Generasi muda saat ini hidup dengan beragam kecanggihan yang ditawarkan akibat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi modern. Penggunaan internet, gadget (dengan berbagai fitur di dalamnya) dan media sosial merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Teknologi dengan berbagai kemudahannya menjelma menjadi salah satu sumber belajar bagi pendidikan.
Di sisi lain, sudah menjadi sesuatu yang lumrah ketika kita menyaksikan anak-anak kita betah berlama-lama dengan gadget mereka. Fakta juga menunujukan bahwa arus kemajuan teknologi informasi modern mengancam eksistensi kebudayaan tradisional. Salah satu contoh produk kebudayaan Manggarai yang mulai hilang adalah bundu. Bundu merupakan tradisi lisan berupa permainan tebak-tebakan. Asesmen diagnostik penulis di kelas menunjukan bagaimana bundu mulai “ditinggalkan”.
Hasil asesmen dignostik di satu kelas yang penulis ampu menunjukan bahwa dari 27 peserta didik ada 13 peserta didik yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Manggarai dalam percakapan sehari-hari dan mereka tidak mengetahui apa itu bundu. Ada 14 orang peserta didik menggunakan bahasa Manggarai dalam percakapan sehari-hari, tetapi tidak mengetahui apa itu bundu.
Ini adalah gambaran tentang konteks pendidikan dan pelestarian budaya Manggarai saat ini. Tulisan singkat ini ingin membedah bagaimana seharusnya pendidikan muatan lokal (yang salah satu elemennya adalah budaya) menjadikan teknologi sebagai “jalan” untuk pelestarian dan pengembangan budaya Manggarai. Guru perlu berinovasi menggunakan cara-cara yang lebih kreatif untuk memperkenalkan (kembali) budaya Manggarai kepada peserta didik.
Tidak Cukup dengan Marah-Marah
Ki Hadjar Dewantara dalam pemikirannya menyatakan bahwa peserta didik kita hidup dalam kodrat alam dan kodrat zaman mereka sendiri. Kodrat alam merujuk pada bakat/kemampuan/keunikan tiap peserta didik. Kodrat zaman mengacu pada keadaan/situasi mereka hidup. Peserta didik kita saat ini hidup dengan perkembangan teknologi yang sangat masif. Dunia menjelma menjadi sebuah “kampung kecil” tanpa sekat (borderless). Tidak dapat dipungkiri bahwa zaman ini membawa kita pada situasi di mana generasi muda lebih menggemari budaya luar yang lebih praktis dan menarik dibandingkan kebudayaan lokal yang dianggap kuno dan tidak sesuai dengan kondisi terkini (Nurhasahal, L., dkk., 2021).
Berhadapan dengan situasi ini, apakah kita hanya mampu marah-marah atau mengeluh? Keprihatinan akan hilangnya tradisi lokal kemudian tidak semata-mata diatasi dengan dengan menutup diri atau menolak perkembangan yang ada. Adapun strategi yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan akses kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sebagai pelestari dan pengembang nilai-nilai budaya lokal. Budaya lokal yang khas dapat menjadi suatu produk yang memiliki nilai tambah tinggi apabila disesuaikan dengan perkembangan media komunikasi dan informasi (Johan, Arifin, 2023).
Upaya Menempatkan “Anggur Lama dalam Bejana Baru”
Fondasi pendidikan nasional dibangun dengan memperhatikan nilai budaya dan keragaman potensi daerah. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada BAB III pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
Selanjutnya pada BAB X pasal 36 ayat (2) dinyatakan bahwa Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik, dan pada pasal yang sama ayat (3) butir c menyatakan bahwa Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan keragaman potensi daerah dan lingkungan. Pasal 37 ayat (1) menyatakan bahwa Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat Keterampilan/Kejuruan (butir i) dan muatan lokal (butir j). Undang-Undang ini secara terang benderang menjelaskan pentingnya aspek nilai kultural dan keragaman potensi daerah dalam sistem pendidikan nasional.
Dalam implementasi Kurikulum Merdeka satuan pendidikan mendapatkan ruang untuk memasukan muatan lokal yang diterapkan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kearifan lokal atau karakteristik daerahnya. Ada tiga opsi yang dapat dilakukan yaitu pertama, mengembangkan muatan lokal yang menjadi mata pelajaran sendiri; kedua, mengintegrasikan muatan lokal ke dalam seluruh mata pelajaran; dan ketiga, melalui proyek penguatan profil pelajar Pancasila. Muatan lokal memuat dua hal yaitu karakteristik daerah dan budaya daerah. Muatan lokal mengacu pada program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial dan lingkungan budaya serta kebutuhan pembangunan daerah setempat yang perlu diajarkan kepada peserta didik.
Secara umum tujuan program pendidikan muatan lokal adalah memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pendidikan di sekolahnya dengan memasukkan kajian materi keunggulan lokal sesuai dengan kondisi dan potensi sekolah serta lingkungan sekitarnya. Sedangkan secara khusus pendidikan berbasis muatan lokal bertujuan agar peserta didik pertama, mengenal dan menjadi lebih akrab dengan lingkungan alam, sosial, dan budaya daerah dimana peserta didik berada; kedua, memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan mengenai lingkungan daerah yang berguna bagi dirinya, masyarakat dan negara; ketiga, memiliki sikap dan perilaku yang selaras dengan nilai-nilai/aturan yang berlaku di daerah, serta melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai luhur budaya daerah dalam rangka menunjang pembangunan nasional; keempat, berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat dan pemerintah daerah. (Marliana dan Noor Hikmah, 2013).
Sejalan dengan hal di atas, Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur melalui Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga telah menetapkan Capaian Pembelajaran muatan lokal untuk Fase A-D. Capaian Pembelajaran ini memasukan Budaya sebagai salah satu elemennya dengan sepuluh (10) objek yaitu tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat dan olah raga tradisional.
Tantangan selanjutnya adalah bagaimana materi budaya Manggarai dikemas menjadi lebih menarik sehingga dapat diterima oleh generasi muda yang menggandrungi gadget? Bagaimana budaya Manggarai, yang diidentikan sebagai yang “lama” diterima oleh generasi yang menggandrungi gadget?
Teknologi informasi dengan berbagai kemudahannya dapat menjadi “pintu masuk” pelestarian dan pewarisan budaya Manggarai. Perlu ada upaya kreatif untuk memperkenalkan budaya Manggarai kepada para peserta didik. Salah satu upaya kreatif itu adalah dengan menggunakan game digital edukasi.
Game digital edukasi ini adalah salah satu contoh dari media pembelajaran. Media pembelajaran memiliki peran penting dalam pembelajaran. Media pembelajaran tidak saja berfungsi untuk menyalurkan pesan tetapi juga harus befungsi untuk merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan motivasi belajar peserta didik. Media pembelajaran juga berfungsi untuk memanipulasi objek dari yang sifatnya abstrak menjadi konkret. Penggunaan media pembelajaran juga harus bertumpu pada prinsip bertumpu pada tujuan pembelajaran, mendukung isi pembelajaran, dan sesuai dengan taraf berpikir peserta didik.
Dalam dunia pendidikan telah banyak inovasi dalam menggunakan teknologi informasi dalam pembelajaran. Salah satunya dengan menggunakan game digital edukatif. Kegandrungan pada game dapat menjadi peluang bagi pelajaran muatan lokal terutama menyangkut budaya Manggarai. Para guru dapat menjadikan game daring sebagai media pembelajaran. Game merupakan perpaduan antara unsur play dan fun. Game mengandung unsur menyenangkan, memotivasi, memunculkan rasa ingin tahu, dan membangkitkan fantasi. Penggunaan game ini memunculkan sebuah strategi pembelajaran yang disebut dengan digital game based learning. Strategi pembelajaran ini memanfaatkan game digital sebagai media pembelajaran.
Pembelajaran berbasis permainan berpotensi untuk menjadi alat pembelajaran yang efektif karena merangsang komponen visual dan verbal (Sulistiyawati, dkk., 2021). Menurut Dello (2021) pembelajaran berbasis media game digital membantu melibatkan peserta didik secara aktif dalam penyelesaian masalah, berpikir secara kritis dan sebagai alat untuk mereview materi pembelajaran. Penelitian oleh Novita dan Sundari (2023) menunjukkan bahwa penggunaan media pembelajaran berupa game dapat meningkatkan hasil belajar dan perubahan aktivitas peserta didik pada pembelajaran.
Berdasarkan ulasan di atas, penulis coba berinovasi dengan membuat game edukasi digital sederhana tentang bundu. Penulis coba memanfaatkan kegemaran peserta didik pada game digital sebagai peluang atau “celah” untuk memperkenalkan kembali bundu. Ada keprihatinan dalam diri penulis akan hilangnya pengetahuan tentang bundu ini. Padahal, selain sebagai sarana hiburan, bundu juga mengandung pesan/nilai moral. Sebagai contoh dalam bundu: ẽta-ẽta ndegut , wa-wa tengguk (semakin tua, semakin merunduk. Jawabannya: woja/padi), generasi muda Manggarai diajarkan untuk rendah hati.
Saat mengerjakan game edukasi ini, penulis menggunakan bantuan fitur pada Educaplay. Bundu yang biasanya disampaikan secara lisan, coba dikemas dalam bentuk teka-teki silang (crossword puzzle), game kata acak (unscrambled words) dan game “katak melompat”(froggy jump). Untuk memudahkan akses ke link, penulis membuat barcode. “Kemasan” dalam bentuk game digital edukasi ini ternyata menarik minat peserta didik untuk belajar bundu. Mereka tertarik karena pertama, mereka dapat menggunakan gadget mereka untuk mengaksesnya. Kedua, mereka merasa tertantang karena ada “score” pada akhir permainan. Ketiga, mereka termotivasi untuk menyelesaikan game dengan skor maksimal, dan keempat, mereka belajar sambil bermain.
Pada prinsipnya pendidikan muatan lokal dalam Kurikulum Merdeka adalah salah satu cara/jalan pelestarian kebudayaan kita. Tugas kita, terutama guru, adalah bagaimana agar budaya kita diperkenalkan dengan cara-cara yang mudah diterima oleh generasi milenial. Perlu upaya-upaya kreatif agar “anggur lama” ini disimpan dalam “bejana baru” sehingga diminati oleh generasi milenial. Semua kita percaya bahwa kebudayaan lokal mengandung nilai-nilai kearifan untuk kehidupan yang bermartabat. (*)
—
Herfan Yanse Parlan Gagu, S.Pd., adalah seorang guru di SMP Negeri 1 Borong. Dia lahir pada tanggal 21 Agustus 1983. Erfan, demikian dia biasa dipanggil, pernah memenangkan Lomba Vlog Revitalisasi Bahasa Daerah bagi Guru Utama Bahasa Daerah di Provinsi NTT yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Provinsi NTT. Lomba ini diselenggarakan pada tahun 2023. Dia juga menulis buku cerita anak Goro, Si Kumbang Kotoran. Buku tersebut saat ini masih dalam proses uji keterbacaan. Buku cerita anak dwibahasa ini merupakan hasil dari Bimbingan Teknis Penulisan dan Penerjemahan Cerita Anak Berbasis Kearifan Lokal. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Provinsi NTT pada bulan April 2023. Akun Facebook: Erfan Gagu.