Sabtu (8/10/2022) sore. Setelah sekian hari berturut-turut Kupang diguyur hujan. Hari ini bersama jejak sore langit terlukis cerah. Sejenak keluar dari rutinitas sehari-hari, keluar dari deadline pekerjaan yang tidak pernah tuntas. Saya hendak menuju Desa Manusak, berkunjung ke Sekolah Alam yang berada di bawah naungan Yayasan RSBI (Rumah Solusi Beta Indonesia) NTT.
Memasuki Kawasan Oesao. Wajah-wajah terbuka di sepanjang trotoar melempar pandang penuh harap. Para pedagang menjajakan hasil panen: jagung, kacang tanah, dan sayuran, kepada pengendara yang melintasi kawasan itu. Termasuk kami. Lalu, kendaraan kami menepi, kami singgah untuk sekadar membeli jagung dan kacang rebus.
Jarak tempuh Sekolah Alam Manusak dari Kota Kupang 35 km atau sekitar 50 menit dengan kendaraan. Nature School of Manusak merupakan satu-satunya Sekolah Alam di Nusa Tenggara Timur yang fokus pada membangun karakter, ilmu pengetahuan dan kepemimpinan. Uniknya, konsep pembelajaran sekolah ini menitikberatkan kepada belajar yang ramah dan menyenangkan bagi peserta didik. Sekolah alam ini menerima peserta didik usia PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) dengan visi mewujudkan generasi yang berkarakter positif, sehat, cerdas, jujur, dan cinta lingkungan.
Setibanya di sana. Kami disambut oleh udara segar, bersih dan nyaman. Papan warna-warni bertulisakan Selamat Datang di Sekolah Alam Manusak terpasang jelas di sana. Suara menggericau segerombolan angsa menyambut kami, juga ayam-ayam berseliweran menghadang kami. Di bagian barat, piringan mentari mulai hilang dari cakrawala, sinar mentari di penghujung hari menyemburat di sela-sela pepohonan masih terasa hangat.
Pandangan saya berkitar ke sekeliling, pelan-pelan, tentu saja saya tidak mau melewatkan pemandangan yang langka ini. Semuanya terorganisir dengan baik dan bergerak secara alami. Seperti rerumputan itu, kubangan air itu, dan bangunan beratap gewang di sana.
Yahya Ado (44), lelaki kelahiran Adonara adalah founder Sekolah Alam Manusak. Saat ini ia tinggal di Lasiana, bersama istri dan kedua anaknya. Ia termasuk seseorang yang humanis dan berdedikasi tinggi. Penulis buku Saya Harus Bahagia, lulus tahun 2018 dan meraih gelar Magister of Humaniora di Universitas Nusa Cendana Kupang. Ia yakin, sebuah tekad mampu mengantarkannya kepada gerbang perubahan. Benar. Pada 2019, ia berhasil mendirikan sekolah alam di Desa Manusak. Tentu saja ia tidak sendiri, ia dibantu oleh rekannya, Lyla Leowalu dan Mia Fanggidae yang sekarang menjadi pengajar di sekolah itu.
“Manusia dan alam memiliki hubungan yang tak terpisahkan dari kehidupan. Saling berkaitan dan saling bergantung satu sama lain. Seperti sebuah satu kesatuan,” jelasnya sambil menikmati kopi.
Menurutnya alam adalah guru, bagaimana caranya menanamkan pola pikir ini kepada manusia. Anak usia dini harus sudah memiliki pola pikir itu. Agar dewasa kelak, bisa menjaga dan merawat, bahkan mereka tidak menyia-nyiakan apa saja yang disediakan oleh alam.
“Lingkungan sekitar bisa menjadi tempat belajar terbaik bagi anak-anak. Kemudian menyadari bahwa alam dan segala isinya merupakan anugerah yang harus disyukuri,” tambahnya.
Sekolah alam ini memang didesain untuk membangun sekolah yang ramah, aman dan menyenangkan, di desain dengan konsep eco, edu,dan tourism, dan didesain untuk pengembangan komunitas berkelanjutan.
Selain sekolah alam, di sana juga terdapat pusat pelatihan. Pelatihan tersebut tak lain untuk memberdayakan masyarakat sekitar. Warga Desa Manusak dengan mayoritas eks Timor-Timur merasa senang, keberadaan Sekolah Alam dan Pusat Pelatihan memberikannya dampak sosial-ekonomi yang baik bagi kehidupan di sana. (Risma Dewi Purwita – Penulis lepas, tinggal di Sumba Barat Daya, NTT)