HARI pertama masuk sekolah telah tiba. Siswa-siswi mulai berbaur, terkecuali Rangga yang lebih memilih duduk berdiam diri. Ia sosok yang menganggap dirinya tak seberuntung teman-temannya karena kekurangan fisik pada kaki kirinya, namun di sisi lain ia anak jenius. Rangga sebenarnya anak yang sempurna dari lahir, hanya saja ia pernah mengalami kecelakaan saat usia 11 tahun dan itu yang membuat kakinya pincang.
Hari kedua di sekolah. Rangga hendak memasuki ruang kelas. Di sana sudah ada Boby, Sonu, dan Indra. Ketiganya menghadangnya di depan pintu bahkan mendorongnya sampai terjatuh.
“Boby, kenapa kamu dan teman-teman mendorong aku? Memangnya apa salahku?”.
“Kok, balik tanya? Kamu seharusnya sadar dong kalau kamu itu tidak pantas sekolah di sini”.
“Memangnya kenapa ya? Semua orang berhak mendapatkan layanan pendidikan yang sama termasuk aku. Lalu kenapa kamu melarang?”.
“Kamu itu cacat, tidak pantas sekolah di sini. Sekolah ini lebih pantas untuk anak-anak normal seperti kami,” Boby mengolok.
Kata-kata Boby sangat mengucilkan Rangga. Dengan perasaan sedih, ia mengambil tasnya dan memilih pulang, namun dihalangi Pak Rafi, guru PKN yang akan masuk kelas pada jam pertama.
“Selamat pagi anak-anak, ayo semuanya masuk ke kelas, ya. Jangan ada lagi yang berkeliaran di luar”.
Semua siswa bergegas masuk kelas dan duduk sesuai denah kelas. Kemudian Pak Rafi memanggil Rangga, Boby dan kedua temannya ke depan.
“Maaf ya, Pak. Ada apa memanggil kami?” tanya Boby.
“Begini Boby, apakah betul kamu mengolok-olok dan mendorong Rangga temanmu sampai terjatuh? Apakah kamu tidak peduli terhadap temanmu dengan keadaannya seperti itu?”.
“Betul, Pak. Saya melakukannya. Justru kami peduli sama Rangga makanya kami berusaha supaya dia cepat pindah dari sekolah kita ini”.
“Apa maksudmu, Rangga pindah?”.
“Pak bisa lihat, kalau Rangga itu anak cacat. Terus, untuk apa pertahankan dia? Buat malu sekolah saja dengan menampung anak cacat,” sahut Boby sombong.
Mendengar perkataan Boby, Pak Rafi menggelengkan kepalanya. Ia berusaha meredam suasana dengan memberikan sebuah ilustrasi. Pak Rafi menunjukkan selembar kardus lalu menjelaskan kepada mereka.
“Anak-anak, coba lihat di tangan bapak ada kardus. Tentu saja kalian akan menganggap ini barang bekas yang seharusnya berada di tempat sampah, bukan? Justru kardus ini setelah didaur ulang bisa menjadi tempat sampah unik, tas cantik dan barang lainnya yang bernilai ekonomis dan edukatif dan seni,”.
“Pak mau bilang begini, kardus yang meskipun hanyalah barang rongsokan tapi memiliki manfaat bagi kehidupan, apalagi kita manusia. Tidak seharusnya kita mengolok-olok kekurangan teman kita apalagi tidak menginginkan kehadirannya. Rangga mempunyai hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan,” lanjut Pak Rafli.
Dalam keheningan di kelas, Pak Rafli melanjutkan kata-katanya, “Rangga, Pak ingin kamu tahu satu hal, kekurangan fisik bukan alasan menjauhkan diri dari orang-orang di sekitarmu dan kekurangan fisik bukan alasan untuk tidak sukses”.
“Pak, dia kan cacat dari bayi, pasti juga bodoh,” ucap Boby merasa tahu segalanya.
“Dari mana kamu tahu? Kamu baru saja kenal dia. Rangga kakinya cacat bukan dari bayi tapi sejak di bangku SD kelas 5 akibat kecelakaan. Nak, sebaiknya stop bullying. Itu tidak baik. Belajarlah untuk saling menghargai sesama kita tanpa melihat kelebihan maupun kekurangan teman kita. Kalian adalah pelajar Pancasila yang berkarakter budi pekerti luhur,” jelas Pak Rafi tegas.
“Bullying itu apa ya, Pak? Terus, tindakan aku ini termasuk bullying?” tanya Boby penasaran dan cemas.
“Bullying itu tindakan yang dilakukan seseorang dengan maksud menghina, mengolok-olok, merendahkan martabat manusia bahkan dengan tindakan fisik. Nak, apa yang kamu lakukan ini termasuk dalam kategori bullying. Sayangilah temanmu, hormati gurumu, itulah anak budiman,” jelas Pak Rafli.
Dengan rasa bersalah, Boby meminta maaf kepada Rangga atas sikap buruk yang sudah ia lakukan. Ia berjanji di hadapan Rangga, Pak Rafi dan teman-teman kelasnya bahwa ia tidak akan mengulangi perbuatannya.
***
Beberapa bulan berlalu, saatnya pelaksanaan ujian semester ganjil. Rangga tetap tenang menunggu untuk mengikuti ujian PKN dan Bahasa Indonesia di hari pertama.
Ia melihat Boby seperti cacing kepanasan. Ia mendekatinya dan memberikan buku catatannya dan sharing ilmu dengan Boby sambil menunggu waktu ujian. Boby tak menyangka orang yang sudah ia bully masih mau berbuat baik kepadanya.
Alhasil, nilai yang diperoleh Rangga pada ujian hari pertama sangat baik dengan total nilai 90 sedangkan perolehan nilai Boby 80. Betapa bangganya Boby bisa mendapatkan nilai 80 padahal ia tidak yakin.
Boby menyadari, apa yang ia peroleh semata-mata karena kebaikan Rangga. Ia malu dan menyesal telah menyakiti Rangga di hari yang lalu.
“Rangga, terima kasih ya, kamu sudah membantuku. Kalau saja kamu tidak memberikan catatan dan sharing ilmu dalam diskusi ringan, mungkin nilai aku rendah. Kamu memang sang jenius. Kamu layak menjadi bintang kelas. Aku sadar bahwa kelemahan fisik bukan berarti kelemahan otak”.
“Sama-sama Boby. Kunci kesuksesan cuma satu, belajar untuk menerima diri dan yakin pada kemampuan yang dimiliki. Mari kita berbagi praktik baik”.
——-
Penulis: Erliana M. N. Tjiputra, S.Pd., Guru SMK Negeri 7 Kupang