
Berbicara tentang masyarakat ilmiah di Rumah Pendidikan (sekolah), tidak lepas pisah berbicara tentang agama dan budaya yang ada di sana. Karenanya, sebagai insan akademik, sebagai agen-agen pastoral, sebagai calon-calon pemimpin di keluarga dan calon pemimpin di sekolah, dan dalam masyarakat yang pluralis, maka diperlukan sikap keterbukaan dan kepekaan terhadap situasi setempat yang sangat penting bagi pengembangan iman Gereja di sekolah di era postmodern-digitalisasi.
Dinamika Transisi – Kultur
Budaya yang ada di sebuah sekolah tentu saja sangat ragam hingga kompleks akibat transisi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Itu terlihat dari pergeseran nilai-nilai moral, dari pengetahuan agraris ke pengetahuan intelektual yang menekankan rasionalitas sebagai akibat dari pengaruh Pengetahuan Aristoteles dan aliran Pencerahan Modern.
Kerap kita berpikir bahwa perubahan budaya di sekolah terjadi karena pengaruh budaya dari luar, budaya asing. Sebenarnya, oleh perkembangan pikiran manusia yang semakin modern dan juga tuntutan dan tekanan sosial adalah jawabannya. Perubahan ini bersifat internal sebab suatu transisi dalam historis merupakan sesuatu yang nessesarie, sebagai suatu keharusan. Secara filosofis hal ini dipengaruhi oleh suatu hal yang bersifat potensial yang terdapat dalam pikiran manusia. Oleh Plato disebut dunia ide.
Dunia Ide yang ada dalam budaya orang-orang terpelajar di sekolah-sekolah di Kota Kupang tentu saja juga mengalami kontak di antara para pelajar di sekolahnya maupun dengan pelajar se-Kota Kupang maupun dengan para pelajar di luar Kota Kupang, bahkan kontak dengan masyarakat Kota Kupang umumnya dan para pelintas dan pegiata ekonomi yang bertandang dan bertemu dalam interaksi sosial di Kota Kupang.
Kontak sosial ini selalu membawa masalah sosial yang homogen maupun yang plural. Demikian pula benturan kekuatan antara setip masyarakat Kota Kupang turut membawa masalah akulturasidalam masyarakat: menerima dan menolak budaya asing, budaya baru, yang masuk ke budaya setempat.
Dalam kontak kebudayaan ini, ada dua variabel yang turut mempengaruhi krisis dinamika transisi, yaitu paradoks modernitas dan menguatnya identitas kultur. Modernitas, di satu sisi bersifat konstruktif, tetapi di pihak lain sekaligus bersifat destruktif dan terjadi ketidakpedulian terhadap orang lain. Akibat lainnya, tidak ada lagi yang rahasia dan tersembunyi. Mengenai menguatnya identitas kultur dapat dilihat dalam sanggar budaya dan ikatan-ikatan tradisional kekeluargaan.
Konteks Kontemporer sebagai Tantangan
Ada beberapa fenomena yang dapat diangkat di sini. Pertama, ketidakpastian ekonomi. Banyaknya siswa dari keluarga miskin bukan hanya karena keluarganya malas beraktivitas tetapi juga pengaruh system struktural ekonomi negara dan dunia. Tata nilai ekonomi yang mementingkan untung dan rugi berdampak pada melemahnya hubungan kekeluargaan yang kuat dan harmonni. Dengan demikian, kesenjangan sosial semakin tajam di sekolah. Situasi ini semakin diperparah di tengah krisis pandemi Covid-19.
Kedua, krisis nilai. Kemajuan ekonomi yang cenderung berorientasi pada kebendaan daripada aspek nilai serta tidak disertai persiapan yang matang dari masyarakat ilmiah mengakibatkan terjadinya ketidakadilan dan penjajahan ekonomi dalam bentuk baru.
Ketiga, budaya hedonistik. Hidup penuh kesenangan dan kemewahan serta kenikmatan telah berkembang dalam sikap para warga sekolah dan sering dipertontonkan para pendidik ketimbang yang dididik dalam hal “konsumerisme, mumpungisme dan slogalisme, serta moralitas rekreasi”.
Paradoks memang bila melihat kenyataan kita yang miskin tetapi berpesta dan ber-KKN di tengah sesama warga akibat kepekaan refleksi terhadap lingkungan sekitar mandul alias tidak digenjot dengan benar. Budaya hedonistik perlahan-lahan masuk, tumbuh, dan menguasai lembaga pendidikan dalam tampilan gaya hidup guru yang tidak sesuai jabatan dan profesi kecilnya.
Keempat, budaya demokrasi yang mengabaikan pranata. Demokrasi yang kita kenl selama ini adalah demokrasi Pancasila, namun dalam pelaksanaan praksis masih menggunakan pranata otoriter dalam pelaksanaannya. Dalam konteks ini peran para guru agama katolik dan semua guru beragama katolik, agen pastoral dan Gereja Lokal harus mewartakan suara kenabiannya. Kita berharap para pemimpin di sekolah yang sekarang dan nantinya lebih berbudaya dan bijaksana. Pemimpin yang bijaksana gaya kepemimpinannya demokratis, sebagai pencinta kebenaran, idea dan kebaikan, demikian ditegaskan Plato.
Beberapa Rekomendasi
Pertama, semua warga sekolah yang beriman Katolik adalah waga Gereja yang mesti berpihak pada orang-orang kecil yang ada di sekolah entah apapun agama dari orang kecil dan lemah itu (siswa), “option for the poor”, dalam kerasulan Pendidikan atau pastoral Pendidikan di rumah Pendidikan (sekolah negeri maupun swasta).
Kedua, di tengah kemerosotan moral dan nilai, hendaknya para pengajar dibantu para ‘saudara’ religius terpanggil sama-sama mewartakan kebenaran dan kejujuran lewat kesaksian hidup sebagai guru ataupun sebagai imam-biarawan-biarawati di lingkungan sekolah, kampus dan dalam unio Gereja Lokal di Kota Kupang. Moralitas orang Israel adalah moralitas penderitaan sejarah dan spiritual. Demikian pula moralitas orang-orang metropolitan di Kupang yang tersebar di sekolah-sekolah harus memahami hal ini dan bukan mengedepankan moralitas rekreasi tanpa aksi, bahkan lupakan literasi kehidupan.
Ketiga, menyuarakan suara Bapa Inspirator Nabi Santo Elia, “Zelo zelatus sum pro Domino deo exercituum”, bekerja segiat-giatnya bagi Allah balatentara yang hidup dalam pelayanan di tempat tugas masing-masing dengan cara yang khas dan bermartabat, sebagai suara kenabian, dan mendorong proses transformasi diri dan transformasi kultur dalam gereja dan sekolah bahkan pada restorasi pendidikan.
Keempat, di tengah berkecamuknya perang Rusia versus Ukraina; kelangkaan minyak goreng; hujan yang awet sepanjang tahun; virus Covid-19 yang bermutasi; zaman yang serba instan di era digitalisasi dengan laju ekonomi yang melambat, kurangnya kreativitas dan partisipasi warga warga belajar dalam berbagai aktivitas kemanusiaan; moderasi beragama; dan kebhinekaan Tritunggal Mahakudus dalam kesatuan menjadi alasan kegembiraan yang boleh diwartakan sebagai tanda harapan di Kota Kupang ke arah kesetaraan budaya di sekolah. Kesaksian hidup untuk mengabdi satu tuan saja (Tuhan) dan bukan kepada tuan yang lain (mammon, politik dagang sapi, raja-raja kecil, dll).
Kelima, akhirnya lewat kontemplasi dan refleksi kritis, para pemikir dan pencinta kebenaran di sekolah dapat menyembuhkan yang haus akan kebenaran iman dan ilmu akibat modernitas.
Kiranya keragaman budaya yang ada di sekolah-sekolah di Kota Kupang biarlah menjadi tantangan tersendiri dan inspirasi baru bagi pengembangan karisma dan karya pastoral pendidikan warga gereja di sekolah dalam membumikan visi dan misi sekolahnya secara kreatif karitatif. (*)