Saya terakhir kali mengunjungi Perpustakaan Daerah Provinsi NTT sekitar tahun 2012 dan salah satu bayangan yang masih tersimpan adalah: itu bukan tempat yang menyenangkan sehingga perlu dikunjungi terus sebagaimana kalau ke pusat perbelanjaan, taman bermain, pantai, dan tempat hiburan lainnya.
Iya, kalau saat itu bukan karena terdesak menyelesaikan tugas akhir kuliah, barangkali saya juga tidak akan pernah ke sana untuk mencari dan membaca buku.
Tetapi, setelah mengikuti dua kegiatan selama satu bulan terakhir yang berkaitan dengan perpustakaan, saya akhirnya tahu, ternyata sudah banyak perubahan.
Kenapa perpustakaan mau berubah, bagaimana prosesnya, dan seperti apa perubahannya? Kali ini saya akan menceritakan perubahan perpustakaan itu berdasarkan apa yang saya lihat, dengar, dan rasakan selama #JalanPagi ke sana.
***
Kamis (14/07/2022), saya #JalanPagi ke Hotel Sotis Kupang untuk mengikuti kegiatan: Stakeholder Meeting Provinsi Program Tranformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial Tahun 2022.
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Perpustakaan Nasional yang bekerja sama dengan Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi NTT. Penyelenggara mengundang banyak stakeholder (pemangku kepentingan) perpustakaan yang berada di Kota Kupang, salah satunya FTBM (Forum Taman Baca Masyarakat) Provinsi NTT.
Saya berterima kasih dulu kepada Ketua FTBM Provinsi NTT, Bapak Polikarpus Do, kerena atas kepercayaan beliau, saya bisa berpartisipasi dalam kegiatan positif itu dalam kapasitas sebagai pegiat literasi.
Kegiatan dimulai pukul 09.00 WITA dan diawali dengan seremonial pembukaan. Pada kesempatan itu, Kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi NTT menyampaikan terima kasih kepada Tim Perpustakaan Nasional dan para stakeholder yang sempat hadir.
Lebih lanjut, Bapak Ir. Stefanus I. Ratoe Oedjoe, M.T., menjelaskan bahwa tantangan yang dihadapi perpustakaan saat ini sangat besar. Karena itu, ia berharap semua pihak bisa bergerak maju agar tidak saja beradaptasi dengan revolusi industri 4.0, tetapi juga mempersiapkan diri untuk mempercepat revolusi industri 5.0.
Berkenaan dengan harapan tersebut, menurut Pak Stefanus, perpustakaan mempunyai peran penting untuk meningkatkan literasi dan kompetensi masyarakat. “Saat ini perpustakaan tidak saja mencerdaskan, tetapi juga harus menyejahterakan,” tegas Pak Stefanus.
Pak Stefanus menambahkan, Program Tranformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial saat ini bertujuan untuk merangkul semua kalangan masyarakat (termasuk yang disabilitas atau berkebutuhan khusus) dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, sehingga pada akhirnya semua bisa hidup produktif dan bahagia.
“Program ini diharapkan bisa mendorong terjadinya peningkatan literasi, baik langsung dan tidak langsung, sehingga bisa mewujudkan NTT bangkit dan NTT sejahtera,” tandas Pak Stefanus.
Selanjutnya perwakilan dari Perpustakaan Nasional yang berbicara, yaitu Bapak Drs. Dedi Junaidi, M.Si. Pada kesempatan itu, Pustakawan Ahli Utama yang akrab disapa Pak Dedi itu bercerita kalau kegiatan Stakeholder Meeting atau SHM ini merupakan lanjutan dari dua kegiatan sebelumnya.
Pak Dedi mengatakan sebelumnya sudah dilakukan Bimtek, kemudian Peer Learning Meeting (PLM), dan dilanjutkan dengan SHM. SHM ini dinilai sangat penting, karena menurut Pak Dedi, peran para stakeholder sangat penting untuk mendukung kegiatan atau rencana kegiatan yang telah dibuat sebelumnya.
Pak Dedi menjelaskan, program transformasi perpustakaan tentunya sangat baik, tetapi tidak akan berdampak apa-apa jika tidak melibatkan atau mendapat dukungan dari banyak pemangku kepentingan. Karena alasan itulah, makanya kegiatan SHM sangat penting dilakukan. Perpustakaan Daerah Provinsi NTT tidak bisa mewujudkan program transformasi tanpa dukungan dari semua kalangan.
Pak Dedi pun mengucapkan terima kasih kepada seluruh hadirin yang merupakan bagian penting dari kemajuan dan perubahan perpustakaan pada masa yang akan datang. Pak Dedi juga mengisahkan bagaimana awal mula adanya program transformasi perpustakaan tersebut. Menurutnya, langkah perubahan itu bermula dengan adanya dukungan dari Bill & Melinda Foundation pada tahun 2012.
Setelah bantuan dari lembaga itu selesai, Bapenas menilai programnya sangat positif, sehingga perlu dilanjutkan. Karena itu, konsep perpustakaan tidak hanya untuk mencerdaskan tetapi juga menyejahterakan itu tetap ada hingga kini dan dipertahankan terus hingga berdampak luas.
“Karena itu saya mengajak kita semua agar saling memperkuat sinergi dan kolaborasi untuk menyukseskan Program Tranformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial,” tutup Pak Dedi.
***
Sebelum mendengarkan usulan dari para stakeholder, Ibu Dolyres Chandra, S.Sos., terlebih dahulu memberikan gambaran tentang pelaksanaan Program Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial di Provinsi NTT.
“Ini merupakan pendekatan layanan perpustakaan yang berkomitmen meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat pengguna perpustakaan,” jelas Kabid Layanan dan Pembinaan Perpustakaan NTT yang biasa disapa Ibu Dolly tersebut.
Menurut Ibu Dolly, layanan di perpustakaan memang harus ditransformasi agar bisa menyesuaikan dengan kebutuhan pengguna. Jika tidak, masyarakat bisa saja acuh tak acuh dan perpustakaan hanya dipandang sebagai gudang penyimpanan buku.
“Pandangan seperti itu yang harus segera diubah,” lanjut Ibu Dolly.
Karena itu, Ibu Dolly menjelaskan kalau perpustakaan telah menjalankan berbagai strategi seperti peningkatan layanan kepada pengguna, bimbingan belajar atau pelatihan dan terus melakukan advokasi kepada berbagai pihak untuk mendukung semua program yang ada.
Khusus untuk peningkatan layanan, Ibu Dolly memberikan banyak contoh. Misalnya, di perpustakaan telah disediakan internet gratis, layanan pembuatan kartu anggota secara online, perpanjangan masa pinjam buku secara online, layanan antar-jemput buku, e-PerpusNTT, dan masih banyak lainnya.
“Bahkan kami layani juga untuk perbaikan laptop yang rusak ringan,” tambah Ibu Dolly, “kebetulan kami punya tenaga IT yang siap membantu.”
Pada kesempatan itu, Ibu Dolly juga mengakui kalau unit perpustakaan daerah NTT sebenarnya tidak memiliki banyak dana dalam menjalankan berbagai program. Tetapi, mereka selalu berupaya dengan memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada, termasuk melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak.
“Kami mengharapkan masukan dan dukungan dari Bapak/Ibu sekalian yang mewakili stakeholder,” imbuh Ibu Dolly, “semoga dukungan kita semua dapat membawa perpustakaan menjadi lebih baik lagi”.
***
Puncak kegiatan SHM itu adalah mendengarkan masukan dari para stakeholder sekaligus memohon dukungan mereka dalam menyukseskan Program Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial.
Saat itu para hadirin sangat antusias menyambut kesempatan baik tersebut. Ada banyak hal yang dibahas, dan untuk mempermudah Anda membaca dan memahaminya, saya ringkas berdasarkan nama dan atribusi pengusul.
Pertama, Pak Agung dari FTBM Kota Kupang. Menurutnya, kegiatan perpustakaan juga perlu memperhatikan bidang pertanian. Sebagai bentuk dukungan, Pak Agung bersama FTBM Kota Kupang akan melakukan pelatihan pertanian hidroponik.
Kedua, Pak Nong yang mewakili Undana menyoroti tentang buku-buku lama yang perlu direparasi kembali. Menurutnya, kiprah tokoh-tokoh penting di NTT perlu dikisahkan kembali dalam bentuk tulisan, sehingga generasi selanjutnya tetap bisa mengenal mereka.
Karena itu, Pak Nong mengusulkan untuk perlu adanya pelatihan bagi penulis NTT sehingga bisa menulis tentang budaya sendiri. Dan Pak Nong mau berkontribusi menjadi narasumber untuk mendukung program perpustakaan.
Ketiga, Pdt. Mesakh dari Universitas Kristen Artha Wacana Kupang. Menurutnya, program transformasi perpustakaan itu harus dimulai dari desa, karena desa memiliki sumber daya yang sangat besar.
Kepala Perpustakaan Unkris itu mengaku siap mendukung perpustakaan daerah sebagai narasumber pelatihan, khususnya yang berkaitan dengan literasi anak.
Keempat, dari Pak Polikarpus Do. Ketua FTBM Provinsi NTT itu menekankan tentang pentingnya pembuatan ‘roadmap’ literasi. “Tanpa peta arah yang jelas, kita akan jalan pincang,” tegasnya.
Selain itu, Ketua Yaspora Flobamora itu juga menyinggung soal Perda Literasi di NTT; masalah kurang bahan bacaan; penguatan literasi di desa; gerakan sejuta buku; dukungan bagi penulis dan lainnya.
Komitmen FTBM Provinsi NTT dalam mendukung program perpustakaan juga cukup banyak. Pak Poli mengaku siap membantu dalam bentuk penyediaan bahan bacaan; program NTT menulis (kearifan lokal); terus merintis taman baca desa atau komunitas; memberi apresiasi bagi pegiat literasi; gerakan literasi goes to campus; membangun mitra untuk pengiriman buku; festival literasi; dan kegiatan pendukung lainnya.
Kelima, Ibu Lidya dari Bank Indonesia (BI) Kupang. Ibu Lidya menyoroti beberapa kelemahan di NTT, di antaranya masih kurangnya orang yang menguasai copy writing; belum banyak penulis yang mengeksplorasi tentang tenun dan budaya sendiri; belum memaksimalkan media sosial (Instagram) untuk meningkatkan penjualan; dan lebih sering mengeluhkan masalah dana.
Padahal, menurut Ibu Lidya, harusnya orang punya ide yang jelas terlebih dahulu. Kemudian buat program, perjelas visi-misinya, apa ‘goal’ yang ingin dicapai, dan seterusnya. Jadi, tidak melulu masalah dana.
“Kalau kita sudah mulai, pasti dukungan akan datang,” kata Ibu Lydia optimis.
Sebagai perwakilan BI, Ibu Lidya belum bisa memastikan apa komitmen yang bisa diberikan dalam mendukung program transformasi perpustakaan. Menurutnya, dia harus berkoordinasi dulu dengan pihak pimpinan.
Tetapi, sebagai gambaran saja, saat ini BI sedang fokus pada sosialisasi tentang penggunaan QRIS dan Gerakan Cinta Rupiah. Karena itu, kalau ada kegiatan perpustakaan selanjutnya, mungkin perlu menyelipkan topik-topik tersebut.
Keenam, Pak Gusty Rikarno dari Media Pendidikan Cakrawala NTT. Menurut Pak Gusty, geliat UMKM dan pariwisata di NTT sudah bagus, tetapi masih miskin narasi.
Karena itu, Pak Gusty bersama lembaga yang dikelolanya berkomitmen untuk mendukung dalam bentuk pemberitaan, pendampingan menulis dan layanan penertiban buku.
Ketujuh, Ibu Sri yang mewakili Bapelitbangda NTT. Ibu Sri setuju dengan dengan usulan Pak Poli (FTBM Provinsi NTT) tentang perlunya roadmap literasi. Menurut Ibu Sri, peta itu akan menjadi pemandu dalam pembuatan rencana aksi.
Bapelitbangda NTT siap mendukung pembuatan roadmap literasi, termasuk kegiatan sosialisasi Program Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial di berbagai level pemerintahan dan masyarakat.
Kedelapan, Pak Rian Seong dari Yayasan Pustaka Pensi Indonesia (Yaspensi). Ketua Yaspensi itu mengomentari tentang banyaknya keluhan yang disampaikan pembicara sebelumnya.
Menurut Pak Rian, kalau terlalu banyak mengeluh dan fokus pada masalah, lama-lama imunitas tubuh bisa menurun. Karena itu, alih-alih mengemukakan masalah, Pak Rian hanya memberi masukan saja.
Pak Rian mengingatkan tentang pentingnya pendekatan seni budaya dalam program transformasi perpustakaan tersebut. Menurutnya, 100% masyarakat NTT adalah orang berbudaya. Jadi, kalau edukasi atau program perpustakaan dikemas dalam bentuk kegiatan seni dan budaya, penerimaan masyarakat diyakini jauh lebih tinggi.
Guru Seni Budaya di SMA Negeri 4 itu juga mengkritisi program sejuta buku atau bagi-bagi buku hingga ke daerah pelosok. Menurutnya program itu baik, tetapi perlu ditelisik lebih jauh, apakah anak-anak langsung senang membaca?
Pak Rian meragukan hal itu. Karena itu, dia mengusulkan perlu adanya kegiatan seni budaya yang akrab dengan anak-anak dan masyarakat di pelosok. Jika mereka sudah menikmati sajian seni budaya, barulah disisipi kegiatan membaca dan program literasi lainnya.
Pak Rian bersama Yaspensi siap mendukung perpustakaan untuk melakukan pelibatan masyarakat dengan pendekatan seni budaya. Selain itu, Yaspensi juga siap jika perpustakaan membutuhkan narasumber kegiatan literasi.
***
Itulah gambaran apa yang saya temukan saat #JalanPagi di Hotel Sotis Kupang. Perpustakaan memang sudah berusaha menghadirkan banyak stakeholder, tetapi mungkin tidak semuanya bisa datang.
Dari peserta yang ikut kegiatan kemarin, saya yakin masih ada stakeholder lain yang terlewatkan. Pendek kata, Anda sekalian juga termasuk dalam stakeholder yang dimaksud.
“Tetapi, bagaimana kami bisa berkontribusi?” Mungkin ada yang bertanya demikian. Tenang, peran Anda juga sangat dibutuhkan.
Anda bisa langsung ke perpustakaan untuk menyampaikan ide. Atau paling sederhana, kita bisa turut berpartisipasi dalam berbagai program perpustakaan.
Singkatnya, kita bisa ikut mendukung Program Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial itu dengan satu langkah awal: #JalanPagi ke perpustakaan. (Saverinus Suhardin/rf-red-st)