Sastrawan Gerson Poyk (1931 – 2017) meninggalkan begitu banyak karya semasa hidupnya. Dalam catatan Yohanes Sehandi (2015), rentang waktu dari tahun 1964 (sejak buku pertamanya terbit) sampai tahun 2014, tercatat 27 judul buku karya Gerson Poyk yang sudah diterbitkan.
Dua puluh tujuh judul itu terdiri dari berbagai genre sastra seperti puisi, cerpen, novelet, dan novel serta liputan jurnalistik. Sehandi bahkan mengakui bahwa angka 27 judul itu baru sekitar 2/3 karya Gerson Poyk, masih sekitar 1/3 karya beliau yang belum ditemukan dan perlu terus ditelusuri. Pada waktu ditanyakan, beliau sendiri tidak ingat lagi jumlah karya sastra yang telah diterbitkan.
Dari sekian banyak karyanya, Gerson selalu menampilkan warna khas yakni warna daerah NTT; tanah kelahirannya. Salah satu dari karya tersebut adalah novel Cumbuan Sabana, sebuah novel yang diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Nusa Indah, Ende, Flores tahun 1979. Novel ini merupakan novel ketiga yang ditulis Gerson Poyk setelah sebelumnya ia menulis novel Hari-Hari Pertama (BPK Gunung Mulia Jakarta, 1964) dan Sang Guru (Pustaka Jaya, Jakarta, 1971).
Ringkasan Novel
Novel Cumbuan Sabana bercerita tentang kisah cinta antara seorang pemuda Timor bernama Niko Benfinit dan seorang gadis, anak raja, yang bernama Irma Sonbait. Niko adalah seorang sarjana pertanian lulusan Amerika dan Irma seorang bidan. Mereka saling mencintai, tetapi Irma tidak direstui untuk menikah dengan rakyat biasa oleh ayahnva karena Irma telah dijodohkan dengan anak keturunan bangsawan. Namun Irma tidak mau menerima perjodohan tersebut.
Keduanya (Irma dan Niko) memutuskan untuk melarikan diri ke daerah Rote, tempat Paman Feonale, berbekal lima batang emas milik ayah Irma yang telah dicuri Irma. Dalam perjalanan, Niko dan Irma selalu dibayangi rasa ketakutan akan dikejar oleh ayah Irma. Setelah melewati perjalanan panjang, akhirnva mereka sampai ke tempat Paman Feonale. Di tempat itu Irma dan Niko dinikahkan secara adat oleh Paman Feonale.
Usai pernikahan itu, Paman Feonale berupaya menyelesaikan permasalahan dengan cara mengirimkan seratus orang bersenjata lengkap dengan membawa lima batang emas yang dicuri Irma. Mereka bermaksud mengembalikan batang emas kepada ayah Irma. Akan tetapi, utusan perdamaian itu tidak berhasil. Kepala utusan Paman Feonale tewas dalam perang melawan pasukan kakak Irma yang juga tewas ketika itu. Kematian kakak Irma mengakibatkan raja terserang penyakit jantung sehingga meninggal dunia.
Demikian uraian singkat tentang ringkasan cerita dalam novel Cumbuan Sabana. Sekalipun dari sisi alur cerita, novel ini bisa dikatakan sebagai novel yang bertemakan “cinta”, dalam hal ini perjuangan cinta antara Niko Benfinit dan Irma Sonbait, namun dalam tulisan ini saya ingin membaca Cumbuan Sabana dari “sisi yang lain” yang menurut saya cukup menarik untuk dikaji yakni gagasan penulis dalam hal pembangunan daerah berlandaskan potensi yang dimiliki daerah setempat; potensi sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA). Gagasan tersebut sangat menarik karena dibalut dalam warna lokal yang sangat kental dalam novel, ditambah dengan “bumbu” kisah romantik Niko dan Irma yang penuh lika-liku.
Warna Lokal dan Ide Universal
Gerson Poyk tak pernah lupa memasukan unsur daerah dalam karya-karya sastranya, terutama Sunda Kecil di mana ia banyak menghabiskan hidupnya sebagai anak-anak maupun sebagai guru. Gerson menyebut dirinya mengamati bangsa ini dari “pinggiran” di mana menjadi suara dari mereka yang terhimpit secara sosial, suara dari Flobamora yang penuh kekayaan dan kebanggaan budaya (Messakh, 2013).
Seperti karya-karyanya yang lain, dalam Cumbuan Sabana, Gerson Poyk secara tegas menampilkan warna lokal NTT khususnya pulau Timor (dan Rote) sebagai latar tempat kisah dalam novel ini. Dari aspek lain misalnya tokoh-tokoh yang ditampilkan, Gerson pun memilih “orang-orang lokal” seperti Niko Benfinit, Irma Sonbait, serta beberapa tokoh lainnya. Gerson juga sangat jeli dalam menggambarkan nuansa lokal baik alam maupun adat-istiadatnya.
Sekalipun demikian, Gerson tidak terjebak dalam “lokalitas tertutup” dalam arti hanya mengagungkan unsur lokal dalam cerita. Lebih dari itu sebagai penulis yang berwawasan luas, ia memberi muatan universal dalam novel ini sebagai sisi lain dari warna lokal yang ia usung. Muatan universal ini dapat terlihat secara jelas misalnya dalam gagasan yang ia titipkan lewat tokoh Niko Benfinit, seorang sarjana pertanian lulusan luar negeri (Amerika) yang kembali ke NTT (Timor) dengan mimpi besar untuk membangun kampung halamannya tersebut dengan bekal ilmu serta pengalaman yang ia peroleh.
Korrie Layun Rampan (2008) mengemukakan bahwa sebagai novel berwarna lokal, Cumbuan Sabana menyajikan berbagai hal yang berhubungan dengan nuansa lokal berupa adat-istiadat, kebiasaan, tingkah laku, maupun karakter manusia yang menjadi tokohnya. Hal ini bermuara pada kearifan lokal yang dipadukan dengan pemikiran universal tentang pembangunan manusia seutuhnya. Dengan cara ungkap yang kocak dan penuh kejutan, novel ini membawa pembaca ke sebuah dunia yang keras namun indah. Dunia stepa dan sabana gersang itu justru dihuni oleh orang-orang yang berhati emas, manusia yang penuh kemanusiaan, berikut ide-ide cerdas dalam hubungan pembangunan manusia desa dan pembangunan wilayah tertinggal.
Armin Bell (2017) dalam tulisannya Gerson Poyk, dari Nostalgia Nusa Tenggara ke Mimpi tentang Desa Budaya, mengatakan, “Cumbuan Sabana” merupakan novel yang dengan sangat baik menunjukkan betapa Gerson Poyk memahami lokalitas dengan sangat baik, dan di saat yang sama memperlihatkan kemampuannya membuat narasi deskripsi yang memukau; membawa pembaca terlibat penuh dalam cerita.
Menelisik latar belakang lahirnya novel ini terutama dari sisi waktu (tahun terbit; 1979), kiranya apa yang diungkapkan Korrie dan Armin cukup beralasan. Pertama, sebelum Cumbuan Sabana terbit, sudah ada beberapa buku Gerson yang terbit, bahkan sudah begitu banyak tulisannya yang tersiar di berbagai media nasional terutama puisi dan cerpen yang dalam hal ini mengusung warna lokal NTT. Jadi, bisa dikatakan Cumbuan Sabana adalah “kelanjutan” dari apa yang sudah dimulai Gerson sendiri; membawa NTT ke pentas nasional dan dunia lewat karya sastra.
Kedua, yang menarik untuk dicatat adalah bahwa warna lokal yang diusung Gerson selalu diiringi warna universal pada sisi lainnya. Ini dipengaruhi oleh pengalaman hidup Gerson sendiri yang selalu “mengembara” ke berbagai daerah di tanah air, bahkan sampai ke luar negeri. Sudah pasti, dalam “pengembaraan” itu Gerson menemukan warna-warna baru selain warna lokal daerahnya yang sudah ia miliki.
Dalam konteks Cumbuan Sabana, kiranya dapat dipahami gagasan besar Gerson soal pembangunan daerah khususnya lewat bidang pertanian (ditampilkan dalam tokoh Niko Benfinit) tidak terlepas dari pengalamannya ketika mendapat kesempatan menjadi sastrawan pertama dari Indonesia yang mengikuti International Creative Writing Program yang diselenggarakan The University of Iowa, Amerika Serikat tahun 1970 – 1971.
Hal ini sebagaimana pernah diungkapkan Jakob Sumardjo (1983) bahwa novel Cumbuan Sabana karya Gerson Poyk memperlihatkan kekayaan pengalaman pengarang dalam pengembaraannya di beberapa wilayah Indonesia dan di dunia internasional serta pengalamannya yang luas di berbagai kalangan sosial. Namun, ia tetap mencurahkan perhatian kepada para seniman dan rakyat kecil.
Panggilan untuk Membangun Daerah Sendiri
Sebagaimana sudah diuraikan di atas bahwa novel Cumbuan Sabana merupakan salah satu karya Gerson Poyk yang dengan jelas menampilkan warna lokal sekaligus ide universal yang diusung sang penulis. Nah, salah satu ide universal yang menarik dalam novel ini yakni adanya panggilan untuk membangun daerah sendiri dengan bekal pengetahuan dan pengalaman yang ada, serta tentunya dengan berbagai potensi yang dimiliki daerah setempat.
Tentang hal ini, dalam ulasannya mengenai novel Cumbuan Sabana, yang dimuat dalam majalah sastra Horison, Korrie Layun Rampan (2008) menguraikan, Niko Benfinit yang berasal dari sebuah desa di pedalaman Timor, dengan tekad dan kemauan yang keras berjuang mendapatkan pendidikan yang baik dan kemudian mencari pengalaman ke seluruh dunia selama bertahun-tahun. Dengan pengalaman melihat dunia itu, maka muncullah berbagai ide pembaruan yang akan diaplikasikan oleh seorang Sarjana Pertanian dalam upaya membangun daerah yang gersang, terisolasi, tertinggal, dan masih diliputi oleh berbagai kendala budaya feodalisme.
Novel ini juga, lanjut Korrie, memperlihatkan bagaimana idealisasi dari pemikiran terhadap dunia Timor, Rote, Halmahera, dan sekitarnya. Sejumlah cerpennya yang ditulis sebelum dan sesudah novel Cumbuan Sabana memperlihatkan benang biru antara ide pemikiran pembangunan yang hendak dikembangkan dalam penggarapan perkebunan yang luas untuk peternakan. Ide-ide itu diucapkan dengan cara yang kocak, dalamm dialog mapun narasi yang cerdas. Meskipun novel ini ditulis jauh sebelum bergulirnya realisasi otonomi daerah, namun gagasan otonomi daerah dapat ditemukan di dalamnya. Di samping itu, novel ini mengandung keterbukaan yang memberi ruang lebih luas pada para tokohnya untuk ambil bagian dalam pembangunan daerah.
Uraian Korrie di atas sangat jelas terlihat dalam cerita novel, terutama pada bagian mana Gerson mendeskripsikan tentang pemikiran tokoh Niko Benfinit. Gerson dengan cukup gamblang menguraikan gagasan pembangunan, misalnya dalam kutipan berikut:
Ia tidak mau mengambil bagian membuat Jakarta menjadi neraka besar, dimana hanya tiga puluh persen yang mendapat listrik dan ledeng, perumahan dan pengobatan, sedang yang lainnya hidup di rumah gedek, minum air sumur dan kali sambil nganggur atau setengah nganggur.
Oleh karena itu, ia kembali ke kampung halamannya untuk memulai berusaha pelan-pelan. Segalanya tersedia: tanah dengan kebun apel, jeruk dan sayur-mayur, kebun jagung dan padi, ubi dan kacang-kacangan. Di luar kebun, di padang-padang yang luas ia masih mempunyai beberapa puluh ekor sapi dan kerbau. Tetapi sebagai seorang yang telah merantau mencari perubahan selama dua puluh tahun, ia berbaring di bawah rumah ayahnya yang tidak berubah itu dengan impian dan pemikiran perubahan-perubahan.
Gerson dengan jelas mengungkapkan pemikiran seorang anak lulusan luar negeri yang memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya, ketimbang mengadu nasib di ibu kota. Menarik bahwa Gerson juga menyadarkan pembaca akan potensi besar yang dimiliki “tanah sabana” ini – paling tidak dalam bidang pertanian dan peternakan, hal mana yang menurut saya bila diperhatikan secara serius bisa membawa kehidupan bagi masyarakat daerah ini.
Apel, jeruk, sayur-mayur, jagung, padi, ubi dan kacang-kacangan, sapi, dan kerbau, yang disebutkan Gerson sesungguhnya mewakili begitu banyak potensi yang disediakan alam “tanah sabana”. Pertanyaannya, sejauh mana potensi tersebut digarap secara maksimal? Pertanyaan yang lain, berapa banyak “Niko Benfinit” yang dimiliki daerah ini? Putra-putri daerah yang mau membangun daerahnya sendiri.
Catatan Akhir
Sebuah karya sastra tentu dapat dibaca dari berbagai sudut pandang. Begitu pula novel Cumbuan Sabana karya Gerson Poyk. Beberapa pokok pikiran yang saya tampilkan dalam tulisan ini barangkali hanya titik kecil dari begitu luasnya gagasan yang dibentangkan Cumbuan Sabana.
Selanjutnya masing-masing kita dapat “membaca” Cumbuan Sabana secara lebih dalam atau dari sisi yang lain. Namun yang pasti menurut saya, gagasan pembangunan yang diusung Gerson Poyk menjadi salah satu warisan pemikirannya yang patut diapresiasi, tidak hanya dalam kata-kata melainkan terlebih dalam tindakan nyata. (Robertus Fahik/ Tulisan ini sudah pernah dIpublikasikan di Majalah Loti Basastra; Kantor Bahasa Provinsi NTT, Edisi Desember 2017)
Referensi
Kaki Langit (Majalah Sastra Horison) 133/Januari 2008
http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Cumbuan_Sabana
http://www.ranalino.id/2017/02/gerson-poyk-dari-nostalgia-nusa.html
http://matheosmessakh.blogspot.co.id/2013/01/beberapa-buku-gerson-poyk.html
Sehandi, Yohanes. 2015. Sastra Indonesia Warna Daerah NTT. Yogyakarta: Penerbit USD