Pergumulan Sebuah Panggilan
Kisah berawal di tahun 2009, tahun sukacita bagi seorang pemuda yang baru diwisuda. Setelah hari-hari bahagia, ia hanya seorang jobless, duduk saja tanpa melakukan apa-apa, belum memiliki pekerjaan. Apakah harus seperti ini saja? Teguran, nasihat mengiang di telinga, dahi mulai mengerut, jantung terpacu, pikiran ngelantung ke sana-sini entah apa yang harus diperbuat. Coba sendiri dan rasakan, usahakan sendiri.
Mengikuti pikiran yang terngiang di kepala, berangkatlah ia dari kota Kupang ke kota Soe mencari peluang kerja. Ada tawaran, tidak cocok dan ditolak. Dari Soe, ia melanjutkan peruntungan di kota Atambua. Juga tak ada kecocokan jenis pekerjaan dan pengupahan. Kembali ke Kupang, Kota Kasih dengan harapan. Mencari peluang kerja dicoba lagi.
Tahun tahun 2010 ikut pelatihan teknisi komputer diselenggarakan LSM Suara Anak Flobamor, sambil bekerja di Inako Digital Printing kurang lebih 6 bulan. Satu tahun kemudian tahun 2013, mengikuti pelatihan security. Sertifikat didapat, berharap ke depan bisa diterima bekerja di tempat tuju. Ternyata belum membuahkan hasil. Pilihan bekerja dijatuhkan sebagai sales rokok Apace Jalur BTN, Belo, Kelurahan Fatukoa. Bekerja di tempat ini tak kunjung mendapatkan ketenangan. Hanya bertahan dua bulan saja.
Tahun demi tahun berlalu. Memasuki Februari 2014 setelah doa pagi, HP berdering. Panggilan masuk dari seorang teman lama. “Teman ada buat apa sekarang? Sudah kerja di mana?”. Saya menjawab, “Eee… teman, saya di rumah saja. Belum kerja”. Ia membalas, “Teman mau mengajar?”. Saya terdiam, sejenak dalam hati berkata: kalau saja saya mau mengajar sudah pasti dari dulu. Tapi karena saya maunya kerja kantoran, ya begini sudah. Sekarang saya ditawar mengajar. Pertanyaan mengiang di telinga, apakah saya harus menolaknya?
Sekali lagi temanku bertanya, “Kalau mau mengajar, besok antar lamaran ke sekolah”. Ada keragu-raguan dan rasa takut. Saya menyahutnya, “Baik”. Lika-liku menjawab panggilan untuk bekerja hingga akhirnya hari meniti karir sebagai guru agama katolik di SMK Negeri 2 Kupang hingga sekarang.
Arti Sebuah Panggilan
SMK Negeri 2 Kupang adalah salah satu sekolah besar di Kota Kupang di ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sekolah ini adalah SMK Pusat Keunggulan pada bidang teknologi dan rekayasa, dan menjadi sekolah impian banyak pelajar. Jumlah peserta didiknya lebih dari 2000-an siswa. Keberagaman budaya, dan agama mewarnai sekolah ini. Agama didominasi siswa beragama Kristen Prostestan, diikuti Katolik dan Islam.
Lingkungan sekolah berada di pusat atau keramaian kota. Budaya keras dan santai sudah begitu kental, mengakar, dan berpengaruh juga pada proses pembelajaran di sekolah khususnya dalam pelajaran agama Katolik. Inilah sebenarnya tantangan yang sebagian orang luar sekolah, menganggap bahwa sangat sulit berhadapan dengan anak-anak SMK Negeri 2 yang berkarakter keras, nakal, dan dicap suka tawuran. Orang yang baru masuk di tempat ini harus pandai membawa diri dan beradaptasi. Dan pasti akan terbiasa.
Menjadi seorang pastor, menjadi seorang bapak dan ibu keluarga, maupun menjadi seorang guru, dan menjadi apa saja yang diinginkan itulah panggilan kita masing-masing. Akan menjadi apakah kita sekarang, itu tergantung dari ketekunan dari apa yang saat ini kita lakukan dan dari apa yang ingin kita buat. Sesederhana pembiasaan itu, yang pasti ketekunan akan membuahkan hasil. Sesuatu tidak sekali jadi namun berproses, agar bisa bertahan dalam situasi dan keadaan apapun.
Menjalani Panggilan Keguruanku
Dalam sebuah perbincangan ringan, seorang teman guru yang vokal pernah mengatakan demikian: “Jangan terlalu serius lah, santai aja? Toh pada akhirnya juga anak-anak kita akan naik kelas dan tamat. Mengapa pula kita terlalu serius dengan keadaan yang semestinya kita sudah tahu akhirnya seperti apa?”. Sepulang sekolah, saya memikirkan gurauan teman tadi. Betul juga, kenapa kita terlalu serius sampai tidak melihat sisi lainnya bahwa ternyata pendidikan kita itu sudah mengalami kemunduran. Alhasil belum memberikan nilai penting bagi anak akan betapa pentingnya pembelajaran yang berproses.
Guru lainnya pernah berujar: “Pendidikan anak-anak kita tidak selesai di sini (sekolah), janganlah kita membuat masa depan mereka menjadi semakin suram. Anak-anak didik yang saya bina, banyak dari mereka setelah menamatkan diri beberapa tahun kemudian kembali ke sekolah dengan menemui kami, merasa sangat berterima kasih karena mereka sudah menjadi seperti apa yang kita inginkan dahulu sewaktu masih berada di bangku sekolah”.
Pengalaman (penuturan) teman-teman guru tersebut menjadi semacam dua sisi mata uang. Sisi yang satu bapak-ibu guru dan sisi yang kedua peserta didik. Keduanya mempunyai peranan penting. Di pihak guru, menjadi cambuk pukulan yang terlalu mengedepankan peserta didik, dengan maksud menyelamatkan mereka dari ketuntasan pelajaran tapi merugikan yang lain sebagai efek dan terlebih lagi belum dapat mendidik atau memberikan efek positif bagi si anak dan jera bagi semua peserta didik.
Saya sadar keterkaitan antara panggilan saya dan tantangan yang saat ini saya jalani di sekolah. Bahwa sampai kapan pun guru tidak akan bisa memberikan kepuasaan hakiki kepada peserta didik, sekalipun yang sudah dipersiapkan untuk bisa berikan pembelajaran yang bermakna bagi mereka. Sejatinya anak bertumbuh secara natural mengikuti jalannya, guru hanya mengarahkan agar jalan yang dipilih tetap pada jalurnya.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Argyle (2000); Jalaludin (2012); Hommel dan Colzato (2015) bahwa Pendidikan agama memberikan manfaat menjadikan hidup menjadi lebih terarah bagi kehidupan manusia sebagai individu. Dalam hal ini agama akan menjadi sebuah norma maupun nilai dalam diri individu yang akan menjadi kerangka bersikap maupun bertingkah laku agar sesuai dengan ajaran agama yang dianut. Keberadaan nilai ini bila dipahami lebih lanjut yang pada dasarnya memiliki dua orientasi dalam kehidupan yaitu yang mengarahkan pada keberadaan diri sendiri maupun berorientasi sosial.
Agama menjadikan individu memiliki motivasi dalam melakukan suatu perbuatan yang didasari dengan mana yang diperbolehkan dan apa yang dilarang dalam ajaran agama. Selain itu, Pendidikan Agama juga, memberikan ketenangan dalam hidup (Beck (2004); Kirkpatrick (2005); Ramayulis (2007); Loewenthal (2008); Jalaludin (2012) bahwa Tuhan memiliki kekuatan di luar batas nalar manusia yang sifatnya mengatur segala hal yang terjadi pada kehidupan manusia.
Sampai pada titik ini, apa arti panggilan saya sebagai pendidik? Apakah hanya memberikan peluang nilai ketuntasan ataukah memberikan efek kerja di kelas industri? Panggilan khususku adalah menjadi guru agama Katolik yang berpastoral di rumah pendidikan teknologi dan rekayasa, sekolah pusat keunggulan. (Editor: Patrisus Leu, S.Fil./rf/red/st)