Festival Sastra Umbu Landu Paranggi (FSULP) Tahun 2024 telah menjadi ‘roh’ baru pembangunan iklim Pendidikan di Sumba (Sumba Barat Daya, Sumba Barat, Sumba Tengah, dan Sumba Timur). Ini ditandai dengan keterlibatan peserta perwakilan dari SMA dan SMK dalam mengikuti lomba-lomba dan karnaval saat FSULP, yang diselnggarakan di dua lokasi, yakni SMAN 1 Paberiwai, Kananggar (tempat lahir Umbu Landu Paranggi) pada tanggal 13 dan 14 Mei 2024 serta tanggal 15 dan 16 Mei di Gedung Nasional, Waingapu, Sumba Timur.
Pemilihan dua lokasi ini adalah pertimbangan matang panitia penyelenggara untuk ‘membumikan’ dan ‘membunyikan’ karya seni sastra Umbu Landu Paranggi, dari kampung halamannya ke medan modernitas. Festival yang digagas YASPENSI dan didukung penuh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT, MKKS dan Korwas se daratan Sumba ini, berhasil menghipnotis relung kognitif, afektif, dan psikomotorik peserta didik di sana untuk literat di bidang seni sastra.
Umbu Landu Paranggi
Disadur dari wikipedia, Umbu mempunyai nama lengkap Umbu Wulang Landu Paranggi (10 Agustus 1943 – 6 April 2021) adalah seniman Indonesia berasal dari Sumba yang sering disebut sebagai tokoh misterius dalam dunia sastra Indonesia sejak 1960-an. Ia lebih dikenal sebagai sosok “di belakang layar” yang mendorong para penyair muda untuk menjadi sastrawan. Melalui komunitas Persada Studi Klub di Malioboro, Umbu menjalankan peran sebagai mentor sekaligus guru yang membimbing kelompok penyair dan seniman muda tahun 1970-an di Yogyakarta, seperti Emha Ainun Nadjib, Eko Tunas, Korie Layun Rampan, Linus Suryadi AG, dan Ebiet G. Ade.
Pada tahun 1978 ia pindah ke Bali. Di sana ia mengasuh rubrik Apresiasi di Bali Post dan membimbing generasi muda penulis seperti Wayan Jengki Sunarta, Warih Wisatsana, Putu Fajar Arcana, Cokorda Sawitri, Oka Rusmini, dan lain-lain. Sembari membina komunitas Jatijagat Kampung Puisi (JKP) di Bali, Umbu masih membantu komunitas Rumahlebah Yogyakarta melahirkan jurnal antologi Ruang Puisi dengan duduk di dewan redaksi bersama Raudal Tanjung Banua, Frans Nadjira, dan Nur Wahida Idris.
Umbu meninggal di Sanur, Bali, akibat COVID-19 pada 6 April 2021. Sebelum dimakamkan secara tetap dan permanen di tanah kelahirannya, Sumba, jenazah Umbu dimakamkan sementara di Taman Pemakaman Kristen Mumbul Kabupaten Badung, Senin, 12 April 2021, setelah diantarkan ke ruang sunyi melalui liturgi peribadatan Kristiani dan upacara kurukudu, sebuah ritual adat Sumba, Nusa Tenggara Timur.
Penghargaan Umbu Landu Paranggi
Pada tahun 2018, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia memberikan Penghargaan Anugerah Budaya kepada Umbu Landu Wulang Paranggi untuk kategori seniman modern. Tahun 2019, Umbu menerima penghargaan dari Akademi Jakarta atas “pencapaian sepanjang hayat” di bidang humaniora melalui pengabdiannya di bidang kesusasteraan, yang diterima dengan diwakilkan putranya, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi. Pada tahun yang sama, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, melalui Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra, memberikan Penghargaan Pengabdian pada Dunia Sastra 2019 kepada Umbu yang telah mendedikasikan dirinya untuk perkembangan kesusastraan modern Indonesia.
Pada tahun 2020, ia menerima Penghargaan Bali Jani Nugraha dari Festival Seni Bali Jani atas jasanya dalam pengembangan ekosistem seni modern di bidang sastra. Pada tahun yang sama, Umbu juga menerima Anugerah Kebudayaan Indonesia 2020 kategori ‘Pencipta, Pelopor, dan Pembaru’ dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Pada tahun 2021, komponis Ananda Sukarlan membuat musik dari beberapa puisi Umbu dan diperdanakan oleh soprano lulusan Hungaria, Alice Cahya Putri, di konser video berlokasi di Labuan Bajo, berjudul “Ananda Sukarlan : Matahari Terbenam di Timur” di kanal YouTube “Budaya Saya”.
Literasi Seni Sastra
Penyelenggaraan FSULP merupakan festival sastra pertama di NTT yang khusus menggunakan nama sastrawan. Pemilihan ‘nomenklatur’ ini merupakan penghargaan tertinggi terhadap dedikasi Umbu Landu Paranggi terhadap dunia kesustraan di Indonesia. Juga penghargaan terhadap teladan hidupnya yang selalu ingin ‘dibelakang layar’ dalam upaya memanusiakan manusia sesuai teladan karakter. Buah dari FSULP ini, mengajarkan para peserta festival maupun masyarakat luas yang menyaksikannya tentang nilai-nilai keindahan dalam dunia sastra dalam parade lomba baca dan cipta puisi, lomba musikalisasi puisi, parade busana adat daerah NTT sepanjang jalur perkotaan Waingapu, pun gelar wicara dan pemutaran film-film dokumenter karya puisi dan perjalanan hidup Umbu Landu Paranggi.
Sastra sebagai sebuah karya seni telah melampaui batasnya dari sekedar kata-kata atau pemilihan diksi, rima, baris dan bait pada puisi, pantun, novel, sajak, dan karya tulis kreatif lainnya, tetapi keindahannya telah membawa dan menghantar manusia pada satu permenungan panjang tentang hidup dan kehidupan; Who Am I?.
Ada beberapa ahli yang mengutarakan bahwa sastra adalah sebuah karya seni. Sebut saja Wellek dan Warren; menurut mereka, Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sederetan karya seni. Pun yang disampaikan Titik Maslikatin (2007:2) bahwa definisi sastra secara umum adalah karya seni yang bermediumkan bahasa, bersifat inovatif, dan unsur imajinatifnya sangat menonjol.
Seni Sastra
Seni dalam Bahasa Inggris disebut art yang disadur dari kata kata ars (Latin) yang berarti keterampilan khusus/skill. Keindahan yang dihasilkan dari karya-karya seni adalah sajian yang mempunyai dasar pijak dari keterampilan-keterampilan khusus atau skill dari seniman tersebut. Skill itu tidak terlahir begitu saja, melainkan dilatih, dipelajari, diasah, dan juga dikembangkan. Tidak bisa instan langsung jadi. Tidak ada keindahan sesaat. Ia mesti melalui beragam proses dan progress sembari dipelajari dan terus dipelajari.
Cerita yang didapatkan selama di Kananggar, masyarakat menuturkan bahwa keseharian hidup dari Umbu Landu paranggidilalui dengan penuh ‘misterius’. Ia suka menyendiri di bawah pohon, di atas batu, di pinggir Sungai, pun di atas bukit-bukit yang mengelilingi kampung tersebut. Namun di tangannya selalu membawa secarik kertas. Rupanya karya-karya seni sastra yang keluar dari pemikirannya selaluia tuliskan. Walau beberapa diksi yang didapatkan kedengaran aneh dan unik, namun beberapa kedengaran indah dan memiliki banyak nilai-nilai karakter yang bisa dipelanajri, seperti dalam karya-karyanya Ibunda Tercinta, Sajak Kecil, Ronggeng Sumba, maupun Sabana.
Geliat Literasi Seni di Sumba
Untuk merayakan FSULP, diadakan lomba-lomba karya sastra ciptaan Umbu Landu Paranggi, baik dalam bentuk cipta dan baca puisi, maupun musikalisasi puisi. Pemilihan jenis lomba-lomba tersebut adalah bentuk mengasah skill atau keterampilan khusus yang dimiliki peserta agar mereka benar-benar literat dan paham terhadap apresiasi maupun laih-wahana karya sastra yang mereka lombakan.
Semisal dalam perlombaan baca puisi,akan dinilai aspek-aspek vokalnya yang meliputi artikulasi dan intonasi, kemudian aspek penjiwaan (penghayatan terhadap isi puisi), juga aspek penampilan. Juga ada tambahan kritria lainnya. Begitu pula di lomba musikalisasi, dinilai kriteria-kriteria tentang penafsiran puisi, kompoisi atau aransemen, harmonisasi musik dan vokal, juga penampilan.
Peserta-peserta lomba adalah perwakilan SMA dan SMK dari 4 kabupaten di pulau Sumba. Masing-masing untuk lomba cipta dan baca puisi maupun karnaval budaya di Waingapu. Lomba baca puisi diselenggarakan di Kananggar, sore hingga malam. Sedangkan cipta dan musikalisasi puisi diselenggarakan di Kota waingapu.
Pemberian kriteria-kriteria lomba sebagai wujud pertanggungjawaban dalam proses literat, yakni belajar dan terus belajar untuk bisa memenangkan kriteria penilaian. Proses itu menandakan bahwa memang seni sastra atau seni musik (musikalisasi) pun adalah ilmu pengetahuan yang wajib dipelajari dengan baik, diasah skill-nya untuk bisa mengembangkan sumber daya nya sendiri, maupun membawa dampak bagi banyak orang. Jika literat pasti juara. Namun itu bukanlah tujuan akhir. Akan ada banyak outcome yang bisa dijadikan bekal dan pembelajaran berikutnya.
Salah satu outcome yang nampak yakni ditandai dengan keterlibatan masyarakat (anak-anak, anak sekolah) menonton maupun menyiapkan (berpartsipasi) aktif baik di Kananggar maupun masyarakat kota Waingapu yang menonton sepanjang jalan pada karnaval budaya. Juga hadirnya keluarga-keluarga kandung almarhum Umbu Landu Paranggi, sejak dimulainya hingga berakhirnya festival ini. Pun banyak anak-anak sekolah di Sumba yang mengenal karya-karya seni sastra Umbu Landu Paranggi, juga di daerah-daerah lainnya di NTT maupun secara luas.
Seni Sastra, Karakter, dan Keberlanjutan
Bahwa karya seni sastra telah menjelma secara holistik dalam kehidupan adat, tradisi masyarakat, ekonomi, kesehatan (pengobatan gratis saat FSULP), serta masuk secara intim dalam dunia pendidikan, yang akhir-akhir ini ditandai dengan ultimatum Menteri Nadiem agar sastra dimasukan dalam kurikulum pendidikan. Begitu pun spirit Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT yang baru, ketika berada dilokasi festival, beliau mengutarakan bahwa festival ini akan berlanjut di tahun-tahun mendatang; tentu bukan hanya untuk Sumba, bukan hanya tentang NTT, dan ini untuk Indonesia dan karya-karya luhur sang ‘guru sunyi’, sampai ke pundak-pundak anak bangsa!
Umbu,
Teruslah menulis di atas batu di bukit itu
Batu Marapu
Sumber segala arah