Kami baru saja rileks setelah penutupan kegiatan “Hananu di Batas Negeri” hari pertama (24/02/2022), tiba-tiba Ka Eshy Laurensia menjawab seseorang di telepon dengan nada agak menjerit. Kami semua menoleh ke arahnya.
Sebelumnya dia menonton video yang tersebar di media sosial, sungai Benenai meluap, sedang terjadi banjir besar di sebagian wilayah Malaka. Beberapa saat setelah itu, teleponnya berdering.
“Apa? Di rumah ada banjir sekarang?” Itu kalimat yang saya dengar sepintas dari Ka Eshy.
Mukanya tidak bisa menyembunyikan panik. Saya melihat ke luar jendela, suasana di sekitar SMK Negeri Kobalima yang menjadi pusat kegiatan kami hari itu terlihat cerah.
“Banjir?” Tanya saya, kurang yakin.
“Iya Kaka, di Malaka ini sudah biasa…,” jawab Ka Eshy sambil terus berkoordinasi dengan orang di rumah lewat telepon untuk mengamankan bunga-bunga di halaman; barang kios; dan sebagainya.
Teman-teman lain menjelaskan, meski di Malaka tidak hujan, tetapi kalau di daerah hulu sungai seperti Soe dan Kefa sedang hujan, maka airnya akan membanjiri area hilir yang sebagian besar bermuara di wilayah Malaka.
Saya memang sudah lama mendengar, wilayah ini menjadi langganan banjir tiap musim hujan. Dulunya saya sempat berpikir, banjir itu hanya ada di Jakarta, dan hal itu terjadi karena bangunan beton sudah lebih banyak dari tanah resapan air.
Tetapi, ini kan wilayah kabupaten di pelosok NTT yang tidak mungkin seperti Jakarta. Lalu, bagaimana bisa terjadi banjir. Saya penasaran untuk melihat langsung.
Melihat Ka Eshy makin gelisah, Ka Robby Fahik menyarankan dia untuk segera pulang ke rumah. Ka Robby meminta Om Nong untuk mengantar Ka Eshy dengan mobilnya.
Karena penasaran, saya melamar diri untuk ikut juga. Tidak ada yang larang. Ternyata Ka Yosi Bataona juga mau ikut, sehingga kami pergi berempat.
Saat itu, Om Nong jadi sopir “angin ribut”. Kami melesat dari Kobalima ke rumah Ka Eshy yang terletak di Manumuti Brubit.
Kami yang biasanya banyak bercanda menjadi irit bicara. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Entah karena capek. Entah karena takut. Entah bagaimana nasib orang yang kebanjiran itu?
* * *
Kamis (24/02/2022) pagi, ketika kami hendak ke lokasi kegiatan, wilayah Betun hingga Kobalima memang sedang hujan ringan. Ini hari pertama kegiatan yang akan dihadiri tamu-tamu penting, tetapi cuaca kurang bersahabat.
Kami tiba di aula SMK Negeri Kobalima menjelang pukul 08.00 Wita. Beberapa anak sekolah beserta guru pendamping yang menjadi peserta kegiatan sudah datang. Kami, tim Yaspensi yang berjumlah 9 orang, langsung menyebar sesuai tugas yang telah dibagikan.
Ka Mega Bere memantapkan persiapan sebagai “MC” (pewara). Ka Eshy melayani peserta dan tamu di meja pendaftaran, dekat pintu masuk bagian belakang gedung. Ka Aris memastikan dekorasi aman, lalu menggantung beberapa lukisan karyanya di sisi kiri bagian depan aula.
Ka Riang Seong, Robby Fahik dan El Robby mengurus yang lain sambil memantau ke arah gerbang sekolah. Mereka hendak memastikan beberapa tamu undangan bisa disambut dengan baik.
Ka Yosi Bataona dan saya mondar-mandir di sekitar mereka, supaya sewaktu-waktu mereka butuh bantuan, kami sudah siap.
