Ini cerita #JalanPagi yang sudah lama, namun belum sempat dituliskan. Saya harus tuntaskan, sebab jika tidak, sepertinya ada utang yang belum dibereskan.
Pagi itu, Jumat (10/09/2021), saya bersama teman-teman di Komunitas Secangkir Kopi (KSK) Kupang, berangkat dari Kota Kupang dan berjalan ke arah Timur. Dari undangan yang saya terima sebelumnya, tempat kegiatan yang akan kami datangi itu bernama Sekolah Alam Manusak, Kabupaten Kupang. Saya penasaran, dari namanya saja sudah bikin banyak pertanyaan.
“Bagus. Nanti kita lihat sa…,” Kak Roby Fahik hanya menjawab singkat.
Saat itu saya dan beberapa orang menumpang di mobil Kak Roby. Saya kira Kak Roby benar, tidak perlu dijelaskan lebih detail. Selain karena dia sedang berkonsentrasi menyetir, hal itu juga baik untuk merawat rasa penasaran kami. Jalan Pagi tanpa rasa penasaran itu tentunya tidak menggairahkan.
Saya benar-benar baru tahu tentang Sekolah Alam Manusak itu. Sebelumnya saya pernah mendengar kalau di Jogja juga ada konsep sekolah alam atau yang biasa disingkat jadi “Salam”. Saya mendengar sedikit informasi tentang Salam di Jogja lewat program siniar atau podcast dari Mas Puthut EA, sang Kepala Suku Mojok.
Katanya, sekolah alam itu tidak ada ruangan kelas khusus. Anak-anak dibimbing untuk belajar langsung pada alam. Mereka menanam, merawat apa yang mereka tanam, hingga akhirnya memetik hasilnya.
Hanya seperti itu yang ada dalam benak saya tentang konsep sekolah alam. Dan itu yang saya dengar cerita dari Jogja. Entah bagaimana yang diterapkan di Manusak, Kab. Kupang, NTT itu, apakah memakai konsep yang sama atau ada hal yang lain?
Mobil kami sudah tiba di cabang ke Bendungan Raknamo. Kak Roby membanting setir ke kanan, kemudian kami meluncur ke jalanan mulus ke arah Bendungan Raknamo. Bendungan yang sempat tenar karena diresmikan langsung Pak Jokowi itu masih terlalu jauh. Mungkin tidak sampai lima menit, di sebelah kiri jalan ada Kantor Desa Manusak.
Setelah kantor itu, ada cabang bagian kiri, itulah jalan masuk ke Salam Manusak. Itu hanya jalan tanah, tapi lumayan baik untuk dilewati mobil. Lagian jarak dari jalan raya ke sekolah sekitar 500 meter saja.
“Itu sekolahnya…” Kak Roby menunjuk ke depan.
Saya perhatikan, itu lingkungan persawahan. Ada bagian yang memiliki air, sudah ditanami sayur. Tetapi sebagian besar masih kering.
Tempat yang ditunjuk Kak Roby itu terbilang luas, sekitar 1 hektar. Ia dipagari dengan papan dari kulit kayu yang tidak mungkin dipakai untuk pembuatan rumah atau mebel. Kayu buangan yang mungkin hanya cocok dijadikan kayu bakar atau seperti yang manfaatkan itu; dijadikan pagar.
Setelah memasuki area Salam Manusak, kondisinya memang agak beda dengan lingkungan di luar pagar. Meski belum besar dan rimbun, di kintal Salam Manusak sudah ditanami berbagai jenis bunga dan pohon. Saya kira itu cukup asri untuk ukuran lingkungan di sekitarnya yang kering.
Di Salam Manusak ada beberapa bangunan. Satu bangunan yang paling tengah, itu berfungsi sebagi kantor utama. Ada papan nama sekolah tertempel di sana. Tapi setelah saya cek kemudian, ruangan itu multifungsi. Selain kantor, sebagiannya dijadikan dapur dan tempat menyimpan peralatan makan-minum.
Jangan kaget, Salam Manusak tidak hanya menyelenggarakan pendidikan PAUD. Mereka juga membuka tempat pelatihan yang terbuka untuk umum. Itu makanya mereka juga menyiapkan dapur untuk melayani kebutuhan makan-minum para pelanggan. Tempat itu juga menjadi kafe, bisa dikunjungi seorang diri atau berdua untuk menikmati menu khas makanan dan minuman lokal NTT.
Di sebelah kiri gedung pusat itu, ada sebuah ruangan pelatihan. Lantainya dari semen, tapi dibiarkan kasar saja. Tiang-tiang bangunan itu, saya kira bukan dari kayu pilihan yang kokoh, tapi cukup kuat untuk menahan atap. Ruangan itu tidak berdinding, sehingga kita merasa merasakan langsung hembusan angin dari alam.
Hari itu, ruang pertemuan di sebelah kiri itu dipakai oleh guru-guru PAUD Kabupaten Kupang. Entah mereka ada kegiatan apa, tapi sepintas saya melihat, mereka sangat asyik menjalani aktivitas di tempat yang semi-terbuka itu.
Kehadiran kami di sana pada hari itu atas undangan dari Kantor Bahasa Provinsi NTT. Saya masih bertanya-tanya, kenapa mereka mau menyelenggarakan kegiatan di tempat itu?
Kami diarahkan ke sebuah tempat pelatihan yang ada di sisi kanan. Model ruang pelatihan itu sama. Itu bukan bangunan permanen. Berlantai semen kasar, tiang atapnya dibuat dari kayu seadanya, dan tanpa dinding. Meski begitu, secara umum masih nyaman untuk dinikmati.
Ketika saya berjalan ke tempat acara itu, saya berpapasan dengan seseorang yang belum saya kenal betul. Tapi dari gelagat yang dia tunjukkan, orangnya pasti ramah. Itulah yang membuat saya berani sok kenal sok dekat dengannya.
Namanya Nong. Tuhan, saya baru tahu kalau dia juga anggota KSK selama ini. Dan beberapa hari sebelum pertemuan hari itu, dia sudah dipercayakan oleh semua rekan-rekan di KSK sebagai presiden yang baru.
Kami berbasa-basi sejenak, dia punya selera humor yang baik. Dari sisi itu saja, saya menilai sudah tepat kalau dia terpilih jadi Presiden KSK. Pembicara kami kemudian berpindah tentang kekaguman pada Salam Manusak.
Nong bercerita kalau pemilik sekaligus Kepala Sekolah Alam Manusak itu teman kuliahnya dulu saat S2 di Undana.
“Dia dulu menulis disertasi tentang PAUD,” terang Nong kemudian. “Saya kira cuma tulisan dia yang paling berarti, sebab langsung dibuktikan dengan membuka sekolah.”
Wow, saya mulai kagum dengan sekolah ini.
Nong mengajak saya ke salah satu sudut halaman sekolah yang luas itu, di sana ada tempat duduk dari batang kayu yang dipotong sedemikian rupa, sehingga nyaman buat duduk.
Tempat duduk itu sudah dekat dengan bibir jurang. Di bawah ada kali kecil, debit airnya juga kecil. Kali itulah menjadi pembatas sisi paling kanan sekolah itu.
Nong kemudian melanjutkan cerita kehebatan temannya yang menjadi pemilik tempat itu. Ternyata Nong juga sudah sering berkegiatan di sana.
“Kalau malam hari, itu lebih gagah lagi,” tambah Nong.
Anak Maumere menunjukkan tempat-tempat yang biasa digunakan orang untuk bernyanyi atau kegiatan pentas seni lain. Di sana juga menjadi tempat perkemahan. Pendek kata, tempat itu multifungsi, bisa dipakai untuk kegiatan apa saja, tinggal dikoordinasikan dengan pemilik atau pengelolanya saja.
Oh iya, Kantor Bahasa Provinsi NTT mengundang kami saat itu untuk kegiatan Bengkel Penulisan Produk Terjemahan. Pesertanya beragam, tidak hanya dari KSK.
Pada saat acara pembukaan, Bapak Syaiful Bahri Lubis selaku kepala kantor menjelaskan kenapa mereka memilih Salam Manusak sebagai tempat kegiatan. Pertama, kegiatan itu memang diperuntukkan bagi wilayah Kab. Kupang. Kedua, kegiatan di hotel sudah terlalu sering dilakukan.
“Perlulah sesekali kita cari tempat yang unik seperti ini…,” kurang lebih begitu yang disampaikan Pak Syaiful.
Dari Pak Syaiful itu juga, saya akhirnya bisa mengetahui nama jelas dari pemimpin Salam Manusak itu. Pak Syaiful beberapa kali menyebutkan namanya dalam sambutan. Kak Yahya…
Setelah sesi acara pembukaan, kami diberi kesempatan untuk istirahat sejenak. Waktunya minum Kopi dan menikmati kudapan.
Tidak jauh dari ruang pelatihan, ada sebuah lopo yang didesain terbuka juga, tanpa dinding. Di sana makanan dan minuman sudah ditata rapi di sebuah meja.
Penganan yang disiapkan saat itu semuanya makanan lokal. Ada jagung bunga, singkong goreng yang dipasang dengan sambal tomat pedis-manis, dan jenis kue yang lain. Mohon maaf, saya agak lemah mengenal nama-nama kue, tapi kalau disuruh makan, saya tidak lupa.
Minumannya ada kopi dan teh. Tapi belum siap untuk diminum. Setiap orang bebas meracik sendiri, mereka hanya menyiapkan bahan. Gelasnya terbuat dari tempurung kelapa.
Singkatnya, meja hidangan itu didominasi produk lokal. Barangkali hanya dispenser yang tidak ada penggantinya. Untuk kepraktisan mendapatkan air panas, fungsi dispenser belum bisa digantikan produk tradisional.
Kak Rian Seong, mantan presiden KSK yang kini menjadi Ketua Yayasan Pustaka Pensi Indonesia (Yaspensi), menyapa seorang ibu yang sejak tadi mengkoordinir beberapa anak muda yang melayani hidangan itu.
Kak Rian menyapa ibu itu dengan sebutan Ipen; Ibu Pendeta. Saya pastikan sekali lagi, “Ini ibu Pendeta betul, ko?”
Kak Rian mengaku sudah berulangkali datang ke Salam Manusak. Ia lumayan mengenal semua orang yang ada di dalamnya.
Setelah saya bisik-bisik, akhirnya Kak Rian bercerita kalau Kak Yahya sebagai pemilik sekolah itu banyak melibatkan warga di sekitar dalam pengelolaan sekolah maupun lini usaha lainnya. Termasuk Ibu Pendeta yang melayani sebuah gereja yang tidak jauh dari sana.
Setahu Kak Rian, urusan konsumsi para tamu ditangani oleh Ibu Pendeta bersama pemuda-pemudi di sana. Saya makin kagum, sebab selain bagus, sekolah itu sudah menjadi berkat bagi banyak orang; sudah menciptakan lapangan atau peluang kerja bagi sesama. Saya kira itu mulia sekali.
Kami berkegiatan di sana selama 4 hari, tanggal 10 – 13 September 2021 yang lalu. Inti kegiatannya, kami diarahkan untuk menulis cerita atau bahan bacaan anak, khususnya lagi untuk anak kelas 1 – 3 SD.
Kak Roby Fahik, sastrawan muda NTT yang menjadi pemandu kami saat itu. Ia memberi gambaran awal, lalu kami lebih banyak praktik menulis. Oh, di situ baru kami sadar, menulis itu rumit. Apalagi menulis cerita anak. Kami menulis dalam bahasa Indonesia pada awalnya, lalu diterjemahkan lagi ke bahasa daerah masing-masing penulisnya.
Selama kami berkegiatan, Kak Yahya sesekali datang, sekadar untuk menyapa atau bercerita ketika waktunya minum kopi.
Perihal Kak Yahya – nama lengkapnya Yahya R. Ado, S.S., M.Hum – ataupun informasi mengenai Sekolah Alam Manusak, sudah banyak ditulis media massa. Silakan cek di Google dengan kombinasi kata kunci nama-nama tersebut.
Dari beberapa tulisan yang saya baca, Kak Yahya dulunya bekerja di sebuah NGO yang bernama Plan. Kalau tidak salah, itu LSM yang menangani masalah anak-anak.
Keterangan itu membuat saya paham, kenapa pada akhirnya dia memutuskan untuk membuka lembaga pendidikan anak. Dia punya visi untuk menyelenggarakan pendidikan yang menyenangkan dengan memanfaatkan alam dan ramah ekologis, serta menekankan pembentukkan karakter anak.
Selama 4 hari bertemu dengan Kak Yahya, saya mendapat kesan kalau beliau itu ramah. Dia selalu tersenyum. Dan kami selalu tertawa saat ngobrol.
Selama 4 hari itu juga, saya mengagumi sosok Kak Yahya itu, tetapi saya tidak punya alasan untuk wawancara khusus. Buat apa lagi wawancara? Sebelum dia bicara, orang-orang lain sudah membicarakan tentang dia. Bro Nong, Ka Rian, media massa, dan semuanya.
Tapi, saya kira ada satu hal yang belum ditulis banyak orang. Kamu harus tahu, Ka Yahya itu pecinta kopi yang luar biasa.
Kopi yang saya maksud tentu saja bukan kopi saset yang harga seribuan di kios. Bukan juga kopi yang disediakan bagi para tamu seperti yang saya jelaskan sebelumnya. Ia penikmat kopi modern.
Saya sebut saja begitu, sebab ia menggunakan alat-alat modern untuk meracik kopi. Mohon maaf, saya mungkin tidak bisa menyebut dengan tepat seperangkat alat pembuat kopi itu, karena memang saya buta soal begituan.
Kak Yahya mempunyai biji kopi yang sudah disangrai, jenisnya bermacam-macam. Biji kopi yang hitam-kecoklatan itu dimasukkan ke dalam sebuah tabung perak, lalu di ujung tabung itu semacam engkol yang diputar-putar. Anggap saja itu mesin giling kopi tenaga tangan.
Sambil menunggu biji kopi itu lembut, ia merebus air di teko mungil. Teko itu dipanaskan di atas sebuah kompor gas mungil juga, kompor yang biasa dipakai saat berkemah.
Setelah biji kopi tadi halus, ia menuangkan pada sebuah wadah botol yang ujungnya sudah diberi kertas penyaring. Setelah itu, air yang sudah mendidih dituangkan perlahan, sehingga semua serbuk kopi itu terkena atau terendam air. Saripati kopi itu kemudian menetes dan tertampung di botol khusus itu.
Hasilnya tidak tidak banyak, mungkin hanya satu gelas ukuran normal yang ada di rumah kita. Tetapi kopi itu dituangkan ke gelas-gelas kecil; gelas sloki moke. Jadi, kopi itu bisa dibagi untuk 5 – 6 orang.
Itu kopi murni, rasanya campuran antara pahit, asam, dan rasa yang sulit saya jelaskan. Kak Yahya menawarkan gula dan susu cair kalau memang berselera.
Selam 4 hari kami di sana, Kak Yahya selalu melakukan hal yang sama. Ia meracik kopi, lalu menyilakan siapa saja yang mau cicip. Dari cara dia melayani kami, saya kira layaknya kalau dia disebut pecinta kopi.
Nah, gara-gara kopi ini, Ka Elroby Kapitan akhirnya bercerita tentang pengalaman unik Komunitas Secangkir Kopi.
Ka Elroby adalah salah satu mantan presiden KSK. Katanya dulu ketika dia menjabat sebagai presiden, ada salah satu komunitas dari Jawa yang berkegiatan di Kupang mengundang dia hadir dalam kegiatan mereka.
Ka Elroby kaget ketika tahu itu acara tentang kopi; acara pelatihan barista. Ka Elroby gelagapan ketika ditanya pengalaman KSK dalam mengelola kopi. Pak Syaiful dan rekan-rekan lain yang mendengar cerita Ka Elroby itu tidak bisa menahan tawa.
Iya, namanya saja yang menggunakan kata ‘kopi’, tetapi pengetahuan tentang kopi masih minim. Kami lebih akrab dengan kopi saset yang harga seribuan di kios. Kadang hanya ada secangkir, tetapi bisa dinikmati bersama-sama. Itulah kenapa namanya kemudian menjadi: Komunitas Secangkir Kopi. Yah, kadang-kadang nama itu bisa menipu. (Saverinus Suhardin – Penulis, Sekretaris KSK Kupang/ rf-red)