“Perjuangan” Lagu-Lagu Perjuangan Menghadapi Postmodernisme

0
123
Oleh Marianus Seong Ndewi, S.Pd., M.M., Guru Seni Budaya SMAN 4 Kupang, Ketua Yayasan Pustaka Pensi Indonesia (YASPENSI)

Tulisan ini lahir di tengah-tengah aktivitas sepekan mendampingi siswa-siswi sekolah yang tergabung dalam paduan suara akbar 1000 peserta, guna memeriahkan HUT ke-78 RI tingkat Provinsi NTT di alun-alun Rumah Jabatan Gubernur NTT. 1000 peserta ini adalah siswa-siswi utusan 10 sekolah SMA/SMK di Kota Kupang, yang tergabung juga bersama beberapa paduan suara ternama.

Sekilas ‘gaungnya’ terdengar menggelegar melebihi riuh suara polos para siswa-siswi, ketika mereka mulai bernyanyi, mulai ‘bernyali’ untuk berbakti dengan apa yang mereka miliki. Karena sesungguhnya, kekuatan paduan suara adalah ‘berpadu’ satu sama lain, sama rasa, sama dapat, bersama, sama-sama. Namun, apakah maknanya?

Sepenggal Kisah Lagu-lagu Perjuangan

Membaca berbagai tulisan di pencarian googling, kesimpulan awal yang dapat dimaknai dari lahirnya lagu-lagu perjuangan adalah satu niat yang luhur dari para pencipta lagu (pahlawan) untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Perjuangan mencipta lagu, seharusnya mesti dihargai sama persisnya dengan gerilia para pahlawan mengangkat bambu runcing guna mengusir penjajah. Lirik-lirik yang lirih sampai pada kekuatan bunyi kata dan nada yang bergelora membakar semangat, adalah peluru-peluru senyap yang sudah mulai ditembakkan jauh sebelum Ir. Soekarno dan Moh. Hata memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Bunyi-bunyian peluru itu bersahut-sahutan melawan dentuman bom dan senjata sekutu. Mau hidup atau bernyanyi?

Seperti pada sejarah lahirnya lagu Kebangsaan Indonesia Raya (Indonesia Raja) dikutip dari laman detik.com, terciptanya lagu Indonesia Raya bermula ketika Wage membaca artikel: Manakah Komponis Indonesia yang Bisa Menciptakan Lagu Kebangsaan Indonesia yang Dapat Membangkitkan Semangat Rakyat? dalam majalah Timboel terbitan Solo. Hati Wage kemudian tergerak.Pada suatu malam di tahun 1926, Soepratman mulai menuliskan not-not lagu Indonesia Raya. Lalu ia memainkan not-not tersebut dengan biolanya. Pada 1927, Soepratman menghubungi beberapa perusahaan rekaman yang ada di Batavia. Ia ingin mengabadikan lagu ciptaannya tersebut. Perusahaan rekaman yang ia hubungi seperti perusahaan rekaman milik Odeon, Thio Tek Hong dan Yo Kim Tjan. Namun hanya perusahaan milik Yo Kim Tjan yang bersedia merekam lagu ciptaan Wage.Dua perusahaan lainnya takut ditangkap oleh Belanda. Sebab gerakan bawah tanah pemuda-pemudi Indonesia sudah terendus oleh Belanda.

Sementara Yo Kim Tjan merupakan sahabat baik Soepratman. Ia juga pekerja paruh waktu sebagai pemain biola di Orkes Populair pimpinannya.Yo Kim Tjan mengusulkan rekaman lagu Indonesia Raya dibuat dalam dua versi. Dua versi itu yakni versi asli yang dinyanyikan langsung Soepratman sambil memainkan biola, serta versi berirama keroncong. Mengapa harus dibuat versi keroncong? Itu dimaksudkan agar masyarakat Indonesia mengetahui dengan mudah irama lagu Indonesia Raya bila kelak dikumandangkan. Dua versi lagu Indonesia Raya kemudian direkam di kediaman Yo Kim Tjan, Jalan Gunung Sahari, Batavia. Mereka dibantu seorang teknisi berkebangsaan Jerman. Lalu, master rekaman piringan hitam berkecepatan 78 RPM versi asli suara WR Soepratman, disimpan hati-hati oleh Yo Kim Tjan. Sementara rekaman versi keroncong dikirimkan ke Inggris untuk diperbanyak.

