari berbagai bencana itu.

Gempa Larantuka dan berbagai bencana akhir-akhir ini sepertinya semakin melengkapi duka kita di NTT. Covid belum selesai, datanglah Seroja. Korban seroja belum semua tertolong, hadir lagi gempa bumi dengan potensi tsunami. Alam akan terus mencari titik imbang. Kita tidak boleh merasa aman di zona nyaman. Carilah titik seimbang kita pada Tuhan Sang Pencipta. Terus bergiat dan selalu waspada. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini