Pergilah Kasih, Kejarlah Keinginanmu

0
307
Ilustrasi. (dinamikakepri.com)

“Rara…Ra…Rara….”

Suara itu akrab di telinga memanggil. Sesekali kutoleh mencari sumber suara itu di antara lalu lalang orang di jalan. Kudapati Siska berlari mendekat melambaikan tangannya dari seberang jalan. Aku menunggu ia merapat di sisi kananku.

“Ada apa? Ngos-ngosan begini? Atur nafasmu dulu baru bicara.”

“Ra, sebenarnya… ada… ada yang ingin aku… aku bicarakan sama kamu. Tapi… kamu jangan marah yah….”

“Iya… iya… oke. Cepat kasih tahu, ada apa?” Aku tidak sabaran menunggu Siska bertele-tele.

“Sebenarnya… Ada… emmm… ada teman kita yang suka kamu. Kemarin dia mengatakannya namun tidak punya keberanian lebih untuk menemuimu. Dia takut kamu menolak, dan itu bisa membuatnya malu. Dia karib kita.”

“Siapa sih? Penasaran aku. Kok di sekolah semungil ini, masih ada yang takut ngomong sama Ratna Barbara?”

“Bukan gitu Ra…, kita kan soulmate, dia takut aliran getaran cintanya mengganggu pertemanan kita. Kita bicaranya sambil jalan yah, Ra?”

“Iya, Rara ngak marah. Sejak kapan Rara marah? Siapa sih dia, kayak spesial amat?” Aku jadinya penasaran, dan sedikit memaksa sebenarnya.

“Dia… hmmm bagaimana yah,” Siska berat berucap seolah ada gembok di mulutnya.

“Cepat kasih tau! Kalau kamu tidak omong, itu juga baik. Sis, dua blok lagi di depan aku sampai rumahku, loh.” Kali ini aku agak memaksa tapi pura-pura tak peduli.

“Emmm… eeee… dia… dia itu, namanya… Bintang.”

Setelah nama itu disebut Siska, seolah-olah lidahnya tidak kelu, kebisuan tak menghinggapinya, dan rasa takut-takunya sirna. Dia sekarang plong. Mendengar nama yang sangat familiar, aliran darahku bergerak sangat cepat dan jantungku memompa lebih kencang, telingaku seakan berdering dan polesan kosmetik Sari Ayu Martha Tilaar luntur dari wajah meronaku menjadi merah bara api.

“Rara … kamu jangan gitu donk, sama aku. Ini botol minumanku berisi CMP dari produk HWI untuk menetralkan dan menstabilkan keadaan tubuhmu.”

“Tidak perlu. Aku juga punya! Sis, aku tidak salah dengar, kan?”

“Hari masih siang, langit masih tinggi, yang masuk di telingamu benar pesannya.”

Sampailah kami di persimpangan dan kami pamitan. Apa yang kudengar, riuh gelombang rasa menemani malam-malam panjangku merenungkannya. Tetapi aku masih anak sekolah, masih ingin fokus dengan pelajaran di sekolah.

* * *

Hari berlalu, minggu dan bulan antrian sesuai polanya yang sudah baku. Tugas sekolah berbaris rapi seolah mencontohi keseharian kami tertib barisan apel pagi dan siang. Kegiatan ekstrakurikuler juga mulai menyita waktu dengan sejumlah tugas dan tanggungjawab. Tugas sebagai pengurus OSIS dan pengurus Pramuka turut menambah barisan masalah yang membuatku sedikit melupakan kata-kata Siska hari itu.

“Adek… Kakak bisa bicara sebentar?”

Oh, suara itu terdengar sangat akrab di telinga. Larut dalam petualangan kata-kata di setiap lembaran buku yang disalin, suara itu terabaikan. Tetapi suara itu datang lagi untuk kedua kalinya. Kali ini coba kutoleh ke belakang rak buku permesinan kapal tapi tak terlihat orangya.

“Adek cantik, Kakak bisa duduk di sini?” Belum sempat menoleh, sosok yang kukenal sudah tepat di sisi terdekatku.

“Bin… tang? Kataku agak berat dan kaget dibuatnya. Bibirku terasa berat hari itu untuk bicara.

“Ya, aku ini. Maaf, apa hadirku ini mengganggumu? Boleh kita bicara sebentar? Bintang membuka kebekuan kami.

“Mmm… iya kak, ada apa ni?” Sahutku gugup sembari menata rasa di dada teringat perkataan Siska.

“Aku… emmm, eh…emm … sebenarnya.” Bintang berhenti sejenak seperti tanda titik diam pada teks lagu, menarik napas panjang. Kemudian ia memberanikan diri melanjutkan.

“Kita memang sama-sama aktif di OSIS dan Pramuka, juga berbagai kegiatan sekolah. Dalam setiap pertemuan itu seakan tidak ada sempatnya untuk curhat, apalagi tugas sekolah juga banyak dari bapak ibu guru kita sebagai guru penggerak. Mungkin Siska sudah melanjutkan suarakau lima bulan yang lalu.”

“Bin… tang, aku …. Beri aku waktu untuk menjawabnya,” sela aku.

“Ra, kau orang tepat bagiku, bukan saja soal rasa ini saja tapi juga soal…”

“Sudah! Cukup!  

“Hei !!! Siapa di situ? Ini perpustakaan pelayaran, bukan tempat pacaran. Sana keluar! Atau mau push up!

Hardikan ibu Risma, penjaga perpustakaan kencang banget seperti teriakan pembina apel saat arahan. Aku dan Bintang berlari ke sudut sekolah, di belakang toilet dekat kali mati, tempat yang kami sepakati sembari ditemani semut merah.

“Maafkan aku, sayang,” kata Bintang. Sapaannya padaku naik peringkat. Aku mengamini saja dalam hati.

“Iya say,” sahutku. “Aku duluan masuk yah, pelajaran PKn sebentar 10 menit lagi. Kamu tidak ikut?”

“Kamu duluan saja. Aku mau ketemu penjaga sekolah biar aman, terus ketemu guru sastra Jepang untuk les sore. Ra, kutunggu jawabanmu. Aku sayang kamu,” sembari memberi senyum terbaiknya.

Aku berlangkah makin menjauh dari pandangannya. Langkahku ringan tetapi kepalaku seolah berputar memikirkan kejadian tadi.

 “Apa benar orang yang tegas dan keras dan cerdas, teguh prinsip dan kuat imannya, suka padaku?” batin menanya.

Di kelas, ibu Lina memotivasi supaya kami sebagai siswa dari SMK Pelayaran Pusat Keunggulan selalu menerapkan kedisiplinan dan mengikuti pengajaran yang disampaikan oleh para bapak ibu guru penggerak, duta bahasa dan literasi yang ada di sekolah.

“Sebagai pelajar Profil Pancasila yang berkarakter, kalian harus bisa menyesuaikan diri dalam penerapan Kurikulum Prototype yang sementara digiatkan Pemerintah,” lanjut ibu Lina yang barusan lulus seleksi guru P3K tahap dua. Terdengar bunyi bel sirine kapal tanda kalau kelas berakhir.

* * *

Hari-hari berlanjut, hujan dari langit rajin kirimi air berlimpah. Aku juga belum dikirimi kabar dari Bintang. Sampailah di akir bulan keenam.

“Bintang… aku ingin ketemu sama kamu sore ini,” tanyaku lewat WhatsApp.

“Iya, juga Ra. Sore ini kan tidak ada eksul di sekolah. Ketemunya di tempat biasa yah…” katanya membujuk.

“Iya, di taman Nostalgia Walikota Baru,” jawabku.

“Aku tunggu jam 5 sore,” katanya bersemangat lalu ponsenya ditutup.

Sementara berias diri setelah merapikan beberapa modul pelajaran kejuruan, tiba-tiba handphone biru milikku berdering. 

“Hallo,” kataku agak lembut.

“ Ha… ha… hallo… Rara.”

“Iya, ada apa?”

“Ra… Bintang…, Ra…” Siska tidak dapat menahan riakan dalam dadanya yang keluar dalam isak tak berirama dan ucapannya tak tertata lagi gramernya.

“Ada apa dengannya? Apa yang terjadi?” Tetes-tetes air berlarian di permukaan pipi ini.

“Bin… Bin…tang, Bintang sudah pergi…. jauh. Kamu tidak mungkin bisa bertemu dengannya. Alam kita sudah beda,” urai Siska.

“Apa? Maksudmu… Bintang telah tiada? Oh… Tidaaaak! Tidak mungkin! Sekejap mataku gelap seperti dilingkungi awan sakal, lambungku kumat, bibir kering dan keringat terkucur.

“Cepat kamu susul iringan mobil jenazah ke pelabuhan Tenau, mungkin kamu masih bisa melihat kerandanya untuk terakhir kalinya.”

Tanpa pikir panjang, ojek online yang biasa mangkal di pertigaan rumah jadi pilihan. Tiga puluh menit kemudian aku sudah merapat di mobil berwarna hitam yang ada gambar palang merah dalam bulatan putih. Peti diusung ke atas kapal diikuti rombongan keluarga dan para petugas kapal ASDP.

“Bintang, aku Barbara menerimamu. Aku selalu berdoa supaya kita satu.”

“Rara…, sudah relakan dia pergi,” ada suara dari belakagku.

“Bintaaaaang…. ini kamu? Lalu yang di peti itu siapa?” Bintang sudah dalam pelukan eratku seperti jangkar kapal.

“Itu pamanku, namaku sama dengannya. Sekarang, aku mengemban wasiatnya, menjadi pelaut. Kamu tenanglah di sini, di sisiku.” Aku dan Bintang seolah tak hirukan para cadet dan ABK kapal dan para perwira kapal yang berseliweran mengatur penumpang.

“Surga tempat pamanmu, dan aku surgamu, Bintang.”

Suara storm kapal sudah ketiga kalinya berdendang, menandakan para pengantar harus segera turun, kapal akan lepas sauh berlayar. Aku memberi penghormatan terakhir pada sang almarhum penyatu cinta kami, kemudian menuruni tangga kapal.

“Ra… aku akan kuliah di seberang, Jepang. Tunggu aku pulang menjemputmu dengan kapalku. Doakan aku.” Kemudian sebuah benda berwarna biru, rosario dikalungkannya pada leherku. Ibu jarinya membuat goresan salib di dahiku.

“Selagi rosario suci dan simbol salib kau buat tiap hari, percayalah Tuhan menyertai kita, dan studi kita sukses. Sampai bertemu di altar Tuhan. Jaga dirimu dari covid, taati prokes, jaga kesehatan dan tetap cantik untukku. Pandangi wajah sayangmu ini supaya tidak lupa dalam mimpi.”

Bintang menghibur dan menguatkanku di bibir pintu kapal. Perwira jaga kapal memantau setiap pergerakan penumpang dari anjungan.

Aku aminkan semuanya. Senang, bahagia bercampur sedih dalam sejuta rasa. Kapal mengolah gerak, ABK muka belakang telah siap dalam posisi standbay. Perlahan-lahan kapal menjauh dari pandanganku. Dia pergi demi idealisme dan demi cinta.

Dalam sedihku, kucoba buka HP Oppo Reno 3 pada bagian galery serach lagu. Ketemukan lagunya Chrisye dan menimati syair-syairnya. Menjelang magrib, tibalah di rumah. Kutuliskan pada notes harianku dan coba bernyanyi bersama Chrisye dengan sedikit gubahan.

“Pergilah kasih kejarlah keinginanmu, aku rela berpisah hanya untuk dirimu, semoga tercapai keinginanmu jadi Pelaut. Aku rela menunggu di pelabuhan Tenau seperti Romeo dan Juliet menunggu datangnya kapal Titanic bersamamu di sini.”

Lagu ini kurekam dan terkirim melalui nomor WhatsApp-ku pada Bintang. Dua centang biru tanda telah dibacanya tetapi tak kunjung dibalasnya padahal sudah berganti tahun.

Di seberang pulau di Kampus Pelayaran, Bintang yang sudah bergelar pelaut, ia sujud berdoa dan setia mengulangi doanya:

“Ya Tuhan, terimalah sembah baktiku di awal hari ini, sambutlah aku, saudara para pelaut dan sertailah kekasihku Barbara dan para kekasih para pelaut yang setia menanti kami di pelabuhan cinta dengan setia dalam doa, iman, pengharapan dan cinta yang unggul dari Kasih-Mu yang Agung selalu, di awal pelayaran kami hari ini hingga tiba di akhir pelayaran niaga di hidup kami di bumi. Amin.”

Aku percaya padanya. Di hari yang ditentukan, kami bertemu di pelabuhan Tenau. Bintang seorang pelaut bergelar ANT.1, sementara aku seorang dokter. Kami mengunjungi almamaternya bertemu dengan taruna-taruni dan kepala sekolah yang baru, kemudian melanjutkan perjalanan ke arah timur, rumahku. (*)  

=========================

Oleh Patrisius Leu, S.Fil., Guru SMKN 7 Kupang

*Dipersembahkan untuk SMK Negeri 7 Kupang yang ber-HUT pada tanggal 26 Maret 2022.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini