“Lihat Rajamu!” (Mat. 21:5). Tangan-Nya merenggang, badan meliuk kecapaian, mau menurun terus namun terhambat oleh gigitan paku yang kuat melekat di kayu silang. Darah kental bercampur debu melekat di sekujur tubuh. Yesus menggeliat di tiang gantungan, tembusan paku semakin terasa di sekujur tubuh. Ia kesepian di tengah sorotan mata para algojo. Kapan semuanya ini berakhir?
Yesus merasa haus. Di situ ada tersedia bekas anggur asam. Mereka mencucukan bunga karang kedalam anggur asam lalu mengunjukkannya pada-Nya, dan untuk menggenapi apa yang tertulis dalam kitab suci maka Ia mengecapnya. Dalam puncak sengsara-Nya itu, Yesus berkeluh: “Allah-Ku, ya Allah-Ku, megapa Engkau tinggalkan Aku? (bdk. Mzm. 22).
Sekarang Tuhan mempersembahkan korban terakhir, yang memahkotai semua korban lain. Tiga jam lamanya Ia bergulat dengan maut. Sakratmaut mendekat sudah dan terdengar nyaring erangan Yesus yang terakhir: “Ya Bapa, kedalam tangan-Mu, Kuserahkan nyawa-Ku”. Sudah selesai! (Luk. 23:46). Yesus terkulai lalu wafat. Puncak penderitaan sudah dipenuhi. Ia taat sampai wafat di palang penghinaan, dibunuh oleh preman politik. Ia menjadi buangan sampah dosa kita.
Hari itu hari persiapan Paskah, maka mayat-mayat penjahat harus segera diturunkan dari salib dan tak boleh mengotori bumi, menajiskan Yerusalem. Algojo-algojo datang dan mematahkan kaki orang yang disalibkan dengan Yesus, dan ketika sampai pada Yesus mereka tidak mematahkan kaki-Nya. Tetapi seorang algojo menikam lambung-Nya sekedar memastikan keberadaan-Nya apakah masih bernyawa ataukah sudah mati. Mengalir keluarlah Darah dan Air. Cinta-Nya begitu kuat sampai melepaskan nyawa-Nya.
“Tak ada cinta yang lebih besar daripada cinta seorang yang menyerahkan nyawanya bagi sahabat-sahabatnya” (Yoh. 15:13). Cinta hanya bisa dibalas dengan cinta. Sebagaimana Musa mengangkat ular di padang gurun, demikian pula Putera Manusia diangkat supaya setiap orang yang percaya akan Dia memperoleh hidup yang kekal.
Kalau saya sudah berada di posisi tinggi, kalau saya duduk di tempat terhormat, dilayani waktu pesta, hendaknya juga saya berani memilih tempat yang paling sulit pada waktu kesulitan, pencobaan dan kritis dengan berani melayani tanpa mengeluh.
Apakah aku gembira memikul salib martir setiap hari dalam tugas dan pelayananku? Apakah aku rela mengampuni kesalahan orang lain sebelum mataku tertutup? “Rabuni, supaya aku dapat melihat” (Mrk. 10:51) sebelum tiba malam kematianku. Sadarkah kita, bahwa sewaktu menghadiri Misa Kudus, sebenarnya kita berada di gunung Kalvari, di bawah salib-Nya? Lihat Rajamu di atas altar kudus. “Ya Bapa, sudah selesai!” (Yoh. 19:30).