Om Nong diminta khusus menjemput Pak Syaiful Bahri Lubis, Kepala Kantor Bahasa Provinsi NTT, di sebuah hotel yang ada di Kota Betun.
Oh iya, kisah kedatangan Pak Syaiful ke Malaka untuk menghadiri acara “Hananu di Batas Negeri” ini terbilang cukup dramatis.
Hari sebelumnya, Rabu (23/02/2022), Pak Syaiful hendak ke Malaka dengan mobil sendiri. Begitu sampai di wilayah Oesapa, ia melihat awan mendung memenuhi langit wilayah Timur. Ia gentar, lalu menghubungi Ka Robby Fahik.
Sebagai putra asli Malaka, Ka Robby memiliki banyak kenalan sopir travel. Sore itu, ada satu sopir yang bersedia jalan, tetapi kalau hanya mengantar satu penumpang, harganya jauh lebih mahal. Harga tidak menjadi masalah, Pak Syaiful tetap berangkat ke Malaka.
Sore itu memang sedang hujan lebat, hampir merata di seluruh pulau Timor. Begitu tiba di persawahan Bena, mereka terhalangi banjir. Jalanan digenangi air yang cukup dalam, dengan jarak area banjir yang cukup panjang.
Sopir yang mengantar Pak Syaiful sempat bercerita kalau dia sebenarnya agak ragu untuk menerjang banjir dengan mobil. Risikonya besar. Kalau sampai mati mesin di tengah banjir, maka urusannya akan panjang. Apalagi hari sudah malam.
Beruntung ada sebuah mobil besar, rodanya cukup lebar dan tinggi. Ketika mobil itu lewat, air banjir terbelah ke samping. Pada saat itulah, mobil kecil yang membawa Pak Syaiful langsung mengekor dan berhasil melewati banjir.
Perjalanan dengan cuaca buruk seperti itu membuat mereka berjalan lamban, mereka baru tiba di Betun, Malaka pukul 03.00 dini hari. Istirahat sebentar di hotel, lalu pukul 08.00 pagi langsung dijemput oleh Om Nong.
Pagi itu, Pak Syaiful menjadi undangan khusus yang tiba pertama di lokasi acara. Setelah itu, Istri Bupati Malaka hadir bersama rombongan ibu-ibu pengurus PKK dan Dekranasda Kab. Malaka.
Tidak lama berselang, rombongan Bupati Malaka akhirnya tiba. Di luar masih gerimis, tetapi itu tidak menghalangi jalannya acara.
Bupati Malaka yang didampingi Plt. Sekda Malaka, Kadis Pendidikan dan Kebudayaan, Kadis Pariwisata, Kadis Infokom, dan pejabat lainnya disambut dengan pengalungan kain tenun, kemudian memasuki ruang acara diiringi tarian Likurai dan nyanyian dari paduan suara SMKN Kobalima.
Ketika Bupati Malaka, Dr. Simon Nahak, S.H.,M.H., sudah duduk di muka bersama sekda dan didampingi oleh Pak Syaiful selaku Kepala Kantor Bahasa Provinsi NTT dan Ka Rian Seong sebagai Ketua Yaspensi, suasana ruangan menjadi lebih tenang. Acara langsung dimulai oleh tim protokoler bupati.
Ka Rian Seong mendapatkan kesempatan pertama menyampaikan kata sambutan. Setelah minta izin berdiri, Guru Seni Budaya itu lantas mengambil ukulele, lalu berdiri di sudut kiri ruangan.
Entah kenapa, saya merasa agak tegang. Tetapi saya percaya, Ka Rian dalah penampil ulung. Panggung adalah dunianya. Dia pasti menampilkan yang terbaik.
Ka Rian meletakkan pelantang (mikrophone) di saku rompi yang bermotif tenun NTT. Biasanya dia hanya bercelana pendek dengan kaos oblong, tetapi tampilannya hari itu memang menegaskan kalau dia adalah ketua yayasan.
Ka Rian mulai memainkan ukulelenya. Suasana makin tenang sekaligus tegang. Dia berteriak–atau mungkin ada istilah yang tepat dalam seni suara–mengikuti alunan ukulele, tetapi teriakan itu tetap terdengar merdu.
Beberapa saat kemudian, ia akhirnya menyanyi…,”Oras loro malirin…”
Selanjutnya semua yang hadir ikut menyanyi. Itu merupakan salah satu lagu daerah yang sangat populer di Malaka dan daerah sekitarnya, bahkan sampai Timor Leste.
“Itulah hananu…,” Jelas Ka Rian setelah selesai bernyanyi.
Dia kemudian menjelaskan, lewat hananu yang secara harfiah berarti menyanyi itu, bisa menjadi metode yang baik untuk belajar apa saja, termasuk untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Indonesia bagi anak-anak di perbatasan Malaka.
Lebih lanjut, Ka Rian menjelaskan ‘output’ dari kegiatan itu berupa karya tulis sederhana. Hananu sebagai metode atau pemicu lahirnya ide untuk menulis. Dari kosa kata atau makna sebuah lagu, anak-anak bisa mengembangkannya dalam bentuk tulisan.
Target Yaspensi ada tiga. Anak SD mampu menuliskan kisah keseharian dan hubungannya mereka dengan keluarga terdekat. Anak SMP bisa menulis perihal lingkungan yang saat ini mulai terancam rusak. Sedangkan anak SMA diarahkan untuk menulis persoalan sosial di masyarakat, termasuk adat-istiadatnya.
Yaspensi juga menargetkan ‘outcome’ yang terukur. Selain peningkatan kemampuan berbahasa Indonesia, anak-anak di batas negeri itu juga dibimbing untuk memiliki karakter yang kuat; mencintai budaya dan meningkatkan rasa nasionalisme.
Pak Syaiful memuji ide kreatif Yaspensi saat memberikan kata sambutan. Kepala Kantor Bahasa Provinsi NTT itu mengatakan kalau Yaspensi layak mendapatkan pendanaan dari Pertamina Foundation, karena memang idenya brilian.
Hananu adalah metode yang menyenangkan. Pak Syaiful mengingatkan kembali pelajaran saat sekolah dulu, banyak yang dihafal lewat nyanyi. Karena menyanyi lebih banyak mengaktifkan fungsi otak kanan, maka ingatan akan pelajaran tersebut masih melekat hingga kini.
Pilihan lokasi kegiatan juga sangat tepat menurut Pak Syaiful. Malaka ada teras NKRI. Dia harus dipersiapkan secara khusus, sehingga tidak kalah bersaing dengan negara tetangga. Penguasaan bahasa Indonesia merupakan salah satu aspek penting yang harus diperhatikan.
“Hananu adalah tradisi orang Malaka dan bisa dijadikan obat,” jelas Bupati Simon. “Dulu kalau ada anak kecil menangis, orang tua menyanyi, anak langsung diam.”
Atas dasar pengalaman kultural seperti itu, Bupati Malaka sangat senang dengan kegiatan yang diprakarsai oleh Yaspensi itu. Beliau meyakini hananu bisa menjadi metode belajar yang baik.
Dia juga berharap agar kegiatan itu tidak hanya berkaitan dengan pendidikan, tetapi juga bisa digabungkan dengan bidang-bidang yang lain.
“Kepada dinas pariwisata perlu bekerja sama dengan Yaspensi untuk menyelenggarakan program kreatif lainnya,” imbuhnya.
Bupati Malaka mengingatkan agar kegiatan tersebut dijalankan dengan sungguh-sungguh dan berkelanjutan.
“Tolong dilanjutkan kegiatan ini, tolong kami dibina, sehingga Malaka ini dipromosikan,” katanya bersemangat. “Kalau bisa, nanti kita undang saudara kita di Timor Leste.”
Di luar, hujan sudah reda. Matahari makin menampakkan dirinya. Pada kesempatan itu, sebagai pemimpin daerah, beliau menyampaikan rasa syukur dan terima kasih kepada beberapa pihak. Pertama, terima kasih atas berkat Tuhan. Kedua, alam dan leluhur. Ketiga, dukungan Pertamina Foundation dan semua tim penyelenggara.
“Jadilah orang Malaka yang menyala di mana-mana,” itu pesan khusus Bupati Simon bagi anak-anak peserta kegiatan.
Setelah seremonial pembukaan, acara dilanjutkan dengan diskusi yang menghadirkan tiga pembicara: Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Malaka (Yohanes Kalau, S.IP., M.M); Kepala Kantor Bahasa Provinsi NTT; dan Dra. Vianelda Nahak selaku pemerhati budaya Kab. Malaka.
Tugas utama saya hari pertama itu sebenarnya memimpin diskusi tersebut. Saya agak cemas, bisa atau tidak? Saya nekat saja, dan pada akhirnya selesai juga. Isi diskusi itu sangat banyak dan tentunya penting. Karena itu, nanti saya tuliskan pada catatan #JalanPagi selanjutnya saja.
Kami baru selesai diskusi pukul 14.00 lewat. Makan siang agak telat hari itu. Setelah makan harusnya ada kegiatan lagi, tetapi karena semua kelelahan, kita sepakati untuk lanjutkan pada hari berikutnya.
Kami makan siang bersama terlebih dahulu, sampai kira-kira pukul 15.00. Nah, setelah itulah, Ka Eshy mulai huru-hara karena mendapat kabar rumahnya kebanjiran.
* * *
Menjelang tiba di rumah Ka Eshy, kami melihat banyak kerumunan orang di pinggir jalan. Paling banyak di Jembatan Wedik. Tampak beberapa orang membawa tas. Sepeda motor dan mobil dipindahkan ke tempat yang lebih aman.
“Biasanya orang hanya membawa barang penting seperti ijazah kalau ada banjir seperti ini, Kaka,” cerita Ka Eshy, “yang lain-lain dong kasi tinggal sa…”
Ka Eshy juga menjelaskan kalau kampung yang masuk ke cabang kanan, persis setelah Jembatan Wedik itu biasanya paling parah kalau ada banjir seperti ini. Kampung Kobadiin namanya.
Saya mengangguk saja, berusaha mengerti. Saya masih belum paham ketika mengingat komentar sebelumnya, bahwa banjir di sana sudah biasa.
“Apa tidak ada upaya untuk menyelesaikannya?” Saya terus mengorek informasi.
Ka Eshy menuturkan bahwa pemerintah sebenarnya mau membangun tanggul di pinggir sungai Benenai, tetapi ada warga yang tidak mau membebaskan lahannya untuk proyek tersebut.
“Bagaimana kalau ditawarkan relokasi?” Saya makin penasaran.
Tidak semudah itu juga ternyata. Masyarakat sudah betah tinggal di sana. Banjir tidak terjadi setiap hari, sehingga bagi mereka banjir itu bagian dari berkat juga.
Katanya banjir itu membawa lumpur yang mengandung humus yang tinggi dari arah gunung, sehingga kalau menanam setelah banjir, tanaman jadi lebih subur.
Kami sudah memasuki cabang ke kampung Manumuti Brubit. Jalanannya masih berupa batu yang bercampur lumpur. Setelah masuk kurang lebih 1 km, kami melihat air mengalir di halaman rumah warga.
Untungnya posisi jalan masih agak tinggi dari halaman rumah warga, sehingga mobil yang kami tumpangi tetap aman. Tetapi kami tidak bisa masuk lebih jauh lagi, takut kalau-kalau akan datang banjir yang lebih besar.
Akhirnya Ka Eshy turun di situ. Katanya rumah sudah dekat, dan dia meyakini kami semuanya akan baik-baik saja.
Esoknya kami akan lanjut ‘hananu’ lagi. Tapi, bagaimana rasanya bisa bernyanyi di kala ada teman yang lagi kesusahan karena banjir? (Saverinus Suhardin/ rf-red-st)