“Kalau ada orang yang berdeklamasi dengan melagu-lagukan ucapan atau bergerak-gerak secara berlebihan… itu hanyalah deklamasi yang jelek saja. Tidak ada hubungannya dengan hafalan (puisinya dihafal atau tidak dihafal)”. Demikian jawab Rendra pada suatu hari, ketika saya tanyakan tentang perbedaan antara Deklamasi dan Baca Puisi. Menurut Rendra, seni deklamasi dalam bahasa Inggris dinamakan “reading”.
Di Indonesia ada yang menyangka bahwa “reading” dan “deklamasi” itu berbeda, tetapi sebenarnya sama saja. “Deklamasi” itu bahasa Indonesia (atau sudah jadi bahasa Indonesia), dan “reading” itu bahasa Inggris. Itu saja bedanya.
Menurut Rendra, berdeklamasi, berkisah atau berpidato, secara tehnik ada tiga hal yang penting untuk diingat: teknik suara, sikap jasmani (seluruh tubuh dan anggota-anggota badan), dan cara penyampaian. Maka menjadi demikian halnya, karena berdeklamasi, berkisah dan berpidato itu, pada hakekatnya ialah cara menyampaikan isi perasaan, buah pikiran atau sebuah cerita kepada hadirin, dengan lisan, dan hadir di hadapan hadirin itu. Sehingga oleh karenanya menjadi penting bahwa cara menghadirkan diri dan cara bersuara itu menjadi menarik, disamping juga penting untuk diusahakan agar cara penyampaiannya itu mengandung siasat yang memikat pula.
Sementara menurut Sutardji Calzoum Bachri: “Membaca sajak di depan hadirin (penonton) pada hakekatnya ialah menampilkan diri dalam suatu situasi tertentu untuk mengucapkan sajak dengan tujuan menyampaikan penghayatan dan penafsiran terhadap sajak tersebut dalam intensitas yang maksimal, kepada para penonton.”
Yang dimaksud dengan diri, oleh Sutardji adalah dalam pengertian badaniah dengan segala kaitannya, beserta kostum (botak, gondrong, pakai dasi, jas, kaos oblong, topi, dan lain-lain), maupun dalam pengertian kepribadian. Pembaca sajak harus bisa menampilkan kepribadiannya sendiri dalam membaca sajak. Dia tidak diharapkan untuk menciplak cara baca sajak dari si pembaca yang lain.
Menurut Abdul Hadi WM: “Membaca sajak adalah usaha menampilkan kembali apa yang terkandung dalam sajak melalui vocal, gerak dan mimik. Seorang pembaca harus mampu menafsirkan kata-kata yang terdapat dalam sajak sedeikian rupa, dan mampu pula menggunakan unsur-unsur dalam tubuhnya mulai dari suara sampai gerak”. Abdul Hadi WM mengatakan, bahwa kata-kata dalam sajak bukan sekadar kata-kata dalam artian yang biasa. Ia memiliki arti yang lebih luas dari kata-kata dalam bahasa biasa. Bahwa di dalam sajak terdapat simbol, imaji, dan irama. Burung, laut, mawar, angin, darah, nanah, luka, sungai, pohon, meja, jendela, rumah dan sebagainya dalam sajak sering lebih dari sekadar kata yang menunjuk arti tertentu seperti terdapat dalam percakapan sehari-hari. Kata-kata itu mungkin sebuah simbol atau imaji yang menunjukkan kepada arti yang lebih luas atau memiliki asosiasi dengan suasana atau keadaan tertentu. Jadi kata-kata “laut” umpamanya, bukan sekadar laut seperti yang kita lihat, tapi penyair ingin mengatakan tentang hidup atau kehidupan, karena keluasan dan kegarangan laut memiliki persamaan dengan keluasan dan kegarangan hidup ini.
Jadi jelaslah sudah, bahwa membaca puisi bukanlah sekadar melagu-lagukan ucapan, bukan pula sekadar membesar-besarkan suara atau sekadar mengeras-pelankan volume atau menjelas-jelaskan kata melalui gerakan/ gerak gerik. Membaca puisi di depan hadirin (penonton) pada hakekatnya adalah suatu upaya menyampaikan isi-maksud puisi tersebut secara lisan melalui penghayatan dan penafsiran dengan intensitas tertentu dan dengan siasat yang memikat, kepada para penonton. Oleh karena itu, seorang membaca puisi (deklamator), terlebih dahulu harus menafsirkan/ memahami isi-maksud dari puisi/ sajak yang akan dibacakannya. Untuk selanjutnya, saya akan menyebut “Pembaca Puisi” sebagai “Deklamator”.
Penafsiran/ pemahaman terhadap isi-maksud dari puisi yang akan dibaca adalah langkah pertama, yang harus dilakukan oleh seorang deklamator. Untuk dapat memahami isi-maksud sebuah puisi, seorang deklamator, terlebih dahulu harus membacanya beberapa kali, agar dapat menangkap makna yang tersurat maupun makna yang tersirat dari puisi tersebut. Agar dapat memahami susunan baris dan bait, pemilihan kata dan gaya bahasa, serta semangat dari puisi tersebut.
Langkah kedua, yang harus dilakukan oleh seorang deklamator adalah menghayati puisi yang telah dipahaminya. Menghayati atau penghayatan berarti pemberian hidup. Begitu juga dengan penjiwaan, artinya pemberian jiwa. Maksudnya adalah dari sesuatu yang tadinya tidak hidup harus diberi hidup. Atau dihidupkan. Sesuatu yang tadinya tidak memiliki jiwa, diberi jiwa. Umpamanya ekspresi; agar ekspresi itu menjadi hidup, ekspresi itu harus diberi jiwa.
Jiwa adalah sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia yang membuat tubuh ini menjadi hidup. Yaitu pikiran, perasaan dan kesadaran. Lebih jauh lagi adalah roh. Seorang Deklamator harus berlaku seolah-olah puisi tersebut sang deklamatorlah yang menulisnya.
Langkah ketiga, yang harus dilakukan oleh seorang deklamator adalah melatih suaranya; melatih tekanan ucapan, agar suaranya mampu menggambarkan isi pikiran dan isi perasaan dari kalimat. Melatih kejelasan ucapan, agar ucapannya jelas setiap suku katanya. Melatih kerasnya ucapan, agar ucapannya terdengar oleh seluruh hadirin di tempat mana puisi tersebut dibacakan.
Langkah keempat, yang dilakukan oleh seorang deklamator adalah melatih penampilannya, yang menurut Rendra harus mengandung siasat yang memikat. Yang dimaksud dengan penampilan di sini adalah, saat ketika seorang Deklamator tampil ke pentas hingga turun dari pentas. Bagaimana bersikap (berdiri atau duduk) ketika membaca puisi. Bagaimana menggunakan gerakan dan gerak-gerik yang takarannya sesuai dengan isi-maksud dari puisi yang dibacakan.
Keempat langkah yang disebutkan di atas pada hakekatnya merupakan satu kesatuan yang utuh ketika seseorang tampil membacakan puisi. Dan keempat langkah tersebut merupakan dasar bagi dewan juri dalam menilai berbagai Lomba Baca Puisi.
Hal lain yang perlu juga diperhatikan, yaitu kostum atau busana. Karena penonton tidak hanya mendengar tetapi juga melihat sang deklamator. Seorang yang berpakaian rapi, lengkap dengan jas dan dasi, membacakan satu baris puisi Chairil Anwar “Aku ini binatang jalang”, akan menimbulkan kesan dan respon yang lain jika baris tersebut dibacakan pula oleh seorang deklamator yang tampil dengan pakaian kumal atau hanya memakai cawat saja seperti Tarzan. Ini menunjukkan bahwa kostum juga bisa mempengaruhi deklamasi atau pembaca puisi.
Sebaiknya kostum yang dipakai cukup yang sederhana saja, tidak usah berlebihan. Yang saya maksud dengan ‘berlebihan’, adalah seringnya seorang pembaca puisi mengenakan atribut yang berlebihan. Misalnya, ketika membacakan puisi yang mengandung semangat perjuangan, menggunakan ikat kepala merah putih, di tangannya memegang bambu runcing (disamping memegang teks puisi), yang seringkali tidak ada hubungannya dengan isi-maksud dari puisi yang dibaca. Sebagaimana juga blocking atau perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, bukanlah hal yang utama dalam pembacaan puisi.
Pengalaman saya menjadi juri Lomba Baca Puisi dari tahun 1986 hingga sekarang, saya melihat berbagai kesalah-pahaman yang terus berulang dari waktu ke waktu. Di mana seorang pembaca puisi seringkali kurang tepat dalam memahami puisi yang dibacanya. Sehingga yang terlihat hanyalah lagu-lagu ucapan, suara yang dibesar-besarkan dengan nada dan irama yang asal naik-turun dan asal keras-pelan, tidak merujuk kepada isi-maksud dari isi puisi tersebut. Atau sibuk menjelas-jelaskan ucapan dengan gerakan dan gerak-gerik yang berlebihan. Seolah-olah setiap kata harus diberi penekanan dengan gerakan dan gerak-gerik. Atau sibuk dengan berpindah-pindah tempat (dari tengah ke sudut, atau dari sudut ke sudut yang lain), yang kesemuanya tidak ada hubungannya dengan isi-maksud dari puisi yang dibaca atau dideklamasikan.
Tentang deklamasi yang berlebihan, Rendra melukiskannya sebagai berikut: “Seseorang menghafalkan sebuah sajak, lalu mencoba memaparkan sajak itu kembali kepada orang banyak dengan gerakan-gerakan semacam orang memainkan sebuah adegan yang dramatic dari sebuah sandiwara: yaitu dengan membuat gerakan-gerakan yang lebih dari wajar serta berusaha dengan bunyi yang jauh daripada normal, sambil di sana-sini ia selalu berusaha memberi tekanan pada setiap kata-asal-kata, dan beranggapan bahwa segala-galanya dalam sajak itu perlu ditonjolkan. Akibatnya kita malahan tak bisa lagi mengenal sajak yang dimaksud itu. Yang kita lihat cuma seorang yang berlaku aneh tanpa arti apa-apa”.
Pada seni deklamasi atau baca puisi, semua peristiwa (suasana) yang dilukiskan oleh penyair harus berada dalam imaji penonton. Tanpa harus dijelas-jelaskan. Melalui gerakan atau gerak-gerik yang berlebihan. Gerakan atau gerak-gerik akan menguatkan pembacaan kalau digunakan dengan tepat. Sementara, tekanan ucapan digunakan untuk menggambarkan isi pikiran dan isi perasaan dari kalimat yang bersumber dari puisi yang dibaca. Misalnya, untuk kalimat:
– “Saya mau berangkat ke sekolah” (jika yang ditekan kata “Saya”, maksudnya, yang berangkat ke sekolah “saya”, bukan adik saya, bukan teman saya, bukan juga kakak saya).
– “Saya mau berangkat ke sekolah” (jika yang ditekan kata “ke sekolah”, maksudnya, saya mau berangkat ke sekolah, bukan ke pasar, bukan rumah teman, atau ke museum).
– “Saya mau berangkat ke sekolah” (jika yang ditekan kata “mau berangkat”, artinya merupakan suatu kepastian yang tidak dapat ditawar-tawar lagi).
Deklamasi atau baca puisi adalah upaya untuk menyampaikan puisi secara lisan. Apakah itu puisi karya sendiri atau pun karya orang lain. Jadi yang harus diingat adalah, bahwa yang dideklamasikan itu adalah puisi. Senjata penyair adalah kata-kata. Dari kata-kata ia menyusun pengertian yang puitis. Dari kata-kata ia membuat irama. Dari kata-kata ia lukiskan suasana yang puitis.
Sebuah puisi adalah suatu peristiwa atau suatu rangkaian peristiwa yang dipadatkan, yang mengkristal dan terkonsentrasi. Dengan pilihan-pilihan kata dan kalimat yang disesuaikan dengan semangat puisi tersebut. Memahami sebuah puisi haruslah bertolak dari satu kesatuan yang utuh, yang disebut “semangat” dari puisi tersebut. Artinya dengan membacanya berulang-ulang, kita bisa merasakan “semangat” dari puisi yang akan kita baca. Semangat inilah yang kita sampaikan kepada penonton. Misalnya untuk puisi di bawah ini:
Taufiq Ismail
SAJAK ANAK MUDA SERBA SEBELAH
Si Toni dicabut kupingnya satu yang kanan
Maka suara masuk kuping kiri tembus ke otak
Di kirim balik dan jatuh ke kuping kiri lagi
Si Toni di potong tangannya satu yang kanan
Maka dia belajar menulis dengan tangan kiri
Si Toni diambil matanya satu yang kanan
Maka air matanya tetes ke sebelah kiri
Si Toni dipetik jantungnya lewat rongga kanan
Tapi gagal karena jantung itu mengelak ke kiri
Si Toni dipotong ginjalnya satu yang kanan
Tak gagal karena sesuai secara faali
Si Toni diambil kakinya satu yang kanan
Maka dia main bola cuma dengan kaki kiri
Lama-lama si Toni jadi kidal
Kupingnya yang bisa mendengar kuping kiri
Tangannya yang main gitar tangan kiri
Air matanya menetes di mata kiri
Ginjalnya menyaring di sebelah kiri
Dia tendang bola dengan kaki kiri
Lama-lama si Toni Ingin kerja
Cita-citanya lumayan sederhana
Dia mau jadi sopir saja
Tapi tak ada lowongan baginya
Karena kendaraan stir kanan semua
Hai tunggu dulu, Toni ini anak sayakah
Atau anak saudarakah?
Atau barangkali kemenakan kita?
Keadaan ini memang aneh
Sore ini jam empat tepat
Dengarlah dia sedang mengocok gitarnya
Dengan cara-cara anak muda bergaya kidal
Dan itu bukan suara gerimis, bukan
Itu air matanya
Memukul-mukul lantai beranda
(1977)
Umumnya, “judul” sebuah puisi akan menyiratkan “isi”. Maka “isi” puisi Taufiq Ismail yang berjudul Anak Muda Serba Sebelah ini, akan menyiratkan tentang anak muda yang “jiwa raganya” tidak utuh. Sehingga segala tindak-tanduknya serba nanggung.
Puisi Anak Muda Serba Sebelah ini terdiri dari empat bait. Bait pertama, melukiskan tentang anak muda yang serba sebelah. Yang kupingnya, tangannya, matanya, jantungnya, ginjalnya dan kakinya tinggal sebelah. Ini adalah perlambang dari kegagapan.
Bait kedua melukiskan tentang akibat dari “yang serba sebelah” itu. Yang mengakibatkan, si Toni (anak muda yang serba sebelah) itu, mendengar hanya dengan kuping kiri, tangannya yang main gitar tangan kiri, air matanya menetes di mata kiri, kinjalnya menyaring hanya yang sebelah kiri dan menendang bola hanya dengan kaki kiri.
Bait ketiga, melukiskan si Toni yang berkeinginan menjadi sopir, namun semua kendaraan setir kanan. Pada bait keempat, sang penyair mempertanyakan, tentang si Toni; “si Toni ini anak sayakah, atau anak saudarakah? Atau barangkali kemenakan kita?
Bait keempat dari puisi Anak Muda Serba Sebelah ini, ditutup dengan kalimat: “Sore ini jam empat tepat/ Dengarlah dia sedang mengocok gitarnya/ Dengan cara-cara anak muda bergaya kidal/ Dan itu bukan suara gerimis, bukan/ Itu air matanya/ memukul-mukul lantai beranda”. Di bait keempat ini, yang merupakan klimaks, terasa ada keharuan, dengan maksud, agar menjadi renungan bagi kita semua. Bahwa Anak Muda yang Serba Sebelah itu, bisa saja adalah dari kerabat kita sendiri.
Untuk memahami puisi di atas, ada baiknya kita mengetahui juga konsep Taufiq Ismail dalam menulis puisi, yaitu untuk “mengingatkan”. Juga ada baiknya kita mengetahui tahun penciptaannya, karena semua puisi berkaitan dengan situasi (sosial, politik, ekonomi, dan budaya) zamannya.
Puisi Anak Muda Serba Sebelah ini dibangun dengan bahasa yang sederhana dan tersirat. Sehingga mudah dipahami. Kekuatannya terletak pada surprise di bait keempat.
Ada ironi (kejadian atau situasi yang bertentangan dengan yang diharapkan atau yang seharusnya terjadi, tetapi sudah menjadi suratan takdir) dan suasana humor (sesuatu yang lucu dan/ atau keadaan (dalam cerita dan sebagainya) yang menggelikan hati), yang ingin dihadirkan oleh Taufiq Ismail melalui puisi tersebut.
Seorang deklamator harus bisa menghadirkan suasana yang ironis itu secara imajinatif, ketika membacakannya. Misalnya, ketika membaca bait pertama (baris 1, 2 dan 3), seorang deklamator membacanya dengan tempo dan irama seperti seorang komentator sepak bola. Kemudian secara berurutan menegaskan baris-baris (baris 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13) berikutnya. Senyap sejenak… dilanjutkan dengan bait kedua dengan tempo dan irama yang sedang, tapi dengan variasi. Senyap sejenak… bait ketiga (baris 1, 2 dan 3) tempo dan iramanya bisa ditingkatkan, dan diberi “dadakan” pada baris 4 dan 5, tapi dengan variasi. Untuk membangun suasana humor. Senyap sejenak… kemudian “disergap” dengan kalimat “Hei, tunggu dulu” (bait keempat). Toni ini anak sayakah/Atau anak saudarakah?/ Atau barangkali kemenakan kita?… Keadaan ini memang aneh… dilanjutkan (baris 5, 6, 7, 8, 9, 10) dengan tempo agak lambat untuk membangun rasa haru atau keharuan, sebagai klimaks atau penutup. (*)