Iman Pendahulu: Menjawab Allah Secara Bebas (Bagian 1)

0
137
Oleh Patrisius Leu, S.Fil., Guru Penulis & Wakasek Kesiswaan SMKN 7 Kupang, Fasilitator YASPENSI.

Dalam perjalanan Sejarah Kekristenan, iman Kristen mempunyai warna tersendiri. Seperti apa iman itu? Temukan dalam ulasan berikut.

IMAN: MANUSIA MENJAWAB ALLAH

TUHAN Pewahyu menyapa dan menyatakan diri-Nya kepada manusia. Dari pihak manusia menerima secara positif pernyataan Diri Allah itu dengan menyerahkan dirinya kepada Allah Pewahyu. Jawaban positif manusia atas wahyu itu melahirkan relasi interpersonal antara Allah dengan manusia yang disebut iman. Iman berarti bahwa manusia menerima dan menjawab pernyataan dari Allah dengan seluruh dirinya pula.

Paham iman menurut Alkitab dan Para Bapa Gereja dipahami sebagai tindakan percaya (fides qua creditur), artinya iman dengan mana orang percaya. Tindakan percaya itu oleh Konsili Vatikan II diartikan pertama-tama sebagai dengan bebas menyerahkan diri kepada Allah. Arti lainnya adalah menerima dengan akal budi dan kemauan bahwa apa yang diwahyukan Allah itu benar. Karena itu, suatu tindakan beriman didasarkan pada kredibilitas dari pribadi yang dipercaya, yakni Allah. Singkatnya, saya percaya apa yang ada padamu.

Pertama, Iman Kepercayaan Menurut Kitab Suci

Di dalam Perjanjian Lama, apa yang kita sebut “iman” sebagai sikap manusia yang mengakui Allah sebagai dasar eksistensinya dan sikap penyerahan diri seutuhnya kepada Allah (bdk. Es. 4:1-5) diperlihatkan oleh kata Ibrani aman atau emen atau iman. Kata aman, emen, iman bisa berarti mantap, kuat, aman, pasti, dapat dipercaya dan dapat diandalkan; atau secara negatif dapat diartikan sebagai melepaskan ketidaksetiaan dan ketidakamanan sendiri lalu berpaling mendasarkan diri dan eksistensinya pada sesuatu yang lain atau pada seorang pribadi yang dapat dijadikan dasar yang kuat.

Arti sesungguhnya Iman menurut Perjanjian Lama dapat diterangkan secara padat sebagai berikut. Pertama, iman berarti mendengarkan Sabda Allah. Mendengarkan mengandung arti kesediaan hati dan laku untuk menerima Sabda Allah itu, mengakuinya sebagai benar dan berguna untuk hidup secara individu maupun sebagai komunitas bangsa. Jadi, mendengarkan Sabda Allah dengan kehendak yang aktif, meresapkan sabda itu ke dalam hati dengan penyerahan diri yang total (Yes. 1:2-10).

Kedua, beriman juga berarti mentaati Sabda (perintah) Allah sedemikian rupa sehingga kepatuhan budi (pembatinan) dijelmakan dalam kepatuhan tingkah laku dalam kehidupan nyata. Abraham contonya (Roma 4:11; Kej. 12:1-4a). Diatas titian kepercayaan yang kelihatan tidak ada dasar dan ketaatan mutlak ini, Abraham menemukan bahwa Allah dapat dipercaya dan dapat diandalkan untuk melaksanakan apa yang dijanjikan-Nya (tanah, keturunan dan berkat).

Ketiga, Orang yang telah mendengarkan Sabda Allah dan mentaati perintah-Nya, harus memiliki kesetiaan dalam melaksanakan kehendak Allah, khususnya dalam hal hidup menurut tuntutan perjanjian. Ajaran para nabi turun-temurun mengajak umat agar senantiasa memperbaharui kesetiaannya kepada Yahweh (YHWH) dalam situasi yang terus-menerus berubah (Hos. 6:6; Yer. 5:1-9; 9:2-5; 22:15; Mik. 6:8). Keempat, beriman berarti juga menaruh percaya pada janji Allah, bahwa Allah akan menggenapi apa yang dijanjikan-Nya itu (bdk. Kej. 15:6).

Jadi iman sebagai jawaban bebas manusia kepada Allah yang mewahyukan diri terjadi dalam sejarah dan dipahami dalam konteks perjanjian seperti: Israel menanggapi tuntutan Allah dengan ketaatan dan pengakuan (Deutr. 9:23; Mzm. 119:66), Israel menanggapi janji-janji Allah dengan kepercayaan (Kej. 5:6; Ul. 20:12-13; Yer. 39:18) dan dengan kesetiaan (Yes. 26:25; Am. 2:22).

Isi dan inti karakter Iman Perjanjian Baru adalah Yesus Kristus, Allah yang menjadi manusia dan Tuhan yang telah wafat dan bangkit sebagai kelangsungan eksistensi kekristenan. Injil Sinoptik, menampilkan Yesus mewartakan kabar gembira Kerajaan Allah supaya bertobat dan percaya kepada Injil (Mrk. 1:14-15). Karenanya, iman itu mendengar apa yang diwartakan (Mrk. 4:9); memahami apa yang didengar itu (bdk. Mat.13:9) yang dilaksanakan dalam hidup harian (Mrk.4:20; Luk.8:21; 11:28); dari orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus.