Namun setelah lagu Indonesia Raya dikumandangkan Soepratman pada 28 Oktober 1928, Belanda panik dan menyita semua piringan hitam versi keroncong. Baik yang sudah sempat beredar maupun yang masih perjalanan dari London ke Batavia. Belanda tidak mengira lagu yang dinyanyikan WR Soepratman sudah direkam setahun sebelumnya. Bahkan dalam dua versi sekaligus. Pada 1944, Jepang menderita kekalahan di mana-mana. Jepang kemudian membentuk Panitia Lagu Kebangsaan yang diketuai Ir Soekarno. Panitia itu melakukan perubahan naskah asli WR Soepratman sebanyak tiga kali. Lagu Indonesia Raya kemudian dikumandangkan kembali secara resmi pada saat Indonesia merdeka. Hingga kini, lagu tersebut selalu dinyanyikan pada setiap kesempatan, baik formal maupun informal. Lagu Indonesia Raya dapat membangkitkan semangat rakyat yang menyanyikan. Itu sesuai tujuan awal penciptaannya.

Begitu pun kelahiran beberapa lagu perjuangan seperti Maju Tak Gentar (C. Simanjuntak), Mengheningkan Cipta (T. Prawit), Bendera Merah Putih (Ibu Sud), Berkibarlah Benderaku (Ibu Sud), Gugur Bunga (Izmail Marzuki), Dari Sabang Sampai Merauke (R. Soeharjo), Hari Merdeka (H. Mutahar),  Ibu Pertiwi (Ismail Marzuki), Ibu Kita Kartini (WR. Supratman), Halo-Halo Bandung (Ismail Marzuki), Bangun Pemuda Pemudi (Alfred Simanjuntak), Bagimu Negeri (Kusbini), Indonesia Tetap Merdeka (C. Simanjuntak), Syukur (H. Mutahar), Tanah Airku (Ibu Sud), Bhineka Tunggal Ika (B. Sitompul), Di Timur Matahari (WS. Supratman), dan juga masih banyak lainnya, tentu mempunyai tekad yang kuat, sebagai seruan untuk bersatu dan mencintai tanah tumpah darah, Indonesia Raya. Merdeka atau mati!

Fungsi dan Jenis Lagu Perjuangan

Lagu Perjuangan Indonesia disebut dengan istilah musik fungsional yang diciptakan untuk tujuan nasional. Fungsi primer lagu perjuangan Indonesia adalah sebagai sarana upacara, dimana kedu dukan para pemain dan peserta didalam seni pertunjukan harus dilibatkan, hingga seni pertunjukan jenis ini bisa disebut the Art of Participation. Fungsi sekunder lagu-lagu perjuangan sebagai media agitasi politik berguna untuk membangkitkan semangat perjuangan melawan penindasan, dan keberadaan jenis lagu-lagu ini di Indonesia pada masa perang kemerdekaan jumlahnya cukup banyak. Sebagai seni pertunjukan dalam lagu-lagu perjuangan, idiom musik barat dikemas berdasarkan kemampuan musikalitas masyarakat pendukungnya.

Unsur teknis bernyanyi tidak begitu penting, diutamakan makna serta isi teks lagu bersifat agitasidisampaikan dan dihayati oleh seluruh masyarakat Indonesia.Secara umum pengertian lagu-lagu perjuangan adalah kemapuan daya upaya yang muncul melalui media kesenian di dalam peranannya pada peristiwa sejarah kemerdekaan diIndonesia. Upaya ini disebut sebagai sikap patriotis di dalam konteks sejarah sebelum dansesudah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.

Dalam pengertian yang luas sebagai perasaan nasional lagu-lagu perjuangan disebut sebagai lagu wajib,diajarkan mulai pada tingkat pendidikan dasar, hingga perguruan tinggi dan wajib diketahui seluruh masyarakat Indonesia. Berdasarkan peraturan pemerintah melalui Intruksi Menteri Muda Pendidikan dan Pengajaran dan Kebudayaan Nomor. 1 tanggal 17 Agustus 1959,diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1963, apa yang dimaksud  sebagai jenis lagu-lagu perjuangan Indonesia, menjadi empat jenis sebagai berikut.

Pertama, Lagu Himne; Himne atau Himnos dalam bahasa Yunani diartikan penghormatan             dan pemujaan kepada dewa, para pahlawan atau tokoh pemimpin terkemuka, terutama dipersembahkan sebagai tanda perdamaian atau pernyataan terimakasih kepada dewa Apollo. Pada perang Dunia II jenis lagu ini berkembang dan dipakai dalam kemiliteran di Inggris untuk diperdengarkan kepada serdadu guna memotivasi moral para prajurit di medan pertempuran seperti dalam lagu there’ll be an England. Di Indonesia pada masa perang kemerdekaan jenis lagu himne menjadi inspirasi para pencipta di masa pendudukan tentara Jepang tahun 1942-1944, sebagai pemujaan dalam membangun moral cinta tanah air, berjuang di jalan kebenaran. Pada masa revolusi jenislagu-lagu ini dinyanyikan secara teratur oleh para pemuda pemudi pelajar pelajar diYogyakarta sebagai pusat perjuangan untuk dipergunakan pada perayaan upacara di istana Kepresidenan dalam aubade dan paduan suara pada acara resepsi kenegaraan, pertunjukan kesenian atau dalam acara siaran radio. Lagu tersebut ialah Bagimu Negeri, Tanah Tumpah Darahku, Satu Nusa Satu Bangsa, dan Mengheningkan Cipta.

Kedua, Lagu Mars; Mars dalam bahasa Inggris disebut Marche, dalam bahasa Perancis disebut Marcia. Mars ialah musik dengan irama cepat berfungsi untuk membangkitkan semangat pasukan dengan gerak langkah serempak dalam prosesi militer yang rapih. Musik mars merupakan ornamentasi irama drum dalam tempo cepat, dengan aksen yang kuat dikembangkan ke dalam frase kunci mayor. Di Indonesia lagu-lagu mars patriotik pada masa perang kemerdekaan digunakandalam bentuk yang sama oleh para pemuda yang dikirim bertempur ke garis depan. Berlainan dengan jiwa semangat lagu mars propaganda Jepang yang diatur dan ditentukan oleh Keimin Bunka Shidosho. Sebagai perasaan nasional dalam perkembangannya jenis lagu-lagu inidapat dibagi menjadi dua yaitu, pertama, fungsi primer lagu mars bersifat konstruktif memiliki makna sebagai sarana upacara disebut jenis magnetic song, yaitu lagu Kebangsaan Indonesia Raya, ciptaan W.R. Supratman, bila lagu ini berkumandang para peserta upacara harus berdiri tegap di tempat dengan pandangan kedepan, hingga setiap warga negara akan dirinya sebagai bangsa yang merdeka dan tidak jarang orang menitikan air mata ataskeagungan lagu tersebut. Kedua, fungsi sekunder lagu mars perjuangan bersifat membangkitkan semangat cinta tanah air melawan penjajahan. contohnya adalah lagu  Maju tak Gentar, Sorak Sorak Bergembira, Hallo – hallo Bandung, Berkibarlah Benderaku, Hari Merdeka, Dari Barat Sampai Ke Timur.

Ketiga, lagu Percintaan. Selama revolusi, banyak muncul lagu percintaan yang berkaitan dengan perjuangan para pejuang. Hampir semua lagu ini bertemakan seputar perpisahan antara seorang gadis dengan kekasihnya yang menunaikan bakti di garis terdepan, disertai perasaan bahwa kepergiannya mungkin untuk selamanya.

Ismail Marzuki lalu menulis sederet lagu romansa mulai dari “Gugur Bunga”, “Selendang Sutera”, “Melati di Tapal Batas”, “Bandung Selatan di Waktu Malam”, dan banyak lagi.

Keempat, lagu sindiran. Lagu-lagu sindiran bermaksud melukiskan keburukan-keburukan dalam masyarakat Indonesia di masa perjuangan. Lagu bertema semacam ini memang tak banyak jumlahnya dan tak dikenal nama penciptanya. Satu di antaranya adalah lagu “Ibu, Aku Tak Sudi Tukang Catut” yang menggambarkan rasa jijik seorang gadis terhadap tukang catut.

Postmodernisme

Pembahasan yang paling mencolok, dalam beberapa tulisan tentang postmedernisme adalah pengaruh media masa yang kuat menyumbang perubahan paradigma manusia di abad 20. Bahkan dalam buku Popular Culture, yang ditulis Dominic Strinati, pada sebuah sub judul berbunyi; Penekanan Pada Gaya Dengan Mengorbankan Substansi (hal. 338), pada alinea pertama menuliskan bahwa salah satu implikasi penting butir pertama adalah di dalam dunia posmo, tampilan permukaan dan gaya menjadi lebih penting, dan pada gilirannya menuntut semacam ‘ideologi perancang’. Sebagaimana dikemukakan oleh Harvey: ‘’citraan mendominasi narasi” (1989:347-348). Argumennya adalah bahwa kita semakin sering mengonsumsi citra maupun tanda itu sendiri dan bukannya ‘’manfaat’’nya atau nilai-nilai lebih dalam yang mungkin disimbolisasikan.

Kita mengonsumsi citra dan tanda karena semuanya itu memang citra dan tanda, dan mengabaikan pertanyaan tentang nilai dan kegunaan. Hal ini tampak nyata pada budaya popular itu sendiri ketika permukaan dan gaya, tampakan sesuatu, dan sifat main-main dan senda gurau, dikatakan mendominasi dengan mengorbankan isi, substansi, dan makna. Sebagai akibatnya, sifat-sifat seperti kelebihan artistik, integritas, keseriusan, autentisitas, realisme, kedalaman itelektual, dan narasi yang kuat cenderung diabaikan.

Masih pada buku yang sama, menuliskan tentang sifat-sifat postmodernisme yang sudah mempengaruhi paradigma seni arsitektur, film, televisi (media), dunia periklanan, dan juga musik pop, yang keseluruhannya lebih mengedepankan visualisasi dengan mengorbankan isi, karakter, substansi, narasi, dan kritik sosial.

Menarik jauh ke topik pada tulisan ini, bagaimana bernyanyi (paduan suara lagu-lagu perjuangan) sudah dan sedang berenang pada arus postmodernisme. Jika tanpa sebuah batasan atau lebih tepatnya warning maka karya music vokal ini akan jadi riah-riuh saja hanya untuk keperluan visualisasi. Maka benar seperti yang dikumandangkan Iwan Fals, yang menyebutkan: ‘’wakil rakyat bukan paduan suara, hanya tahu nyanyian lagu setuju’’. Tinggal saja diganti subjeknya. Siapapun.

“Hananu”: Salah Satu Solusi

“Hananu” dalam bahasa Tetun (Belu dan Malaka) berarti “bernanyi”. Frasa ini yang pernah dipakai oleh Yayasan Pustaka Pensi Indonesia (YASPENSI) sebagai salah satu metode untuk meningkatkan rasa nasionalisme (pelestarian bahasa Indonesia), anak-anak batas NKRI di Kabupaten Malaka pada tahun 2022. Hananu ini adalah sebuah metode yang pernah memenangkan kompetisi proyek sosial yang diselenggarakan Pertamina Foundation, dengan mengundang para pemuda di bawah 35 tahun untuk berpartisipasi mengirim proposal proyek sosial guna membangun daerahnya. Di tahun 2021, YASPENSI mampu menyisihkan 2500an proposal se Indonesia dengan terpilih ke dalam kelompok 50 penerima bantuan proyek sosial tersebut. Di tahun 2022 juga berhasil lolos kembali, dan YASPENSI mengangkat tema Hananu sebagai Eco Art (bernyanyi untuk merawat lingkungan).

Metode ini sangat sederhana, yakni dengan memilih lagu-lagu yang tentu bisa memberikan makna atau pesan mendalam. Semisal lagu lagu daerah ataupun lagu Perjuangan. Setelah anak-anak bernyanyi, bisa sambil diiringi alat musik, dilanjutkan dengan membedah lirik atau syair lagu. Apabila lagu yang dipilih adalah lagu daerah, dengan bantuan para mentor, lagu-lagu tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, dengan satu sumsi bahwa semakin banyak kosa kata Bahasa Indonesia yang diketahui anak-anak di batas, maka semakin banyak perbendaharaan kata yang mereka miliki. Kata-kata itu dicarikan sinonimnya. Sampai pada maknanya. Dari kata-kata itu dituntun untuk membuat kalimat sederhana, sampai pada pendampingan menulis; untuk tingkat SD menulis tentang dirinya, keluarga, ataupun teman-temannya. Anak SMP menulis tentang isu lingkungan, dan anak SMA menulis tentang tema Nasionalisme ataupun tema umum lainnya.

Jika merujuk pada topik tulisan ini, tentang lagu-lagu perjuangan pun, akan menemukan outcome atau dampak yang luar biasa apabila hal ini serius untuk dikerjakan. Semisal anak-anak dilatih atau diberi kesempatan menyanyikan salah satu lagu perjuangan. Dibedah lirik tiap lirik sembari merujuk pada filosofi perjuangan para composer semasa kemerdekaan. Seperti yang sudah tertulis sebelumnya, bahwa lirik atau syair pada lagu ini adalah peluru senyap yang mulai dtembakkan jauh sebelum proklamasi kemerdekaan. Saya sangat yakin, semisal Hananu untuk refleksi kemerdekaan mampu mengangkat rasa nasionalisme, khususnya para siswa-siswi di sekolah.

Salah satu indikatornya adalah sikap bernyanyi. Apabila anak-anak sekolah menyanyikan lagu-lagu perjuangan dengan sikap bernyanyi yang baik dan benar, tegap, sigap, menghayati, menjiwai, maka akan terbangun kesadaran dalam diri untuk menghargai jasa-jasa para pejuang. Selepas itu mereka mampu mengamalkannya dalam keseharian mereka, dengan menerapkan sikap gigih, disiplin, rela berkorban, bertenggang rasa, dan cinta tanah air.

Karena memang, persoalan ini mesti serius menjadi perhatian bersama, merujuk pada sejarah perjuangan para komposer (pencipta lagu) yang gigih menembakkan peluru-peluru senyap dalam bunyi nada dan kata. Sahut-bersahutan dengan kerasnya bunyian senjata. Namun, lagu-lagu perjuangan itu tetap menang dan berhasil memerdekakan Indonesia.

Penutup

Dewasa ini, dalam berbagai kesempatan menggeluti dunia paduan suara atau musik vokal pada umumnya, saya selalu berhadapan dengan pemilihan pada pemaknaan lagu yang sebenarnya. Semisal ketika perlombaan-perlombaan, unsur visualisasi lebih dominan dipertontonkan daripada nilai dibalik karya itu, artinya ketikaingin memenangkan suatu kompetisi perlombaan, unsur semacam pengolahan suara (teknik vokal) yang ‘rumit’, penggunaan busana yang mencolok, make up yang dominan, daripada mengurus penhayatan (penjiwaan) lagu itu. Tidak menutupkemungkinan lagu-lagu perjuangan,kemampuan untuk ‘meliterasi’ lagu tersebut sangat jarang. Bahkan ada yang bernyanyi hanya untuk sekedar memenuhi kuota, atau sekedar menunjukan vokal yang dominan, ataupun juga ingin ‘mengeksistensi’diri.

Perjuangan lagu-lagu perjuangan untuk tetap hidup, berbunyi, serta bermakna (berdampak) di era postmodernisme saat ini memang paradoks. Di satu sisi, kemampuan dan kemauan untuk tetap eksis berhadapan dengan media (teknologi) di sisi lain hal itu menjadi kelemahan. Tidak memanfaatkan media untuk sebuah pengembangan diri. Sungguh paradoks. Sederet Sejarah yang digambarkan pada kisah di atas, ataupun sejarah-sejarah lain, mengenai perjuangan para komposer (pahlawan) dalam melahirkan karya-karya lagunya, takkan bermakna atau berarti apa-apa, bila semuanya hanya dilafalkan atau dilakonkan sebagai rutinitas belaka. Hanya mementingkan visualisasi. Ornamen budaya popular. Ataupun lebih minus bila sampai pada congkak dan pongah.

Urusan bernyanyi lagu-lagu perjuangan bukan urusan yang gampang. Bernyanyi secara unisono saja sudah ‘susah’, apalagi secara berpaduan suara yang sangat mempertimbangkan nilai-nilai kedisiplinan, tenggang rasa, toleransi, ataupun lainnya. Pertimbangan visualisasi saja akan mengurangi marwah lagu-lagu perjuangan. Membuat lagu lagu itu mati. Dan sebaliknya, hananu ataupun apapun metode lainnya yang bisa disumbangkan untuk mengurus kecemasan ini, kelak lagu-lagu perjuangan benar-benar hidup di dalam keseharian berbangsa dan bernegara seluruh Masyarakat Indonesia. Karena karya-karya seni itu akan hidup selamanya. Ars Longa Vita Brevis!

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini