Peristiwa Natal tidak hanya tentang kegembiraan. Karena di balik sukacita Natal, terselip rasa cemas. Natal adalah kisah tentang kecemasan.
Peristiwa Natal diawali kecemasan Allah akan umatNya. Allah cemas karena manusia hidup dalam dosa. Hidup manusia semakin jauh dari Allah. Allah cemas karena umatNya mulai berpaling dariNya. Manusia tidak lagi hidup “bersama” dengan Allah. Tetapi sebaliknya, manusia berbalik dari dan meninggalkan Tuhan. Manusia tidak lagi menaati perintah Tuhan dan melanggar laranganNya.
Kecemasan akan sikap hidup manusia mendorong Allah untuk mengutus PutraNya yang tunggal ke dunia dengan misi utama untuk menyelamatkan manusia. Kedatangan Yesus dimaksud untuk membersihkan manusia dari lumpur dosa. Itulah dasar perutusan Yesus yaitu untuk menyelamatkan manusia. “Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia” (Yoh. 3:17).
Setelah Sang Bayi Yesus lahir, kecemasan masih terus berlanjut. Kali ini kecemasan dirasakan oleh Yosef dan Maria. Mereka cemas karena Putra Allah yang dikandung dan dilahirkan Maria mendapat ancaman pembunuhan dari Herodes.
Herodes mendengar berita kelahiran Yesus melalui orang majus dari timur merasa terkejut. “Lalu dengan diam-diam Herodes memanggil orang-orang majus itu dan dengan teliti bertanya kepada mereka, bilamana bintang itu tampak” (Mat. 2:7).
Ketika Herodes tahu bahwa Sang Raja Damai dilahirkan di Betlehem, ia merasa terancam posisinya sebagai raja. Lalu diam-diam Herodes membuat rencana untuk membunuh Yesus. “Ketika Herodes tahu bahwa ia telah diperdayakan oleh orang-orang majus itu, ia sangat marah. Lalu ia menyuruh membunuh semua anak di Betlehem dan sekitarnya, yaitu anak-anak yang berumur dua tahun ke bawah, sesuai dengan waktu yang dapat diketahuinya dari orang-orang majus itu” (Mat. 2:16).
Karena merasa cemas akan keselamatan Yesus, Yosef dan Maria membawa Yesus menyingkir ke Mesir sebagaimana petunjuk yang disampaikan malaikat kepada Yosef dalam mimpi. “… Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibuNya, larilah ke Mesir dan tinggallah di sana sampai Aku berfirman kepadamu, karena Herodes akan mencari anak itu untuk membunuh Dia” (Mat. 2:13).
Kecemasan yang dirasakan Allah dan keluarga kudus Nazareth ribuan tahun silam, juga menghantui umat Katolik di seputaran wilayah gunung Lewotobi saat sedang mempersiapkan diri merayakan Natal tahun ini. Umat di tiga paroki: Santa Maria Ratu Semesta Alam Hokeng, Kristus Raja Semesta Alam Watobuku, dan Santo Yosep Lewotobi yang berada di bawah kaki gunung Lewotobi cemas karena aktivitas gunung berapi ini meningkat.
Sebagai gunung berapi aktif, ancaman erupsi Lewotobi (laki-laki dan perempuan) bisa terjadi kapan saja. Terakhir, meletusnya gunung kembar ini terjadi pada Oktober 2002. Hidup di wilayah gunung berapi membuat masyarakat di sekitar gunung Lewotobi selalu dalam kewaspadaan. Bencana selalu datang tanpa diduga.
Dan tanggal 17 Desember lalu, berdasarkan surat peringatan dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, status tingkat aktivitas gunung Lewotobi laki-laki berada pada level II (waspada). Beberapa hari setelahnya, pada Sabtu (23/12/2023) saat umat Katolik sedang mempersiapkan diri menyambut kelahiran Sang Bayi Yesus, gunung Lewotobi laki-laki meletus.
Berdasarkan press release dari Badan Geologi tinggi kolom abu teramati sekitar 1000 – 1500 meter di atas puncak. Kolom erupsi teramati berwarna kelabu dengan intensitas tebal condong ke arah utara. Erupsi dengan durasi kurang lebih 24 menit ini terekam dengan amplitude maksimum 40 mm.
Secara faktual, ledakan yang terjadi memang tidak dahsyat. Tidak menimbulkan goncangan dan bunyi yang dashyat. Namun secara visual menimbulkan kepulan asap dari kawah gunung dan hujan abu serta bau belerang yang menyengat. Erupsi pada Sabtu itu tidak diikuti dengan peningkatan aktivitas secara signifikan. Malah semakin menurun. Di hari kedua, kepulan asap masih terlihat dari kawah gunung, tetapi hujan abu tidak terjadi lagi. Bau belerang pun mereda.
Erupsi lewotobi menjelang hari Natal membuat masyarakat merasa cemas. Letusan yang terdengar menjadikan umat merasa takut. Kepulan asap dan hujan abu meningkatkan rasa khawatir. Ketika orang membutuhkan ketenangan dan kenyamanan merayakan Natal, bencana justru datang mengancam.
Erupsi Lewotobi sungguh mengoyak ketenangan dan mengusik sukacita Natal. Merayakan Natal di tengah bencana alam memang mengkhawatirkan. Walau demikian, perayaan misa malam Natal dan misa Natal berjalan dengan aman dan lancar.
Natal di tengah bencana erupsi gunung Lewotobi merefleksikan dua hal berikut. Pertama, kecemasan tidak hanya dialami manusia tetapi juga dirasakan Allah. Kecemasan Allah adalah bentuk kepedulianNya pada umat manusia. Allah yang cemas adalah Bapa yang solider. Kecemasan Allah karena Dia menginginkan keselamatan umatNya.
Kedua, kecemasan adalah perasaan alamiah dan itu terjadi pada semua orang. Rasa cemas biasanya muncul bila ada kondisi yang mengancam eksistensi seorang. Ketika dirinya terancam, manusia akan merasa cemas.
Kecemasan tidak selalu berefek negatif. Rasa cemas yang muncul adalah bukti raga manusia itu lemah. Namun secara positif, kecemasan adalah vitamin bagi diri. Dengan merasa cemas, kita membangun kewaspadaan diri.
Erupsi Lewotobi di masa Natal sesunguhnya adalah “ajakan” bagi kita untuk terus dan selalu merasa cemas. Cemas terhadap apa pun yang mengancam kita. Dan cemas akan kerapuhan diri. Salam Damai Natal 2023 dan Bahagia Tahun Baru 2024. (Penulis: Gerardus Kuma, Guru SMPN 3 Wulanggitang, Hewa, Flores Timur)