“Pemuda Dalam Arus Pusaran Budaya Global: Garda Terdepan Merawat Kearifan Lokal”. Demikian Tema yang cukup panjang ini, diusung oleh Taman Budaya Gerson Poyk Provinsi NTT, yang menjadi bagian sentral Dinas Pendidikan Provinsi NTT, dalam urusan pemajuan kebudayaan. Sebuah ruang dialektika yang coba didesain guna menjadi roh utama pergerakan pendidikan, menghadapi gejolak kurikulum, kemajuan teknologi, hingga pada perubahan paradigma dalam ilmu pengetahuan.
Empat hari berteduh pada sepotong tenda, di bawah naungan atap langit teduh, dalam pelukan cahaya selaksa bintang. Angin dan malam yang dingin, ditopang alas tanah leluhur, tanah yang berasas hangat persaudaraan, menjadikan para peserta (guru dan pelajar SMA/SMK di Kota Kupang) menimba pengalaman baru, unik, menarik. Betapa tidak, ragam kegiatan yang diawali dengan tata bangun kemah bersama, kolaborasi garapan budaya, napak tilas jejak arkeologis, talkshow budaya, workshop lukis, out bond, pemutaran film, olahraga bersama, hingga pagelaran (pentas) tari tradisi dan kreasi, dan ditutup dengan api unggun bersama ini, semakin menambah wawasan dan pengetahuan, menuju kecerdasan manusia yang sesungguhnya.
Kemah Budaya sebagai Ruang Dialektika
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “dialektika” diartikan sebagai hal berbahasa dan bernalar dengan dialog sebagai cara untuk menyelidiki suatu masalah. Dalam ajaran Hegel, segala sesuatu yang terdapat di alam semesta itu terjadi dari hasil pertentangan antara dua hal dan yang menimbulkan hal lain lagi. Lebih lanjut Plato menerangkan, dialektika adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan metode argumen filosofis yang melibatkan semacam proses yang bertentangan antara pihak yang berlawanan.
Buah-buah pikir ini menjadi spirit Kepala Taman Budaya NTT, Mohadi. Dalam diskusi ringan bersama penulis beberapa waktu lalu, beliau mengemukakan bahwa sesungguhnya ruang kemah budaya ini adalah proses dialektika antara siswa satu dengan lainnya, antara karakter satu dengan lainnya, antara budaya-etnis satu dengan lainnya, yang memang berbeda, namun semuanya membaur dalam satu kesatuan sesuai spirit tema yang ada. Apalagi menghadapi pusaran global yang tidak produktif, dibutuhkan dua sisi (kekuatan) untuk duduk (berkemah) memecahkan sekat yang selama ini sudah menyumbang guncangan karakter pada siswa-siswi di sekolah khusunya. Manusia (siswa) sudah kehilangan kontak mata, ujar beliau mengutip pernyataan sastrawan dan budayawan Radhar Panca Dahana.
Melawan Tradisi Generasi Z
Menurut Beresfod Research, yang dikutip pada laman Kompas.com, secara umum pengelompokan generasi adalah sebagai berikut: Gen Z, kelahiran 1997 – 2012 dan berusia antara 9 – 24 tahun pada 2021. Ada juga Gen Y, Gen X, Babby boomers, dan yang terbaru adalah Generasi Alpha.
Gen Z disebut juga dengan iGeneration. Sebutan itu terinspirasi dari nama-nama produk teknologi terkemuka di dunia, yakni Apple. Jadi, iGeneration maksudnya adalah generasi Z adalah generasi internet yang memanfaatkan internet dan teknologi untuk menjalani kehidupan. Generasi Z ini memiliki keunggulan mampu melakukan multitasking alias bisa melakukan berbagai kegiatan dalam satu waktu, misalnya menggunakan komputer, memainkan sosial media, dan mendengarkan musik dalam satu waktu yang sama. Hal itu dikarenakan gen Z sudah menjumpai teknologi sejak lahir sehingga mampu mengaplikasikan teknologi dengan maksimal (https://www.sampoernauniversity.ac.id/).
Ada sederet kelemahan dari Gen Z ini, yang penulis rangkum dari berbagai sumber, di antaranya adalah cenderung individualistis dan egosentris, tidak fokus terhadap satu hal, kurang menghargai proses atau lebih tertarik kepada hal-hal yang instan, lebih memprioritaskan uang, emosi yang cenderung labil, terlalu bergantung pada teknologi. Hal itu berdampak pada kesulitan ketika dihadapkan dengan hal-hal yang konvensional, kurang mandiri, ingin menang sendiri, tidak menyukai budaya tradisi, hingga pada keinginan mengumbar hal-hal privasi.
Tak dapat dipungkiri bahwa kemajuan teknologi bagi Gen Z ini turut dirasakan oleh pelajar di NTT. Bahkan ketika berhadapan dengan ketersediaan infrastruktur teknologi yang serba terbatas pun, penggunaan dan pemanfaatan media-media teknologi tak bisa dilepas-pisahkan dari keseharian hidupnya. Mulai dari kebutuhan mengakses informasi, hingga kecanduan memanfaatkan hal-hal negatif yang memang tersedia bebas-merdeka dalam berbagai platform digital.
