Iman Pendahulu: Menjawab Allah Secara Bebas (Bagian Kedua)

0
18
Oleh Patrisius Leu, S.Fil., Guru Penulis & Wakasek Kesiswaan SMKN 7 Kupang, Fasilitator YASPENSI.

Adakah patokan untuk mengetahui bahwa iman yang kita anut sekarang ini dan yang akan diwariskan lagi sungguh-sungguh sama dengan iman para Rasul? Manakah pedoman iman itu? Diketahui ada tiga: kanon kitab suci; alkitab-tradisi-dan magisterium; syahadat.

PEDOMAN IMAN

Pertama, Kanon Kitab Suci

Istilah “Kanon Kitab Suci” menunjuk kepada koleksi buku-buku yang diilhami Roh Kudus dan yang bersama-sama membentuk Kitab Suci yang diakui Gereja sebagai norma iman bagi ajaran dan hidupnya. Daftar koleksi Kitab Suci itu dibentuk bertahap dan berbeda dalam gereja-gereja yang berbeda-beda. Pengesahannya merupakan keputusan fundamental di bidang ajaran.

Perjanjian Lama

Para teolog Gereja Perdana menyadari bahwa Perjanjian Lama tidak begitu saja secara langsung memberikan kesaksian tentang Kristus. Gereja Perdana menggunakan dua metode Hermeunetika yakni penafsiran alegoris dan penafsiran tipologis. Dengan demikian, Gereja mau memperlihatkan bahwa arti teks itu tidak terbatas pada periode asalnya, tetapi mengacu kepada sesuatu yang akan datang sehingga teks itu dalam dimensi kedalamannya hanya dapat dipahami kalau dipandang dari titik acuan tadi. Interpretasi inilah yang menuntun keyakinan Gereja Purba bersesuaian dengan rencana Ilahi mengenai sejarah. Maka Gereja Kristiani menafsirkan kitab-kitab itu dengan cara yang serba baru, dibandingkan dengan agama Yahudi.

Terjadinya Kanon Perjanjian Baru

Pada Abad I, Gereja sejak semula memandang Perjanjian Baru sebagai “Kitab Suci”. Apa yang dikatakan Yesus sejak memulai pewartaan-Nya di Galilea memiliki wibawa bagi umat purba. Sabda Yesus, hidup dan karya-Nya direnungkan, dirumuskan dan disimpan oleh Gereja Perdana yang kemudian dilanjutkan oleh Para Rasul. Demikian juga perkataan Para Rasul juga mempunyai bobot yang besar bagi Gereja Perdana. Dengan demikian, lama-kelamaan terjadi semacam bentuk inisial dari suatu kanon yang kedua disamping Kanon Perjanjian Lama.

Pada Abad II, Kanon Perjanjian Baru berkembang dalam perjalanan waktu dalam tiga hal. Pertama, wibawa perkataan Yesus adalah sama dengan wibawa Perjanjian Lama. Kedua, kitab-kitab Injil sudah dipandang sebagai instansi “naik banding” yang paling tinggi dalam memecahkan masalah perselisihan di bidang doktrinal. Ketiga, surat-surat Paulus dipandang sebagai dasar bagi Gereja mengatur tata tertib dan cara hidup dari komunitas-komunitas kristiani. Pada Konsili Roma tahun 382 dan Konsili Hippo Regius tahun 393, dan tahun 397 Konsili Kartago III mendukung penetapan Kanon Kitab Perjanjian Baru yang meliputi 27 buku. Kemudian tahun 1546 Konsili Trente mensahkan dan mengakui ke-46 buku Perjanjian Lama (Protokanonika dan Deuterokanonika) dan ke-27 buku Perjanjian Baru. Dalam tradisi apostolik, Gereja menentukan kitab-kitab mana yang harus dicantumkan dalam daftar kitab-kitab suci “Kanon” Kitab Suci.

Kedua, Alkitab, Tradisi dan Magisterium

Alkitab

Iman Gereja didasarkan pada wahyu Allah yang mencapai kepenuhannya dalam Yesus Kristus yang hadir dalam Gereja-Nya melalui Roh Kudus. Perwujudan kehadiran itu dalam Tradisi dan Alkitab sebagai sarana penerusan wahyu (1 Tim. 2:4; 2 Kor.1:30; Mat.28:19-20; Kis.1:8).

