Siapa yang belum pernah marah? Apa yang membuat seseorang benar-benar marah? Lalu, apa yang dilakukan seseorang ketika sedang berada pada puncak kemarahannya? Secara konseptual, ‘marah’ merujuk pada adjektiva yang berarti suasana yang tidak menyenangkan. Suasana seperti itu tidak lahir secara spontanitas, melainkan hadir sebagai reaksi atau respons akan sesuatu yang ‘menyebalkan’. Sehingga, marah termasuk dalam ketegori akibat dari munculnya sebuah sebab.
Lazimnya, marah identik dengan teriak-teriak, merusak, atau memberantakkan sesuatu dengan tujuan menunjukkan totalitas kekesalan dan kesempurnaan kekecewaan. Realitas ini justru berbeda ketika saya membaca amarah Regesti S. Bauana dalam puisinya berjudul “Meminjam Telinga Tuhan” (sekolahtimur.com, tanggal 11 Agustus 2022) Regesti menggambarkan kekesalan, kekecewaan, dan ketidaksukaan terhadap kepincangan realitas kehidupan dalam bentuk amarah yang elegan. Hampir setiap larik dalam puisinya menderetkan emosi-emosi itu.
Puisi “Meminjam Telinga Tuhan” semacam cermin yang menjadi representasi dari sebuah kenyataan yang menjengkelkan. Regesti tidak sekadar memotret realitas tetapi telah melalui kontemplasi kesadaran personal batin yang lengkap. Setelah berkali-kali membaca puisi ini, saya memutuskan menggunakan pendekatan tematik untuk membonggar elegansi amarah Regesti dalam puisinya tersebut.
Pendekatan tematik menggiring saya untuk memulai pembahasan dengan berangkat dari pokok persoalan tertentu yang secara aktual hidup dalam hubungan sosial-masyarakat. Pokok persoalan itu misalnya, tentang kekeluargaan, kedengkian, kepercayaan maupun kecurigaan, serta kemarahan, dan lain-lain (Aminuddin, 2010:168). Pada pendekatan ini, penelaah diberi ruang dengan menampilkan beberapa pertanyaan penuntun, semisal (a) Pokok persoalan apakah yang ditampilkan pada puisi ini? (b) Mengapa penyair memiliki gambaran sikap demikian? (c) Bagaimana hubungan isi dan sikap itu dengan kehidupan sosial masyarakat pada umumnya? Ketiga pertanyaan penutun pendekatan tematik ini akan dibahas secara tuntas pada telaah ini.
Pokok Persoalan yang Tertampil pada “Meminjam Telinga Tuhan”
Untuk mengungkap pokok persoalan yang diangkat Regesti, mari kita cermati empat larik puisinya. Dimulai dari dua larik pertama.
Setiap pagi aku terbangun menyaksikan dunia yang terluka parah
Semua berdarah tanpa terkecuali
Saya memadukan kedua larik di atas dengan judul “Meminjam Telinga Tuhan”. Kemudian, saya menemukan hubungan kausalitas pada larik keenam dan ketujuh.
Dunia membantai mereka tanpa malu dan gusar
Mencampakkan dengan kejam lalu memahat derita baru untuk para pemula
Saya membaca larik pertama dan kedua adalah realitas akibat, sedangkan larik keenam dan ketujuh adalah penyebabnya. Pada bagian ini, Regesti secara terang benderang bukan menceritakan melainkan memperlihatkan sebuah kenyataan yang benar-benar membuatnya marah. Kemarahnya semakin lengkap, ketika ia menemukan bahwa korban dari realitas ini adalah pemuda dan pemudi (para pemula) yang seharusnya dididik secara edukatif-asertif bukan secara provokatif-kompetitif.
Berdasarkan hubungan kausalitas yang disempurnakan dengan sasaran korban (para pemula/anak muda) pada puisi ini, maka dapat disimpulkan bahwa pokok persoalan yang ditampilkan Regesti adalah kekhawatiran akan ketidakpercayaan (pesimis) anak muda (para pemula) terhadap bangsanya sendiri. Hal ini diperkuat lagi dengan sikap Regesti dalam memilih judul “Meminjam Telinga Tuhan”. Artinya, hanya Tuhan yang ia percayai dan hanya Tuhan yang ia sarankan kepada anak muda lainnya untuk dipercayai.
Gambaran Sikap Penyair dalam “Meminjam Telinga Tuhan”
Secara konseptual, sikap penyair sudah mulai tampak pada jenis puisi apa yang ia tulis. “Meminjam Telinga Tuhan” merupakan jenis puisi satirik. Puisi satirik adalah jenis puisi yang isinya mengandung sindirian atau kritik tentang kepincangan atau ketidakberesan kehidupan suatu kelompok maupun suatu masyarakat (Amunuddin, 2010:135). Jenis puisi ini biasanya diramu oleh penyair-penyair idealis dan sosialis. Penyair-penyair yang memfokuskan maksud analoginya supaya berdampak pada kehidupan bermasyarakat. Penyair-penyair yang peduli terhadap tatanan kehidupan yang harmonis.
Sikap penyair yang idealis dan sosialis ini tidak hanya terlihat pada jenis puisinya, tetapi juga pada beberapa larik. Larik-larik puisi itu memperlihatkan sikap lain seperti sindiran, kritikan, dan kemarahan.
…
Banyak selokan kotor yang menjadi rumah baru bagi malaikat kecil tak berdosa
Para pencari kardus lusuh dan kaleng bekas di tepi jalanan besar yang sebagiannya mati kelelahan
Bahkan tuan berdasi yang menutup kaca mobil terhadap suara bocah penjual koran
…
Kritikan Regesti dimulai dengan mengahadirkan dua tokoh berbeda kelas. Kelas bawah, Regesti mengangkat malaikat kecil tak berdosa, para pencari kardus dan kaleng bekas, serta bocah penjual koran. Sedangkan kelas atas, ia menempatkan tuan berdasi. Untuk melengkapi tokoh-tokoh itu, ia memperlihatkan latar seperti langit dan bumi. Malaikat kecil tak berdosa, para pencari kardus dan kaleng bekas, serta bocah penjual koran dilekatkan pada latar selokan kotor dan tepi jalanan besar. Sementara tuan berdasi dilengkapi dengan mobil.
Dua tokoh dengan dua latar ini adalah perbandingan yang menimbulkan rasa peduli dan jengkel secara bersamaan. Pada bagian ini, Regesti menggiring ruang keberpihakan pembaca. Dengan menampilkan kelas bawah pada beberapa kategori dan lebih dari satu latar, Regesti sedang membawa pembaca untuk peduli pada kelas bawah dan mempertanyaakan kepedulian kelas atas. Pertanyaan terhadap kepedulian kelas atas diubahnya menjadi sikap pesimis dan amarah dengan larik berikut.
…
Lalu dimana para pemimpin yang berposter sejuta janji
Yang kemarin berkoar-koar laksana panji
Padahal omong kosong setengah mati
…
Penggiringan kemarahan ini ditata secara sistematis oleh Regesti. Agar kemarahan memuncak, ia membuat titik fokus pada sasaran dengan melengkapi tokoh tuan berdasi. Tuan berdasi itu adalah para pemimpin yang berposter sejuta janji, berkoar-koar laksana panji, omong kosong setengah mati. Kemudian, secara sengaja disematkan dengan pertanyaan “Lalu, dimana (mereka)?” Pertanyaan ini merujuk pada sikap sindiran yang paling lengkap. Dengan demikian, gambaran sikap penyair pada puisi ini, yaitu idealis, sosialis, pesimis, sindiran, kritikan, dengan alasan keberpihakan pada kelas bawah dan kemarahan pada kepincangan sosial masyarakat.
Hubungan Isi dan Sikap dengan Kehidupan Sosial Masyarakat
Tidak ada puisi yang lahir dengan tanpa alasan. Tidak ada puisi yang hadir dengan tanpa tujuan. Pada hakikatnya, puisi lahir dan hadir karena ada alasan dan tujuan. Bahkan, ketika isi puisi itu berupa batu dan kayu pun, tujuannya tidak lain adalah kehidupan sosial, religius, politis manusia.
Hubungan isi, sikap dengan kehidupan sosial masyarakat pada puisi “Meminjam Telinga Tuhan” karya Regesti ini merupakan hubungan realitas, sosialis, dengan kekhawatiran. Isi puisi ini adalah kekhawatiran akan ketidakpercayaan (sikap pesemis) anak muda (para pemula) terhadap bangsanya sendiri. Sikap dominan penyair adalah sosialis-satir. Sedangkan, dampak yang diingikan dalam kehidupan sosial masyarakat adalah keberanian untuk mengkritik.
Terdapat larik puisi yang merupakan harapan Regesti kepada setiap pembaca.
…
Coba sekali ini kau pinjamlah Telinga Tuhan
Dan rasakan bagaimana terisak atau terkapar tewas di jalanan
…
Kedua larik pada akhir puisi ini merupakan pesan khusus paling lengkap untuk sikap tuan berdasi. Sebab, Regesti menyadari betul bahwa kehidupan sosial masyarakat atau sila ketiga dan kelima Pancasila akan tercipta apabila tuan-tuan berdasi mau meminjam telinga Tuhan untuk merasa (bukan sekadar mendengar) bagaimana terisak atau terkapar.
“Meminjam Telinga Tuhan” adalah sebuah karya puisi yang dapat dengan mudah dibaca, dinikmati, dan dipahami maksudnya oleh semua tingkatan pembaca. Sebab, diksi puisinya sederhana, analoginya kontekstual, dan pengisahannya teratur. Puisi ini benar-benar tampil menarik dan tidak menyiksa pembaca.
Sumber Rujukan
Aminuddin. 2010. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Jakarta: Sinar Baru Algesindo.
Endraswara, Suwardi. 2003. Membaca, Menulis, Mengajarkan Sastra. Yogyakarta: Kota Kembang.
Pradopo, Rahmat Djoko. 2002. Pengkajian Puisi. Yokyakarta: Gadjah Mada University Press.
Purba, Antilan. 2010. Sastra Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Graha Ilmu
Sambodja, Asep. 2007. Cara Mudah Menulis Fiksi. Jakarta: Perpustakan Nasional (KDT)
Selden, Raman. 1993. Panduan Pembaca Teori Sastra. (diterjemahkan oleh Rahmat Djoko Pradono), Jogyakarta: Gajamada University Press.
Yonson, Emanuel Nong. 2022. Terampil Membaca dan Mencipta Puisi. Yogyakarta: Gerbang Media