Kemah Budaya sebagai Pendekatan Sentral
Jika pemerintah dalam hal ini dinas terkait tidak kreatif menyumbang ide atau gagasan baru dalam mengisi proses pendidikan Gen Z saat ini, maka dapat dipastikan bahwa memang sekat-sekat antar nilai-nilai atau norma yang menjadi acuan perkembangan karakter generasi bangsa, akan semakin lebar jaraknya dengan goncangan peradaban dalam pusaran global.
Kemah budaya, dalam penjelasan lanjutan Kepala Taman Budaya NTT, sebetulnya adalah sebuah warning baik bagi internal Taman Budaya itu sendiri, maupun bagi para peserta. Bahwa yang dilihat selama kegiatan ini adalah bukan hasil semata, tetapi proses berkepanjangan dimana setiap nilai kebudayaan terintegrasi pada makna kebudayaan lain. Semisal, satu sekolah mendapat ‘tema’ kampung (tenda) Alor, walau semua mereka bukan dari Alor, mereka wajib belajar budaya Alor, mengenal tradisi Alor, sampai mampu menarikan tarian Alor. Hal yang dimaknai bukanlah visualisasinya saja, bahwa mereka bisa menari dengan baik, tetapi nilai yang terkandung di dalamnya, yakni pengintegrasian makna atau pun filosofi budaya Alor itu sendiri.
Keunggulan lain adalah kolaborasi antar-sekolah untuk mementaskan sebuah karya seni. Ini adalah pesan yang baik, pesan dialektika, bahwa ruang dialog dapat dibangun dalam sebuah bingkain budaya. Memutus tali egoisme antar sekolah yang sudah ‘telanjur besar-terkenal-favorit’ semisal karena terus menang (juara) pada berbagai perlombaan-perlombaan seni di daerah maupun tingkat nasional.
Juga ada penyatuan-holistik lintas genre seni, dengan hadirnya kontribusi nyata para perupa NTT, baik sebagai narasumber karya seni rupa atau pun sebagai seniman yang turut menyumbangkan beberapa karyanya untuk dipajangkan di ruang-ruang pelataran Taman Budaya NTT.
Beberapa Birama Buah Pikir
Kemah Budaya adalah warna baru. Pendekatan baru. Semangat baru. Fondasi baru yang tentu perlu didukung bersama dengan memberikan beberapa catatan sebagai masukan, terlebih bagaimana menyatukan geliat Gen Z, yang sudah bertemu teknologi sejak lahir mereka, dengan interaksi ruang budaya yang mengandung nilai-nilai tradisi.
Pertama, perlu ada penambahan program workshop pelatihan menulis (literasi dasar) agar proses dialektika pun mampu masuk ke ruang teknologi (media sosial) mereka dengan memanfaatkan berbagai platform media sosial. Agar ketika mereka berinteraksi dengan media sosial, di situ pun sesungguhnya mereka tidak akan kehilangan kontak mata, karena juga mampu ‘melihat’ lebih jauh tentang kandungan nilai budaya lain. Mereka menulis apa yang mereka alami (pada kegiatan kemah ataupun spirit budaya mereka), agar mereka bisa membacanya lebih lama, kapan pun dan dimana pun, ketika memang tulisan mereka layak untuk diterbitkan, baik di media konvensional (buku-majalah) atau pun media digital.
Kedua, ke depan perlu keterlibatan sekolah lain dari daerah (di luar Kota Kupang) untuk memberi ruang interaksi antar-kekuatan nilai kedaerahan dan kekuatan nilai kontemporer daerah perkotaan. Tidak perlu semua, cukup satu dua sekolah yang di-riset dengan baik, agar nanti ketika kembali ke daerah, merka akan jadi pelopor kemah budaya di daerah masing-masing.
Ketiga, perlu memperhatikan dampak ekonomi bagi para UMKM lokal, para penjual makanan-minuman tradisional untuk dihadirkan bersama memajang jualan mereka, semisal jagung bose, sambal lu’at, jagung ketemak, rebok, kopi tumbuk, gula air, dan lain sebagainya. Mungkin untuk keuntungan besar tidak menjadi tujuan, karena para peserta akan jajan seadanya, tetapi hal ini juga sebagai salah satu interaksi budaya, bahwa memang urusan kebudayaan bukan hanya urusan kesenian semata, tetapi masih ada 9 aspek lain di dalamnya (UU Pemajuan Kebudayaan No. 5 Tahun 2017).
Pada akhirnya, besar harapan, bahwa Kemah Budaya ini terus dijalankan tiap tahunnya. Karena dengan membangun proses dialektika dalam bingkai kebudayaan, kebiasaan-kebiasaan buruk pada Generasi Z akan mudah untuk dilawan. Mereka akan menemukan potensi dirinya sembari menjadikan itu peluang untuk benar-benar literat hidup pada zamannya.
Kemajuan teknologi bukanlah hal yang buruk, tetapi mesti dipersiapkan dan ditemani dengan konten-konten positif yang membangun, saling kontak mata-rasa untuk asa, pun untuk pesan outcome bagi Generasi Alpha atau pun generasi apa pun itu ke depannya. Kemah adalah rumah. Kebaikan di depan mata. Sekian. (*)