Kita adalah calon arwah yang sebentar lagi akan berbaris menuju kubur dan diberangkatkan ke persimpangan jalan. Ke kanan menuju kebahagiaan kekal dan ke kiri, mengarah pada penderitaan abadi. Arah mana yang nantinya menjadi jalanmu? Perlukah kita “latihan mati” supaya mendapatkan gambaran persimpangan itu?
Hanya ada satu hal yang pasti dalam kehidupan ini, yaitu kematian. Namun, kapan kepastian itu datang, menjadi pertanyaan penasaran yang jawabannya sangat menakutan. Kita takut pada kepastian. Kita takut pada kematian. Kita takut berada pada persimpangan jalan itu.
Patrisius Leu secara kontemplatif menghadirkan sebuah catatan reflektif-kontekstual pada salah satu artikelnya berjudul “Menjemput Kematian”. Artikel ini merupakan serpihan permenungan dalam bukunya “Dekat Yesus” (2021). Kematian pada artikel ini, diterjemahkan dalam beberapa perspektif.
“Bagi seorang dokter, kematian adalah tidak berfungsinya organ-organ tubuh. Bagi anggota keluarga, kematian adalah kepergian abadi. Bagi abdi negara, kematian adalah hilangnya loyalitas, dedikasi, kesiapsiagaan, dan kedisiplinan. Bagi akademisi, kematian adalah hilangnya daya relfeksi kritis-analitis” (hal 96).
Ada faktor kesengajaan Patrisius Leu tidak menghadirkan perpektif kematian secara religiusitas. Ia juga tidak menampilkan secara tersurat tentang kematian religiusitas dalam artikelnya. Kesengajaan ini menunjukkan bahwa, Patrisius Leu sedang memberikan ruang kontemplasi pada pembacanya untuk menggariskan kematian religiusitas dengan menderetkan kisah-kisah hidup pribadinya dan keimanannya.
Setelah menelanjangi seksinya artikel ini, menggaulinya berulang kali, saya menemukan ‘serpihah-serpihan terang’. Ternyata, ada pesan tersirat yang sarat akan penjelasan kematian religiusitas ini.
Pesan-pesan itu terbungkus dalam ciri-ciri seseorang yang memiliki tanda kematian religinya. Tanda itu akan terlihat apabila seseorang (1) tidak lagi menjalin relasi kasih; (2) tidak lagi menerima jalan hidupnya. Kedua tanda itu merupakan gambaran seseorang yang sedang “mati imannya”. Lalu, bagaimana potret seseorang yang tidak lagi menjalin relasi kasih dan tidak menerima jalan hidupnya?
Relasi Kasih
Salah satu syarat penting yang menempatkan manusia sebagai makhluk sosial-religius adalah kemampuan menjalin dan menjaga relasi kasih. Hal ini bertujuan untuk mencapai kedamaian sosial dan ketenangan spiritual. Kedamaian sosial tercipta dari relasi kasih antarsesama manusia. Sedangkan, kedamaian spiritual adalah perwujudan relasi kasih manusia dengan Tuhannya. Pertanyaannya, seperti apa wujud relasi kasih manusia dengan Tuhannya?
Pengandaian “Surga ada di telapak kaki Ibu” menunjukkan bahwa, relasi kasih manusia dengan Tuhan justru terbentuk dari cara kita menjaga dan menjalin harmonisasi dengan sesama di kolong langit ini. Pergulatan perjalanan menuju surga ternyata hanyalah ”permaian sabda” yang metaforis. Sebab, surga adalah jiwa setiap orang yang kita jumpai. Surga adalah jiwa yang kita perkenalkan pada orang lain.
Setiap orang yang jiwanya secara sengaja kamu lukai, merupakan bentuk cemoohanmu pada Tuhan. Setiap jiwa yang secara terbuka kamu nodai dengan rekayasa lidahmu adalah contoh martabat Tuhanmu sedang kamu luconkan. Kamu tampil dengan raga yang sempurna tetapi hampa tanpa jiwa. Satu-satunya sikap yang akan membawamu pada ketenangan spiritual, ketika kamu mampu menempatkan jiwa orang lain seimbang dengan jiwamu dalam bentuk penghargaan dan penghormatan.
Kedamian sosial dan ketenangan spiritual menuntun setiap orang menjadi teduh dalam berkata, menjadi sejuk dalam bertindak. Dengan begitu, yang terluka merasa sembuh, yang sembuh merasa tumbuh, dan yang tumbuh menjadi teduh.
Jalan Hidup
Kematian adalah kepastian. Siapa pun yang lahir memiliki kepastian untuk mati. Entah melewati tanda kematian (sakit) atau tanpa melewatinya (tiba-tiba). Tanda-tanda kematian itu oleh Patrisius Leu disebut dengan “Menjemput Kematian”. Ia menggambarkan Yesus sebagai hakim akhir zaman. Pengadilan yang dipimpin Yesus mengadili jiwa-jiwa dalam kedudukan yang sempurna, cinta yang sempurna, belas kasih yang sempurna (hal 97).
Jalan hidup setiap orang menjadi jaksa penuntut umum di akhirat. Tuntutan-tuntutan itu, akan dibacakan, dipertimbangkan, diputuskan. Putusan itulah yang mengarahkan terdaqwa pada persimpangan jalan itu. Arah mana yang sesuai. Ke kanan, menuju kebahagian kekal bersama para malaikat dan orang kudus. Atau ke kiri, mengarah pada penderitaan abadi bersama bara api yang kekal.
“Menjemput Kematian” pada hakikatnya adalah bentuk kepedulian Patrisius Leu akan penderitaan abadi bagi siapa pun yang meyakini ada hidup setelah mati. Kematian yang tidak pernah dijelaskan secara tekstual dalam artikel ini merujuk pada kematian iman. Kematian iman adalah ketidakpekaan seseorang terhadap suara hatinya. Kematian iman menjadikan seseorang tuli dengan bisikan kalbunya.
Setiap orang mengakui bahwa suara yang lahir dari dalam dirinya merupakan “bisikan Tuhan”. Bisikan itu selalu menjadi “pergulatan memilih” antara menuruti atau menolak. Patrisius Leu mewanti bahwa “menuruti bisikan Tuhan” bukan berarti secara otomatis melenggangkan langkah kita ke arah kanan persimpangan itu, tetapi jauh lebih penting adalah mengajak setiap orang untuk mendengarkan dan menuruti “bisikan Tuhan” dalam dirinya. Sebab, kedamaian sosial dan ketenangan spiritual adalah tanggung jawab siapa pun yang menerima label sebagai “cerminan Allah”.
Pada bagian akhir, secara kontekstual artikel ini, Patrisius Leu menghadirkan pertanyaan reflektif “Benarkah kematian adalah jalan menuju ketiadaan?” Pertanyaan reflektif-kontemplatif ini memaksa saya untuk membongkar artikel setelahnya dengan judul “Syukur Atas 40 Hari Kematian Anak”. Sebab kedua artikel yang hanya terpisahkan halaman ini seperti senja dan jingga, laut dan pantai, jembatan dan tujuan. (*)
Sumber Bacaan
Dalman, H. 2014. Keterampilan Menulis. Jakarta: Rajawali Pers
Mustopo, M Habib. 1988. Ilmu Budaya Dasar: Kumpulan Essay-Manusia dan Budaya. Surabaya: Usaha Nasional
Leu, Patriusius. 2020. Dekat Yesus: Refleksi Kisah dalam Terang Logos. Yogyakarta: Gerbang Media Aksara
Sehandi, Yohanes, dkk. 2021. Antologi Esai dan Kritik Sastra NTT. Jakarta: Kosa Kata Kita
Yonson, Emanuel Nong. 2021. Filosofi Ganjil Patrisius Leu dalam Dipanggil untuk Beriman (Sebuah Artikel). Kupang: Sekolah Timur.com