Kisah Para Rasul melukiskan iman sebagai sikap batin terarah kepada Yesus. Jadi, iman adalah sikap taat dan melekat pada Kristus secara total dan mutlak (bdk. Kis.3:16; 9:42; 11:17; 16:31). Ketaatan ini adalah ketaatan pada Injil pewartaan Yesus dan pewartaan tentang Yesus. Santo Paulus dalam surat-suratnya juga menekankan iman sebagai ketaatan kepada Injil sebagai reaksi jawaban manusia terhadap Sabda Injil: dalam penjelmaan, hidup, wafat dan kebangkitan Yesus (bdk. 1 Kor.1:17-2:4; Flp.2:5-11). Pewartaan Injil merupakan kesempatan menentukan pilihan: percaya kepada Kristus atau tidak percaya kepada-Nya. Injil Yohanes tegaskan iman berarti keputusan radikal dan menyeluruh untuk menerima dan mengakui Yesus Kristus dan sabda-Nya, dan misi-Nya sebagai Putera Allah (Yoh.3:32-36).

Kedua, Iman Kepercayaan Menurut Bapa Gereja

Para Bapa Apostolik (tahun 90-165) menekankan sikap personal taat kepada Kristus pemberi hukum Ilahi. Lebih lanjut, Ireneus mengembangkan ajaran tentang ekonomi keselamatan Allah. Pertama, iman kepercayaan diartikannya sebagai mengikuti dan menyerahkan diri kepada Kristus; Kedua, mencontohi iman Abraham; dan Ketiga, tindakan Logos sebagai Pewahyu yang terpenting.

Klemens dari Alexandria (150-215) mendefenisikan percaya sebagai mendengar pada Logos sebagai lanjutan dari Dabar YHWH dalam sejarah keselamatan. Karena itu orang yang mengikuti Yesus Kristus harus semakin menjadi serupa dengan-Nya dan bertumbuh dalam cinta kepada sesama yang membawa orang kepada pemandangan Allah. Kemudian Origenes (+ 254), menekankan Dabar Allah Perjanjian Lama sama dengan Logos Perjanjian Baru, dan sabda alkitabiah ini pun dipersatukan dengan Logos filsafat Hellenis. Sosok Logos berakar dalam dinamika kedua perjanjian dan sifat logos menyejarah.

Santo Agustinus, (354-430) menggarisbawahi teologinya: “Percaya untuk mengerti” yang harus bermuara pada kontemplasi. Dengan demikian, credo uit intelligam menjadi program yang auctoritas menuju Illuminatio (penerangan batin oleh Roh Kudus), dimana manusia secara intuisi memandang dunia idea (Allah yang transenden) yang tersirat dalam alam ciptaan. Seluruh dialetik dibuai oleh kasih, oleh semboyan ama ut Videas, (cintailah agar melihat).

Akhirnya seluruh uraian tentang iman dari para Bapa Gereja dapat kita konklusikan. Pertama, iman Kristiani melebihi pengertian filosofis karena dengan menyerahkan diri kepada Kristus sebagai Sabda Allah, orang mencapai pengetahuan yang sejati tentang diri sendiri, akan dunia, dan akan Allah. Kedua, filsafat Yunani dipakai oleh para Bapa Gereja sebagai sarana untuk merenungkan secara teoritis apa yang mereka hayati dalam praktik beriman.

Ketiga, Paham Iman pada Konsili Vatikan I dan II

Konsili Vatikan I mengajarkan, pertama. “apa yang diwahyukan Allah itu kita terima sebagai benar” bukan karena kebenarannya yang intrinsik itu dilihat dengan terang kodrat akal budi melainkan karena wibawa Allah sendiri yang mewahyukannya melalui penerangan dan ilham Roh Kudus. Kedua, bahwa “ketaatan iman harus selaras dengan akal budi” dan bahwa itu sebabnya Allah menyediakan bermacam-macam tanda, khususnya mukjizat dan nubuat, yang memungkinkan bahwa kita mengakui bahwa wahyu berasal dari Allah.

Ketiga,iman tidak lain dari penyerahan total akal budi dan kehendak Allah yang mewahyukan diri. Persetujuan manusia dalam akal budinya bukan karena ia dapat memahami bahwa informasi dari Allah itu benar, melainkan karena ia taat kepada Allah dan Gereja yang mengemukakan pernyataan-pernyataan itu secara benar. Akal yang diterangi iman dapat memahami misteri-misteri. Ketaatan iman juga harus selaras dengan akal budi, dalam arti akal budi berperan untuk mempertanggungjawabkan iman.

Konsili Vatikan II melihat Iman adalah tindakan bebas manusia yang menjawab dan menanggapi wahyu Allah, menyerahkan diri kepada Tuhan dengan tahu dan mau dengan segenap jiwa raganya, dengan seluruh hati dan segala kekuatannya dalam perjumpaan personal dengan Allah yang merupakan anugerah dan rahmat. Konsili Vatikan II menekankan arti iman tidak hanya merupakan penerimaan seperangkat kebenaran tetapi lebih sebagai penyerahan seluruh diri kepada Allah. Itu berarti iman dipahami secara proposional sebagai anugerah Allah dan juga sebagai “opus ad salute partines” (tindakan dasar dan bebas dari manusia untuk menjawab wahyu). Relasi inter – personal antara Allah dan manusia dalam wahyu dan iman yang komunikatif ini terjadi dalam Sabda. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini