Seperti puisi penyair lainnya, puisi-puisi Umbu Landu Paranggi (1943 – 2021) dengan mudah dapat dikenal (diakses, dibaca) di berbagai alamat website ataupun di akun youtube lewat pembacaan puisi dan musikalisasi puisi karya sang penyair yang dijuluki sebagai Presiden Malioboro ini. Hal yang sama juga saya alami ketika mulai mengenal puisi-puisi Umbu Landu Paranggi. Namun secara “lebih lengkap”, saya mengenal puisi-puisi penyair kelahiran Kananggar (Sumba Timur, NTT) 10 Agustus 1943 ini melalui beberapa sumber berikut.
Pertama, dari buku berjudul Metiyem; Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi (Rumah Budaya EAN Yogyakarta, 2019). Di dalam buku ini terdapat satu bagian khusus yang diberi topik (judul atau sub-bab) DENGUNG; Mozaik Puisi-Puisi Umbu Landu Paranggi (hlm. 155 – 180). Di bagian khusus ini tersaji sebanyak 56 puisi karya Umbu yang dirangkum dari berbagai sumber. Puisi-puisi yang ditampilkan tersebut ditulis oleh Umbu (berdasarkan keterangan waktu penulisan puisi dan keterangan waktu/sumber publikasi) pada periode 1965 sampai 2001.
Kedua, dari blog atas nama Umbu (umbulanduparanggi.blogspot.com) yang dirintis (dan dikelola) oleh salah satu murid Umbu di Bali, Wayan Jengki Sunarta. Di dalam blog ini penyair Wayan Jengki Sunarta (dan timnya) berhasil merangkum sebanyak 38 puisi karya Umbu. Rinciannya, 30 puisi ditulis oleh Umbu di Bali, dan 8 puisi ditulisnya ketika masih di Yogyakarta.
Ketiga, dari majalah HORISON edisi XXXXI/2006. Di dalamnya ada sosok Umbu yang hadir pada rubrik Kaki Langit Nomor 117/2006 (hlm. 1 – 14). Selain Ulasan Puisi, Proses Kreatif, dan Riwayat Hidup Pengarang yang ditulis oleh Korrie Layun Rampan, dalam rubrik Kaki Langit itu juga dimuat sejumlah puisi Umbu yakni, Ni Reneng, Sajak Kecil (1), Sajak Kecil (2), Ibunda Tercinta, Solitude, Melodia, Percakapan Selat, Sabana, dan Di Sebuah Gereja Gunung (hlm. 3 – 8).
Selain tiga sumber di tersebut, saya juga mengenal puisi-puisi Umbu Landu Paranggi dari sejumlah musikalisasi puisi karya Umbu (di sejumlah akun youtube) terutama yang dipopulerkan oleh Tan Lioe Le seperti, Kuda Putih dan Lagu Tujuh Patah Kata, serta oleh Cak Nun (bersama grup musik KiaiKanjeng) seperti, Apa Ada Angin di Jakarta. Selain itu ada juga musikalisasi puisi Melodia karya Umbu oleh penyanyi asal Bali, Eba Ayu Febra, serta beberapa musikalisasi puisi karya Umbu lainnya yang dibawakan oleh grup sekolah dalam perlombaan tertentu, juga oleh individu tertentu sebagai bagian dari apresiasi puisi.
Sumber terbaru dan menurut saya paling lengkap saat ini terkait puisi-puisi Umbu adalah buku puisi berjudul Melodia (Kumpulan Puisi 1959 – 2019) karya Umbu Landu Paranggi yang disusun oleh Wayan Jengki Sunarta (Pustaka Ekspresi bekerja sama dengan Jatijagat Kehidupan Puisi [JKP], 2023). Di dalam buku ini terdapat 101 puisi karya Umbu yang ditulisnya sejak tahun 1959 hinggal 2019.
Meski diakui sendiri oleh Wayan Jengki Sunarta bahwa buku ini belum secara lengkap menyuguhkan puisi-puisi Umbu karena masih banyak puisi Umbu yang belum ia temukan, namun menurut saya sejauh ini buku Melodia adalah buku pertama yang merangkum puisi-puisi Umbu secara cukup lengkap karena memang selama hidupnya, Umbu tidak pernah menerbitkan satu pun buku puisi tunggal yang merangkum puisi-puisinya secara utuh. Puisi-puisi Umbu hanya tersiar di sejumlah media massa (termasuk majalah sastra) dan sejumlah buku antologi. (Robertus Fahik)
—–
*Tulisan ini disajikan sebagai materi pemantik dalam acara Refleksi Akhir Tahun “Mengenal & Memaknai Puisi-Puisi Umbu Landu Paranggi” tanggal 30 Desember 2023 (YASPENSI – SekolahTimur.com)
**Dipublikasikan sebagai bagian dari momentum menyongsong Festival Sastra Umbu Landu Paranggi Tahun 2024 di Sumba Timur, NTT (12 – 17 Mei 2024)