Di dalam kelas yang dingin, dua gadis duduk berhadapan. Jendela besar di samping mereka memantulkan suasana hujan lebat yang mengguyur di luar. Suara rintik air menciptakan irama yang menenangkan, seolah mengajak mereka untuk melupakan sejenak tugas-tugas sekolah yang menumpuk di meja.
Reny, gadis berambut panjang terurai, mencicip secuil camilan yang barusan dibeli di kantin sekolah. Di depannya, Twirin, sahabatnya yang selalu ceria, menyeringai. “Kau tahu, hujan seperti ini membuatku merasa kita bisa melakukan apa saja,” katanya sambil menatap keluar, di mana air hujan menari di atas genangan dan angin meniup menusuk raga.
“Ya, seperti kita bisa berpetualang ke dunia lain,” jawab Reny, membayangkan segala kemungkinan. “Tapi di mana kita akan pergi?”.
Twirin menatap langit kelabu di luar. “Bagaimana kalau kita pergi ke tempat di mana hujan tidak berhenti? Tempat di mana kita bisa bermain tanpa khawatir?”.
Mereka berdua tertawa, membayangkan dunia fantasi yang penuh warna meski di luar gelap dan mendung. Hujan, yang biasanya dianggap sebagai penghalang, kini menjadi bagian dari imajinasi mereka.
Mereka ditemani gurunya yang asyik meneguk secangkir kopi hangat yang dipesannya. Aroma kopi menyebar, memberikan kehangatan yang lebih dari sekadar suhu. Sesekali bunyi seruputan kopi membelah irama rintik hujan.
Twirin menyeka rambut pendeknya, ia sejenak berpikir. “Kita bisa jadi detektif yang menyelesaikan misteri hujan! Mengapa hujan selalu turun saat kita ingin bermain di luar?”
“Atau mungkin kita adalah pelukis yang menciptakan lukisan indah dari setiap tetes hujan,” Reny menambahkan, matanya berbinar penuh semangat.
Di tengah perbincangan mereka, suara guru memanggil perhatian. Namun, kedua gadis itu tidak peduli. Dalam pelukan hujan, mereka menemukan dunia baru, tempat di mana imajinasi tak terbatas.
Saat pelajaran berlanjut, hujan di luar tetap mengguyur. Namun, di dalam kelas, kehangatan persahabatan dan aroma kopi menyelimuti mereka, mengingatkan bahwa di setiap badai, selalu ada ruang untuk berkhayal dan berbagi tawa.
Dan di sinilah, di antara rintik hujan dan aroma kopi, dua sahabat itu menemukan kekuatan dalam kebersamaan. Mereka tahu, meski hujan lebat menghalangi dunia luar, mereka akan selalu memiliki satu sama lain untuk menghadapinya.
“Pak, itu kopi pahit?”.
Gurunya tak menjawab. Hanya tersenyum, sambil terus menyeruput kopi pahit yang dipesan dari kantin sekolah.
***
Tulisan ini terinspirasi dari kisah nyata, di kelas XII IPS 6 SMAN 4 Kupang. Ketika hujan mengguyur deras dan dua siswi ditinggal teman-temannya yang asyik ke kantin sekolah. (Penulis: Marianus Seong Ndewi, S.Pd., Gr., M.M.)