Para Rasul melaksanakan perintah Tuhan Yesus melalui pewartaan tidak tertulis (Tradisi) dan tertulis (Alkitab). Dalam pewartaan tidak tertulis, Tradisi meneruskan wahyu secara integral dan langsung dan intensif dibandingkan Kitab Suci. Dengan pewartaan tertulis (dalam Kitab Suci), wahyu diteruskan. Alkitab sebagai cara penerusan wahyu itu mempunyai keistimewaan yang membuatnya mengungguli Tradisi, yakni inspirasi Roh Kudus pada pengarangnya selama proses penulisan. Kebenaran Kitab Suci hanya sejauh perlu demi keselamatan, bukan sejarah menyangkut pengetahuan profan-historis ataupun ilmiah. Hanya menyangkut pengenalan akan Allah dan keselamatan manusia maka kebenaran Alkitab terjamin oleh “inspirasi” Roh Kudus.

Antara Kitab Suci dan Tradisi terdapat kesesuaian isi, sebab Kitab Suci sejauh merupakan Injil yang tertulis selalu menghadirkan pengungkapannya dalam Tradisi; sedangkan Tradisi sejauh merupakan Injil yang dibuat dan diaktualkan, selalu memberi kesaksian yang tak tergantikan mengenai Injil Tertulis.

Tradisi

Istilah “tradisi” dalam arti luas: “Penerusan” Wahyu entah secara tertulis pun tidak tertulis. Kemudian “tradisi’ dalam arti ketat: penerusan wahyu secara tak tertulis. Dalam arti yang ketat itu, Tradisi Ilahi dan rasuli berperan sebagai kriteria untuk menentukan Kanon Kitab Suci dan sebagai penafsir Alkitab yang berwibawa.

Sejak pewartaan para Rasul mulai ditulis, sejak saat itu tradisi berfungsi sebagai kriteria bagi penentuan Kanon. Kriteria Kanon Perjanjian Baru yang dipakai umat purba adalah kriteria apostolik rangkap dua. Maksudnya, tulisan yang bersangkutan itu harus berasal dari zaman para rasul; kemudian bukunya harus ditulis oleh salah seorang dari keduabelas rasul itu. Ini mengandaikan penggunaan buku-buku itu oleh Gereja sebagai kitab-kitab Kanonik. Tanpa Tradisi maka tak ada Kanon. Selain berperan sebagai kriteria Kanonisasi, tradisi juga berperan sebagai penafsir Kitab Suci. Tradisi adalah penafsir Alkitab dan Alkitab adalah nama Tradisi.

Magisterium Gereja

Wewenang khusus tugas mengajar dan menafsir secara autentik sabda Allah (baik yang tertulis maupun yang ditradisikan) dalam Yesus Kristus dikuasakan dan diemban oleh Paus dan para Uskup disebut Magisterium Gereja (Dei Verbum artikel 10) untuk melayani dan menghayati Sabda Allah untuk keselamatan Umat Allah. Menurut Konsili Vatikan I, fungsi Magisterium adalah menjaga dan memberikan penjelasan yang benar dan otoritatif isi wahyu, Sabda Allah yang terkandung dalam Kitab Suci dan ditransmisikan oleh Tradisi Suci (DS 3011 dan 3070). Lain halnya dengan Konsili Vatikan II, fungsi Magisterium ditempatkan secara lebih luas dalam perspektif kristologis dan eklesiologis (DV 10; LG 22).

Wewenang Magisterium ini bersifat infabel, artinya Magisterium kebal salah dan tidak dapat sesat dalam mengajarkan atau mendefinisikan iman dan susila. Hal iman dan perkara kesusilaan dipertahankan dan diteruskan Gereja sebagai umat Allah, yang karena Roh Kudus tidak bisa salah adalah isi wahyu Allah sendiri, yang sudah digenapi oleh Yesus Kristus. Apa yang diajarkan dan ditetapkan oleh Magisterium (Paus dan Kolegial para Uskup) tidak merupakan ajaran dan penetapan pribadi, melainkan dari Gereja Universal. Ajarannya bersifat mengikat seluruh umat Katolik yang diterima dan dihayati dengan rendah hati dan kepercayaan.

Syarat untuk mempergunakan “karunia kebenaran dan kebal salah itu adalah pertama, Sri Paus harus menegaskan maksudnya untuk berbicara ex cathedra, artinya berbicara dari kursi pengajaran St. Petrus; kedua, Beliau harus menegaskan pula maksudnya untuk mengungkapkan iman seluruh Gereja; dan ketiga, pernyataannya harus menyangkut hal-hal iman atau moral. Hanya kalau ketiga syarat ini dipenuhi, suatu pernyataan Sri Paus bersifat “tak dapat sesat”.

Ketiga, Syahadat

Di samping Alkitab dan Tradisi, terdapat entitas penting bagi ajaran Gereja yaitu Syahadat. Kredo diperuntukkan pertama-tama bagi pelajaran agama para katekumen dan calon baptis. Syahadat berfungsi sebagai rangkuman resmi iman kristiani dan pengajaran Kateketik didasarkan; juga sebagai sarana ampuh dalam menghadapi bidaah.

Syahadat Para Rasul merupakan rumusan pendek mengenai iman kepercayaan Kristen, yang berasal dari duabelas rasul dan tiap rasul menyumbangkan satu butir tulisan setelah peristiwa Pentakosta. Maka mereka menetapkan “syahadat Para Rasul” sebagai norma bagi pengajaran mereka masing-masing yang harus diteruskan turun-temurun sebagai kriteria iman kepercayaan. Namun syahadat tersebut tidak dirumuskan langsung oleh para rasul sendiri, melainkan berdasarkan ajaran mereka.

Syahadat Para Rasul berasal dari liturgi baptis, menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai pokok iman Kristen. Teks yang sekarang kita pakai terbentuk pada abad III, dan mencapai bentuk finalnya pada abad VII di Perancis dan akhirnya diresmikan oleh Paus Innocentius III (1196-1216) sebagai syahadat resmi Gereja Katolik Barat. Dasar Syahadat Para Rasul alkitabiah. Sesudah kanon Kitab Suci, Syahadatlah dogma yang kedua.

PENUTUP

Imanlah yang membedakan ilmu teologi dengan ilmu filsafat dan juga dengan ilmu pengetahuan empiris. Iman kristiani didasari oleh wahyu Allah. Wahyu dalam Kristus itulah yang kita tanggapi dengan beriman. Bagi orang kristiani, pedoman iman adalah pewartaan para rasul. Tugas pewartaan itu mereka jalankan baik secara tidak tertulis di dalam Tradisi maupun secara tertulis dalam Kitab Suci, termasuk dalam pedoman iman. Begitupula Magisterium Gereja termasuk didalamnya, sebab para rasul telah menyerahkan kedua cara pewartaan itu kepada para pengganti mereka, supaya Injil tetap hidup dan utuh di dalam Gereja. Jelaslah bahwa iman kepercayaan merupakan daya penyelamatan dan hanya karena kepercayaan itu kita diselamatkan.

DAFTAR PUSTAKA

B.S. Mardiatmadja, SJ, Beriman dengan Bertanggungjawab, Pustaka Teologi, Kanisius: Yogyakarta, 1985.

_______, Beriman dengan Sadar, Pustaka Teologi, Kanisius: Yogyakarta, 1985.

Collins, Michael and A. Price Matthew, The Story of Christianity, Kanisius: Yogyakarta, 2006.

Dister, Syukur Nico, Pengantar Teologi, Kanisius: Yogyakarta, 1991.

_______, Teologi Sistematik 1, Kanisius: Yogyakarta, 2004.

Embuiru, Herman, Katekismus Gereja Katolik, (terj.), Arnoldus: Ende, 1998.

Hardiwiryana, R, Dokumen Konsili Vatikan II (terj.), Obor: Jakarta, 1998.

Jacobs, Tom, Konstitusi Dogmatis Dei Verbum tentang Wahyu Ilahi, (terj.), introduksi dan komentar, Kanisius: Yogyakarta, 1989.

Kirchberger, Georg, Allah, Pengalaman dan Refleksi dalam Tradisi Kristen, Arnoldus: Ende, 1999.

_______,Pengantar kepada Ajaran Bapa-Bapa Gereja, Manuskrip, Ledalero: Maumere, 1987.

_______, Teologi Fundamental, Manuskrip, Ledalero: Maumere, 1995.

_______, Teologi Iman, Perspektif Kristen, STFK Ledalero: Maumere, 2002.

Konferensi Waligereja Indonesia, Katekismus, Arnoldus: Ende, 1988.

Rahner, Karl (ed.), Encyclopedia of Theology, London: Burn and Oates, 1977

Riberu, J. Dr. (Penerj.), Tonggak Sejarah Pedoman Arah, Dokumen-Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: DOKPEN MAWI, 1983.

Silab, Theodorus, Pr. Lic. Theol., Patrologi, Manuskrip, Fakultas Filsafat Agama Universitas Katolik Widya Mandira:  Kupang, 2006.

Suharyo, I, Pr., Kamus Teologi, Kanisius: Yogyakarta, 1996.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini