#JalanPagi: Menjelajahi Proses Kreatif Penulis

0
168
Hari kedua Workshop KTI dan Jurnalistik di SMAN 4 Kupang.

Tanpa upaya yang terlalu keras dan membikin lapar, tampaknya saat ini kita sangat mudah membaca atau mendengarkan ungkapan tentang pentingnya memiliki kemampuan menulis, dan kampanye tentang hal itu terasa makin mendesak berbarengan dengan gencarnya gerakan literasi pada era kiwari.

Tetapi, apakah setiap orang bisa menulis atau menjadi penulis? Apakah kemampuan menulis bisa dilatih? Bagaimana orang bisa konsisten belajar menulis? Apakah orang yang sudah berani menulis telah menghasilkan tulisan yang bagus?

Dan masih banyak pertanyaan lain yang bisa kita tambahkan, kalau kita masih punya kerajinan untuk berpikir. Kabar baiknya, kita bisa memperpendek kegelisahan itu dengan menyimak pengalaman kreatif para penulis lain.

***

Ini merupakan lanjutan catatan #JalanPagi sebelumnya: Melihat dari Dekat SMA Negeri 4 Kupang. Setelah seremonial pembukaan, kegiatan dilanjutkan dengan penyampaian materi oleh narasumber.

Pada sesi ini, memang tidak disebutkan secara eksplisit kalau itu merupakan bagian dari proses kreatif penulis. Tetapi secara implisit, tiga narasumber yang berbicara pada hari pertama itu (28/06/2022) tetap menyisipkan cerita bagaimana mereka bisa menjadi penulis yang dikenal saat ini.

Pembicara pertama waktu itu, Ibu Dr. Lanny Isabela Dwisyahri Koroh, S.Pd., M.Hum., atau kami biasa menyapanya dengan penggilan: Ka Lanny.

Anda mungkin sudah tahu, Ka Lanny bersama rekan-rekannya membentuk sebuah komunitas yang bernama Perempuan Biasa, tetapi kegiatan yang mereka lakukan sesungguhnya tidak biasa.

Sebagai aktivis perempuan, Ka Lanny sangat antusias ketika melihat peserta yang mengikuti pelatihan didominasi perempuan. Dari 30 peserta, hanya ada satu laki-laki, yaitu Joakim–Ketua OSIS yang terpilih SMA Negeri 4 Kupang.

“Perempuan juga bisa!” Kata Ka Lanny tegas, untuk meyakinkan adik-adik peserta kalau mereka bisa menjadi penulis atau dalam konteks kegiatan tersebut menjadi seorang jurnalis.

Ka Lanny membagikan pengalamanya yang sukses dalam bidang pendidikan, sebagai contoh, sebelum usia 30 dirinya sudah meraih gelar doktor.

Apa yang membuat penyuka teater itu bisa seperti itu? Menurut pengakuannya, ia selalu ingin tampil.

“Kalau ada be pu teman yang tampil baca puisi,” kisah Dosen IAKN Kupang itu mengenang masa sekolah dulu, “maka beta ju akan berusaha maju. Berani saja!”

Berkaca dari pengalamannya itu, maka Ka Lanny sangat berharap adik-adik peserta pelatihan juga bisa memupuk semangat yang sama; semangat untuk berani memulai.

Itu beberapa poin penting yang disampaikan Ka Lanny di sela-sela membawakan materi yang berjudul, “Literasi: Teropong Dunia?”

Ka Lanny memberikan gambaran bagaimana pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang baik. Ada banyak kegiatan yang bisa dilakukan, salah satunya berani tampil di Festival Literasi Siswa Indonesia atau yang biasa disingkat FELSI.

Ka Lanny juga berbagi tentang strategi literasi, misalnya dalam urusan membaca. Menurutnya, aktivitas membaca bukan sekadar membolak-balikkan halaman buku saja. Kegiatan membaca butuh kiat yang tepat, mulai dari persiapan sebelum membaca, ketika sedang membaca, dan sesudah membaca.

“Habis baca bukan berarti selesai. Tapi, kita perlu renungkan, apa yang bisa kita pelajari dari bacaan tersebut?” tambahnya.

Ka Lanny meyakini gerakan literasi bisa menjadi sarana belajar yang baik. Tetapi, ia mengingatkan satu hal penting, literasi itu bukan untuk membesarkan diri sendiri saja, tetapi juga memperhatikan orang-orang di sekitar.

***

Mungkin Anda pernah mendengar perdebatan tentang jurusan di Sekolah Menengah Atas, mana yang paling bergengsi? Bidang eksakta atau ilmu sosial dan humaniora?

Pada umumnya orang selalu menyanjung yang jurusan IPA, kan? Tetapi Pak Zulkarnain, S.Pd., yang menjadi narasumber kedua dalam kegiatan tersebut memiliki hasil pengamatan yang berbeda dan tentu saja menarik untuk diketahui bersama.

Menurut Guru Bahasa Indonesia SMA Negeri 4 Kupang yang akrab disapa Pak Zul itu, para pemimpin dunia yang ia anggap hebat dan inspiratif, sebagian besar bukan orang yang bergelut dalam bidang studi eksakta.

“Tapi anak-anak dari yang jurusan IPA jangan berkecil hati dulu,” hibur Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan tersebut. “Kalian masih punya peluang jadi pemimpin hebat, salah satunya dengan jadi jurnalis.”

Menurut Pak Zul, lagi-lagi hal itu diakuinya sebagai hasil pengamatan pribadi, banyak pemimpin yang ia kenal dan kagumi, dulunya mereka pernah bekerja sebagai jurnalis.

Karena itu, ia mengaku sangat senang ketika Pak Rian Seong dan beberapa guru lain bersemangat menggagas pembentukan kegiatan ekstrakurikuler jurnalistik di sekolah.

Selain sebagai pengajar di sekolah, Pak Zul sejatinya memiliki banyak pengalaman pelatihan maupun menjadi pegiat jurnalistik. Karena itu, beliau mengatakan siap untuk terus mendampingi siswa-siswi yang ikut pelatihan, sehingga kelak bisa menjadi jurnalis yang sukses.

“Tapi, kita tentunya tetap berharap ada dampingan teman-teman dari Yaspensi, sehingga anak-anak kami ini makin baik,” tandasnya.

***

Selanjutnya ada Robertus Fahik, S.Fil., M.Si., Ketua Divisi Kepustakaan Yaspensi yang biasa kami sapa Ka Robi.

Pengalaman Ka Robi dalam bidang penulisan, khususnya lagi jurnalistik, sudah sangat panjang. Saya tidak perlu mengulang-ulang menceritakan riwayat sastrawan NTT itu, Anda bisa temukan dengan mudah di berbagai media.

Sedikit bocoran mengenai sistem kerja di Yaspensi, urusan pelatihan menulis atau jurnalistik seperti yang dilakukan di SMA Negeri 4 Kupang itu menjadi tanggung jawab Divisi Kepustakaan.

Sebagai ketua divisi, kita bisa sebut Ka Robi ini sebagai desainer program pelatihan literasi di sekolah. Karena itu, pada sesi ketiga, Ka Robi lebih banyak memberi gambaran kepada peserta terkait apa saja langkah yang akan dilalui bersama selama beberapa waktu ke depan, hingga luaran kegiatan membentuk ekstrakurikuler jurnalistik bisa berjalan.

“Teknik menulis kita akan pelajari selama masa pendampingan ke depan,” kata Ka Robi. “Intinya adik-adik sudah yakin tentang pentingnya menulis atau jurnalistik, sehingga nanti kita belajar bersama dengan gembira.”

***

Hari kedua, Rabu (29/06/2022), kami tim (fasilitator literasi) Yaspensi tetap #JalanPagi ke SMA Negeri 4 Kupang.

Pak Rian Seong, ketua panitia kegiatan, telah menetapkan agar hari kedua itu lebih banyak digunakan untuk diskusi proses kreatif dari beberapa penulis.

Pak Rian langsung memandu acara. Kesempatan pertama diberikan kepada Pak Zul untuk memberikan pandangannya sebagai “pemantik” diskusi lebih lanjut.

Saat itu Pak Zul banyak bercerita tentang pengalamannya maupun hasil observasi. Dari sekian banyak pesan, ada satu yang paling ditekankannya.

Menurut Pak Zul, ada dua poin yang menjadi sumber kebahagiaan atau kesuksesan dalam hidup ini, yaitu: meraih impian dan menikmatinya.

Karena itu, Pak Zul berharap agar peserta pelatihan bisa berjuang untuk mewujudkan impiannya, misalnya dalam konteks ini menjadi penulis atau jurnalis.

Dan yang lebih penting, setelah berhasil meraih impian tersebut, kita diharapkan bisa menikmati aktivitas itu dengan gembira.

***

Giliran selanjutnya, ada Pak Fransiskus X. Balu Lowa. Guru Penggerak SMA Negeri 4 Kupang itu berbagi pandangannya terkait kegiatan ekstrakurikuler jurnalistik tersebut.

Menurut pengalamannya sebagai Guru Penggerak, kebutuhan pada siswa/i menjadi prioritas utama. Aktivitas pembelajaran harus mengikuti atau menyesuaikan kebutuhan siswa.

Karena itu, bagi guru Kimia yang biasa disapa Pak Frans, kegiatan pelatihan jurnalistik tersebut merupakan salah wujud dari Kurikulum Merdeka Belajar.

Sebagai guru penggerak, Pak Frans mengaku senang dan siap mendukung kegiatan siswa dalam bidang jurnalistik tersebut.

***

Guru Bahasa Indonesia SMA Negeri 4 Kupang yang lain, Bapak Drs. Refafi Kana, juga berbagi pengalaman kreatifnya menulis dan membimbing siswa/i untuk menulis.

Ada beberapa buku yang telah mereka terbitkan. Menurut Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum yang biasa disapa Pak Kana itu, buku-buku tersebut merupakan hasil karya dirinya bersama para murid.

“Bahkan ada alumni yang ikut mengirimkan karya juga, kami sertakan juga dalam buku,” tambahnya.

Pak Kana bercerita kalau dirinya sering memotivasi siswa untuk menulis, khusus menulis puisi. Hasil tugas tersebut akan dinilai. Kalau hasilnya bagus, maka karya siswa tersebut akan diterbitkan.

Menurutnya, apresiasi seperti itu akan membuat para murid makin termotivasi untuk menulis. Pak Kana juga berharap, peserta pelatihan nantinya bisa menjadi tim jurnalis sekolah yang andal.

“Setidak-tidaknya mading sekolah bisa lebih aktif lagi,” tandasnya.

***

Saya diberi kesempatan bercerita tentang proses kreatif menulis berikutnya. Pak Rian mengingatkan waktu bercerita hanya 10 menit.

Saya awali dengan cerita buku “Kekuatan Pikiran”. Itu buku yang banyak mengubah hidup saya, khususnya konsep atau cara berpikir.

Berkat panduan yang ada dalam buku tersebut, saya akhirnya yakin dengan pilihan hidup untuk menjadi penulis. Tetapi, kesadaran itu baru muncul pada tahun 2012, ketika saya sudah berusia 23 tahun.

Meski begitu, saya tetap bersemangat untuk memulainya. Sesuai dengan informasi yang saya peroleh, saya mengawalinya dengan banyak membaca.

Tahun 2013, saya pindah ke Surabaya untuk lanjut kuliah. Di sana saya makin banyak belajar tentang menulis. Biar tidak hanya belajar teori, saya buatkan lahan praktik menulis di blog pribadi dan Kompasiana.

Tahun 2016 saya lulus kuliah dan kembali ke Kupang. Saya tetap konsisten berlatih menulis, meski masih di media personal.

Saat itu saya kemudian bergabung di Komunitas Secangkir Kopi (KSK) dan akhirnya tahu kalau menulis di media massa resmi juga tidak terlalu sulit.

Saya kemudian aktif menulis di menulis di koran. Aktif menulis di media online. Aktif ini… Aktif itu… Hingga kemudian ada #JalanPagi.

Lalu… tanpa saya sadari, saya sudah berbicara lebih dari 10 menit, dan Pak Rian Seong selaku moderator merasa “tidak enak” untuk menghentikan kegilaan tersebut.

***

Emanuel Nong Yonson, S,Pd., M.Hum., langsung bercanda, “Saya berusaha bicara tidak lebih dari 10 menit.”

Semua orang tertawa, tetapi saya biasa saja, karena guru/dosen Bahasa Indonesia yang biasa kami sapa Kaka Nong itu memang tabiatnya begitu. Ia suka bercanda, dan itu membuat kami suka bergaul dengannya.

Nong ini aslinya Guru Bahasa Indonesia di SMA. Tetapi karena lulus Magister Linguistik, ia juga menjadi dosen tamu di berbagai fakultas di universitas-universitas ternama di Kota Kupang.

Entah kenapa ia begitu laris jadi pengajar di mana-mana. Itu pertanyaan yang jadi misteri hingga saat ini. Satu hal yang pasti, ia suka dengan puisi dan banyak menulis genre tersebut dengan hastag khusus: #CatatanSunyi.

Mungkin karena alasan itulah, dia pun banyak memberi saran kepada peserta terkait penulisan puisi. Tetapi, cukup dua poin saja yang ditulis di sini.

Pertama, tentang hambatan menulis kalimat atau paragraf pertama. Putra Maumere itu menyarankan agar siswa/i bisa memulai tulisannya dengan titik-titik saja (…………).

Setelah itu baru disambung dengan kalimat berikutnya. Kalau bagian lain sudah selesai, katanya lebih lanjut, kita bisa kembali pada titik-titik tadi, lalu ubah dengan kalimat yang sesuai dengan apa yang sudah ditulis.

Kedua, Kaka Nong juga menekankan tentang diksi atau pilihan kata yang tepat untuk menciptakan kesan yang berbeda bagi pembaca.

“Misalnya kata ‘hati’ kalian bisa ganti dengan ‘ruang rasa’,” kata guru muda yang sebentar lagi akan melepas masa lajang tersebut.

Contoh berikutnya, Kaka Nong pilih kata pantai. “Ayo, adek-adek, apa diksi lain yang bisa menggantikan pantai?”

“Pesisir…,” beberapa anak menyahut kompak.

“Yang lain…,” wajah Nong belum menunjukkan kalau itu jawaban yang tepat.

“Bibir pantai…,” ada yang menjawab begitu, tetapi Kaka Nong bilang masih ada yang lain.

Semua orang sudah mentok dan menantikan apa yang dimaksudkan oleh Kaka Nong.

“Kalian bisa ganti dengan: Batas deburan ombak…,” katanya sambil tersenyum.

Senyumannya makin melebar tatkala anak-anak riuh memberikan tepuk tangan.

***

Selanjutnya kesempatan Pak Patrisius Leu, S.Fil. Fasilitas Divisi Kepustakaan Yaspensi yang biasa disapa Pak Patris itu telah menerbitkan 4 buku, dan dalam waktu dekat akan menerbitkan buku baru.

Guru SMKN 7 Kupang itu bercerita bagaimana perjalanan hidupnya hingga saat ini menjadi pendidik yang aktif menulis.

Dulunya Pak Patris adalah anak STM. Ada anggapan anak STM lebih nakal dan sering tawuran, dan hal itu diakui olehnya juga. Tetapi, kabar baiknya, selama di bangku sekolah, Pak Patris mendapat kepercayaan mengurusi bidang kerohanian.

Nah, berkat urusan doa dan aktif melakukan renungan, Pak Patris merasa ada panggilan menjadi Imam, sehingga dia memutuskan masuk biara.

Pak Patris kemudian menjadi frater dan belajar filsafat. Tetapi dalam renungan selanjutnya, Pak Patris malah memutuskan untuk keluar dari biara.

Meski begitu, Pak Patris mengakui kegiatannya di bidang kerohanian dan kebiasaan berkontemplasi selama di biara sangat mempengaruhi hidupnya.

Termasuk buku-buku yang ia terbitkan, sebagian besar dipengaruhi oleh kedekatannya dengan aktivitas kerohanian. Tidak heran jika salah satu bukunya berjudul: Dekat Yesus.

Pak Patris berpesan kepada siswa/i agar selalu aktif dalam kegiatan kesiswaan atau OSIS, karena hal itu bisa saja memberi banyak pengaruh pada kehidupan masa depan.

***

Terakhir, Pak Rian Seong yang menjadi moderator juga bercerita tentang bukunya yang berjudul: Lukisan yang Hilang.

Pak Rian bercerita kalau itu buku tentang mediang ibunya. Guru Seni Budaya SMA Negeri 4 Kupang itu mengatakan kalau ibunya pendoa yang tekun ketika masih hidup.

Ada ruang doa khusus di rumah mereka yang ada di Manggarai Timur. Tiap pagi, sang ibu biasa duduk dan berdoa di sana.

Pak Rian mengaku sering menyingkap kain penutup pintu kamar, dan melihat pemandangan ibunya yang sedang berdoa sebagai lukisan terbaik yang pernah ada di muka bumi ini.

Tetapi, semenjak sang ibu pergi untuk selamanya, Pak Rian merasa lukisan itu telah hilang.

“Sekarang kalau saya libur di kampung, kadang kalau pagi tetap menyingkap kain pintu dan melihat ke arah ruang doa,” kata Pak Rian dengan nada pelan dan sendu. “Tapi…., lukisan itu sudah hilang….”

Pengalaman spiritual itulah yang memantik Pak Rian untuk menulis. Buku itu berisi kenangannya tentang sang ibu, dengan berbagai bentuk dan gaya tulisan.

“Adek-adek bisa baca buku saya itu gratis, silakan cek di perpustakaan sekolah,” tandasnya.

***

Setelah membaca proses kreatif dari beberapa penulis itu, apakah Anda juga mau menjadi penulis? (Saverinus Suhardin/rf-red-st)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini