
Beberapa waktu lalu (akhir tahun 2023), saya diundang ke Jakarta oleh Badan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayan, Riset, dan Teknologi untuk mempertanggungjawabkan buku yang berjudul: “Kejahatan Sunyi: Merindumu itu Luka”. Pasalnya, buku itu termasuk nomine untuk mendapatkan anugerah kategori kumpulan esai sastra. Kejahatan Sunyi adalah buku yang berisikan analisis karya sastrawan Nusa Tenggara Timur yang pernah dipublikasikan di media sosial dan sejumlah buku sebagai pengantar. Kemudian, agar tulisan-tulisan itu tidak terlantar, maka dibuatkan buku.
Juri mendakwa saya bersalah hingga tidak memenangkan lomba itu oleh karena, karya sastra yang dianalisis hanya sebatas generasi ingusan (pendatang baru) yang belum mengindonesia. Ia melanjutkan dakwaannya dengan pertanyaan: Di mana Gerson Poyk, Dami N. Toda, Ignas Kleden, Umbu Landu Paranggi?”. Tanpa penasihat hukum, saya menjawab dakwaan itu. “Berhentilah mengelus jenggot sastrawan tua yang memang sudah dikenal seantero dunia. Sudahlah Horison (baca majalah sastra Horison) dan kritikus Jakarta yang memesiaskan mereka dengan cara dan selera ibu kota. Tugas saya, justru menghela sastrawan muda ke atas pentas yang mencipta di luar kandungan Jakarta. Sastrawan muda yang berkarya dari tanah kelahiran (dari Lewotana-Lamaholot, Kuni agu kalo-Manggarai) atau mencipta tanpa Jakarta tak kalah hebatnya dengan Chairil Anwar, Subagio Sastrowardoyo, Gerson Poyk, Dami N. Toda, Goenawan Mohammad, Sapardi Djoko Damono. Bukankah ibu kota yang sering menganaktirikan sastrawan muda di daerah. Padahal, mereka memerlukan algojo untuk memutilasi karya mereka biar mereken-reken kualitasnya. Dengan begitu, birahi ijamintaif mereka kian membara untuk mencipta dan membiakkan karya. Dalam konteks itu, Jakarta, boleh menjadi ibu kota negara, tetapi sastra sudah saatnya beribukotakan daerah-daerah. Karena itu, saya bersyukur karena majalah sastra Horison yang sering membaptis sastrawan itu sudah almarhum. Sebab, dialah salah satu yang mempunyai hegemoni dan terasa mempunyai hak untuk membaptiskan seseorang menjadi sastrawan.
Masih ada juga pertanyaan hakim (baca juri) yang ditodongkan kepada saya. “Mengapa Anda memilih menulis esai?”. Rupanya pertanyaan ini yang penting bagi mereka dan saya menulis artikel ini sebagai bentuk pertanggunjawaban, semacam pledoi (pembelaan). Menulis esai, dengan tugas mengulas karya sastra, bagi saya adalah perkara penciptaan karya sastra itu pula. Setiap perjumpaan dengan puisi, cerpen, novel, drama, film, atau esai sastra orang lain mengharuskan saya untuk terlibat dalam pertengkaran kreatif, terutama karena dua hal. Pertama, saya harus tunduk atau takhluk terhadap karya-karya itu. Atau kedua, saya harus menaklukan puisi, cerpen, atau novel itu. Sengketa pertama terjadi, apabila kekuatan estetika dan lagak literer karya sastra itu melampaui kemampuan saya, baik ilmu kesusastraan, maupun pengalaman dan kualitas estetika. Pada peristiwa itu, saya harus merundingkan pikiran saya dengan sejumlah literartur kesusastraan, filsafat, kebudayaan, ilmu alam, sehingga mendapatkan pisau untuk memulai memutilasi karya yang pekat dan belumuran metafora, alegori, konotasi yang personal itu. Pekat dan mengerikan memang. Itulah penderitaan esteis yang membahagiakan. Di sana bakal terjadi perjumpaan yang begitu romatik dan tragik sekaligus. Romantik, oleh karena, saya berusaha menggauli, mengintimi karya-karya itu biar mendapatkan kenikmatan dan merangsang libido esetika saya untuk menciptakan kembali karya sastra dalam rupa esai. Targik, karena di sana terjadi sengketa kreatif yang khusuk, lantaran ada jarak pengalaman estetik, pengetahuan antara saya dan si pencipta.
Peristiwa kedua (penaklukan), apabila puisi, atau cerpen itu di luar standar kepeminatan saya. Tepatnya, di luar passion saya. Misal, bagaimana puisi yang berkualitas “nota belanja”, atau cerpen sejenis curhat (curahan hati) seorang remaja kasmaran diterima sebagai karya sastra oleh pembaca? Sengketa kreatif ini lebih pelik dengan kasus pertama. Saya harus menyusun “batu bata argumentasi” dengan membaca literatur dan berusaha menangkap momen kreatif pengarangnya guna membangun postur argumentasi agar puisi, cerpen, dan novel itu diterima pembaca sebagai karya sastra bermutu. Proses penaklukan (mengulas) terhadap karya yang katakan diafan (lugu dan lugas) itu adalah usaha mengurapkan minyak estetis agar terasa serat-serat mistik dalam karya-karya itu. Karena itu, kadang, pencipta yang statusnya sebagai pembaca (karyanya sendiri) merasa teralienasi dari karya itu. Sebab, saya telah mematok jarak antara dia dan karyanya.
Dengan demikian, perjumpaan saya dengan karya sastra yang pekat, rumit, atau tak ramah dengan pembaca, memang penuh luka dan menyenangkan. Sebab, di sana dialektik demikian mekar. Misal, dari sudut mana saya memandang panorama keindahan pikiran dan keindahan perasaan si pencipta. Kadang, merasa sendirian menimbun rindu sebelum memasuki aula tanpa gembok itu. Kadang terasa diyatimpiatukan oleh karya-karya itu. Terhadap karya sastra semacam itu, saya hanya berlaku sebagai setetes air di batu cadas. Tak berhenti menetes pada cadas itu. Memang, memerlukan waktu yang lama untuk masuk dan menusuk pikiran saya sendiri sebelum masuk ke dalam karya-karya mereka. Perlahan memasuki sum-sum, dan mulai menyepu anasir-nasir artisik yang paling halus sekalipun. Di sanalah pula, saya mendapatkan kenikimatan dari kegetiran-kegeitaran hasil persengketaan kreatif itu. Sebaliknya, berjumpa dengan karya sastra yang di luar passion saya, maka hal yang dilakukan ialah memerosokkan pembaca ke dalam karya itu dengan menginstalasi mististik estetis karya-karya itu pada ulasan. Artinya, ulasan saya tak lebih sebagai etalase untuk meletakkan karya-karya itu. Di sana pencipta mengalami keterlantaran karena dia sudah dipojokkan sebagai pembaca yang berjarak dengan karyanya.
Dua jenis kualifikasi karya sastra itu mendorong saya untuk terus-menerus terjebak dalam kebodohan permanen. Sebab, saya harus suntuk membacanya, menikmatinya, menentukan celah dan sudut pandang. Saya menikmati deras arus dialektika antara wawasan estetika pencipta dan saya sebagai pengulas. Nikmat, karena karya sastra bercahaya dengan kepekatan itu. Semisal, mistik estetika sebuah puisi terasa ketika pembaca dilegokan dalam penyiksaan yang begitu menyenangkan. Katakan, ia (pembaca) berjumpa dengan kata “Kaulah kandil kemerlap/Pelita jendela di malam gelap” (Padamu Jua, Amir Hamzah). Lalu, mulai bergumul dengan kata-kata yang menyimpang dari makna lingual itu. Di sanalah pembaca kepergok oleh ketaklaziman dalam menggunakan bahasa (bahasa eksklusi). Sebab, bahasa puisi bukan sekadar alat ucap informasi (penggunaan bahasa secara inklusi), melainkan mengendapkan makna lain yang disajikan secara khas. Membaca puisi berarti pula berusaha melintasi skandal lingual segetir itu.
Mendengar pledoi saya yang begitu panjang, sang Jaksa seperti terantuk dengan pikirannya sendiri. Kemudian, ia membuka sesi tanya jawab dengan peserta sidang. Pertanyaan pun berhamburan dan tumbuh di seluruh sudut ruang itu. Toh, saya tetap teguh-tegar dengan pendirian bahwa menulis esai, bagai saya adalah derita yang menyenangkan. Seperti sunyi itu jahat, karena mampu mengisolasi seseorang dengan dirinya. Pun perlahan kenangan dan angan ranum di ujung pena. (*)
——————-
Dr. Marselus Robot, M.Si., lahir di Taga-Koit (Manggarai Timur, NTT) pada tanggal 1 Juni 1961. Menyelesaikan pendidikan terakhir pada Program Doktor bidang Komunikasi Universitas Padjajaran Bandung tahun 2008. Menulis sejumlah buku dan menjadi Redaktur Jurnal Bianglala Linguistika (Prodi Linguistik Pascasarjana Undana) dan Redaktur Pelaksana Jurnal Bahasa, Sastra dan Kebudayaan Jurusan Bahasa dan Seni FKIP Undana. Saat ini aktif sebagai dosen pada Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Nusa Cendana Kupang. Dapat dihubungi melalui alamat email marsel.robot@staf.undana.ac.id.