Jo // Cerpen E. Nong Yonson

0
482
Ilustrasi. (HiMedik.com)

Seorang anak kecil dengan setengah gelas sisa teh di tangan kiri dan sepotong ubi di tangan kanan bekas gigitan bapanya. Ia menangis di pinggir jalan dekat rumahnya. Ia berteriak. Tidak menyebut nama ayahnya juga ibunya. Ia juga tidak mencaci maki siapa pun. Ia hanya sedang menangis teriak-teriak.

Berhentilah seorang ibu penjual sayur. Sayur jualan pun kampungan. Daun ubi, pujuk labu, kelor, kangkung bebatang besar daunnya mungil-mungil, terong, dan beberapa wortel yang tak terikat. Ibu itu berlutut di hadapan anak kecil itu. Mengelus-elus rambutnya, sambil menghapus air mata dan beberapa sisa ingus pada pipinya.

Ia pun bertanya, “Nak, kenapa menangis? Coba kasih tahu Oma?”.

Sambil tersedu-sedu, anak kecil itu berkata, “Ayah dan Kakaku mengolok. Setelah tadi saya menjawab nanti besar, saya mau jadi penjual ikan. Saya tidak mau jadi dokter seperti kata Ayah atau polisi seperti kata Kaka. Dokter pegang suntik. Polisi pegang pistol. Keduanya menakutkan”.

Sambil tersenyum lucu dan heran tetapi rasa ingin tahu, ibu itu justru semakin kuat. Ia kembali bertanya penasaran, “Kenapa anak manis mau jadi penjual ikan?”.

Sambil merangkul pundak Ibu itu, anak kecil itu berbisik polos, “Oma, penjual ikan tidak bawa suntik dan pistol. Ia bawa ikan kecil paling enak. Saya kalau makan ikan itu, tulangnya juga saya telan, dan tidak bikin leher sakit. Penjual ikan juga pesan, makan yang banyak e, supaya cepat besar. Kadang dia perhatikan perut saya, dia bilang harus perut lewat dada baru kenyang. Kalau perut masih rata dengan dada, itu belum kenyang dan tidak cepat besar”.

Ibu itu tersenyum tunduk, sambil menahan tawa yang kian meledak dalam hatinya. Ia kemudian membuat tanda salib pada dahi anak kecil itu dan memberinya satu wortel yang paling besar. Ibu itu berbisik pada telinga mungil anak kecil itu yang masih ada sisa-sisa ubi, “Makan e, supaya mata tidak buta”.

Setelahnya, Ibu itu melanjutkan jualan. Anak itu terlihat sangat senang. Ia melambaikan tangan, “Da da Oma”.

“Da da anak manis,” balas Ibu itu sambil melambaikan tangan. Cepat besar dan tidak buta adalah alasan anak kecil itu menolak menjadi dokter dan polisi.

Tiba-tiba ada suara teriak dari dalam rumahnya, “Jo!! Jo Jo!!!, Tuli ko?”.

Anak itu menyahut, “Iya Ma, Jo di jalan”.

“Bikin apa di jalan? Cepat masuk! Mau mati dari oto motor ko?”.

Anak itu menggaruk kepalanya, kemudian perlahan-lahan melangkah menuju rumahnya. Ia tampak sangat kesal. Sisa ubi di tangannya, digigitnya keras. Sisa teh di gelasnya, diminum dalam sekali teguk.

Mamanya baru saja dipecat dari kelompok Mama Muda Tukang Gosip dua minggu lalu. Sebab, sandiwara yang diperankannya dianggap tidak lengkap penjiwaannya. Kelompok itu terdiri atas lima mama muda yang sepakat melabeli diri mereka dengan sebutan Five Mamud Cetar. Kini, sudah berubah menjadi Four Mamud Cetar.

Pemecatan itu, membuat batin mama anak kecil itu tertekan. Sebab, kebiasaan kumpul sambil ngerumpi, mejeng sambil nge-posting, tertawa sambil nge-flog berganti menjadi terkurung di rumah sambil mengurus piring kotor, pakian berantakan, dan anak-anak kecil yang melelahkan. Di rumah bagi mama muda itu adalah penjara dengan penderitaan paling lengkap.

Kadang, dalam keadaan stres dan tertekan, ia bicara sendiri di dapur ukuran dua kali dua itu. “Kenapa harus kawin? Kenapa punya anak? Coba saja waktu itu jangan main-main dengan cinta? Mungkin saja beban hidupku tidak sesempurna ini. Dua anak yang menyebalkan dan laki yang tiap hari hanya di depan handphone sambil teriak maki-maki sendiri”.

Belum selesaikan persoalan yang menggebu-gebu dalam batin, anak kecil tadi memeluknya, kakinya, “Ma, Jo sudah masuk rumah. Tadi Jo omong-omong dengan Oma penjual sayur. Ma belum bayarkan daun ubi yang Ma hutang kemarin? Kasihan Oma. Tadi Jo lirik dompetnya, isinya seperti daun ubi juga”.

“Itu uang lima puluh ribu semua,” bentak mama pada anak kecil itu, “Dasar! Anak dengan Bapa, bodoknya sama saja. Goblok keturunan!!!”.

Anak itu melepaskan pelukan pada kaki mamanya. Melangkah pelan menuju Bapanya yang sedang tertawa-tertawa sendiri di depan layar HP.

“Bapa…Bapa…”

Laki-laki dua puluh empat tahun itu seperti tuli dan bisu. Anak kecil itu melangkah lagi ke arah Kakanya. Baru saja mau duduk di samping, kakanya berteriak, “Jangan ambil pensil warnaku!”.

Anak itu mengurungkan niat untuk bermain bersama kakanya. Mamanya omong-omong sendiri, Bapanya bisu dan tuli, Kakanya galak. Baru seminggu yang lalu, keluarga itu merayakan ulang tahun ke lima untuknya. Sedangkan kakanya setahun lebih tua. Anak sekecil itu sudah terlatih untuk bisa berpura-pura bersahabat dengan kenyataan. Bayangkan, bagaimana kalau ia besar. Seberapa lengkap ia akan memodifikasi kepribadiannya.

Anak kecil itu melangkah pelan ke luar dari rumah yang penuh sesak dengan tekanan itu. Ia duduk di bawah pohon mangga di sebelah kandang ayam. Ia bicara dengan ayam.

“Hei, ayam. Mamaku kan perempuan, kalau mama kamu? Mamaku tukang marah, tukang hutang. Pasti mama kamu juga sama kan? Hehehehehe…”.

Anak itu tertawa sambil menunjuk ayam yang terasa lebih bersahabat dari pada Mama, Bapa, dan Kakanya.

Ayam itu berkokok tiga kali, seakan-akan menyahuti anak kecil itu. Anak kecil itu kaget. “Benarkan, orang tua kita sama?” Hehehehe…”.

Ia kembali tertawa sambil melemparkan beberapa biji jagung yang ia pilih di sekitaran kandang itu.

Perempuan kadang aneh. Pada satu sisi ingin punya momongan, tetapi pada sisi lain ia bentak-bentak pada momongan itu. Ia menyesali buah perkawinan. Ia menjadikan “titipan Tuhan” sebagai beban kebebasan hidupnya. Walaupun, ia menikmati betul ritual cinta sembunyi-sembunyi itu. Bahkan menginginkan lagi dan lagi.

Anak kecil itu adalah sebuah lukisan yang terlampau bagus untuk dipajang pada dinding rumah itu. Kebesaran hatinya, kesabaran jiwanya, jauh lebih matang daripada orang tua apalagi kakanya. Di dalam raga anak sekecil itu, tersimpan ketulusan cinta yang tak terhingga. Meskipun mamanya menyesal kawin dan punya anak. Bapanya bisu dan tuli tetapi tertawa sendiri di depan HP. Kakanya tidak punya hati untuk berbagi mainan dengannya, tetapi anak kecil itu tetap memanggil Ma, Bapa, dan Kaka.

Keseokan harinya, ia bertemu lagi dengan penjual ikan ramah itu. Namun, tidak lagi membawa ikan-ikan kecil. Anak itu lari mendekat pada ember penuh ikan. Ia kaget, “Kok besar semua?”.

Penjual ikan itu merapikan rambut anak yang berantakan sambil menjawab, “Ikan-ikan sekarang makan banyak. Jadi, semuanya besar-besar”. Anak itu senyum legah meski sebelumnya, ia tampak sangat kecewa.

Penjual ikan itu mulai berbohong, “Ikan-ikan ini, sebelum dipanggil naik ke om pung perahu, om kasih makan dulu. Om kasih ubi, teh, nasi, sayur. Om kasih sayur paling banyak. Makanya ikan ini besar dan sehat semua.”

“Om, ikannya minum teh?” tanya anak itu.

“Iya,” jawab Om spontan.

“Lautnya kan asin, saya pernah mandi di laut. Air asin itu campur dengan teh, ikan suka kah Om?”

Penjual itu kaget tetapi lihai menjawabnya, “Justru itu ikannya cepat besar”.

Anak itu mengangguk-angguk sambil tersenyum polos. Penjual ikan itu melambaikan tanggannya, melanjutkan jualan ikan. Sebab, Bapa dan Mama anak itu tidak keluar rumah, apalagi membelinya. Mungkin saja, mereka enggan karena utang beberapa hari lalu belum dilunasi.

Anak itu masuk kembali ke dalam rumah. Langsung menuju dapur. Ia mengambil segelas air, menaburkan garam, dan menuangkan sisa teh dari gelas kakanya. Ia baru saja mau meneguk. Mamanya teriak, “Jangan!”.

Karena kaget, anak itu pun meminumnya. Raut wajahnya sangat jelek. Seperti baru saja jatuh dari tangga belakang rumahnya.

“Rasa toh?” kata Mamanya.

Anak kecil itu, menghela napasnya dan berkata, “Supaya cepat besar”.

Mamanya kembali meneriaki Bapa dan Kakanya dengan tanpa merespon jawaban lugu anak itu.

Anak itu pun keluar. Melewati Bapanya, melewati Kakanya, menuju kandang ayam. Ia berbincang dengan ayam-ayam itu. Karena ayam-ayam itu sesekali berkokok dan anak itu merasa bahwa ayam-ayam itu sedang ngobrol bersamanya.

Ia melempari biji-biji jagung kepada ayam-ayam itu sambil berkata, “Mamamu kan perempuan. Mama kita sama”. (*)

————–

E. Nong Yonson, Penulis Buku “Dosa Sang Penyair”, Fasilitator Yaspensi.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini